A. Pengertian Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan dalam pengertian UU No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam merupakan suatu kesepakatan bersama bagi calon suami dan calon istri yang harus dipenuhi apabila mereka sudah menikah, tetapi jika salah satu tidak memenuhi ataupun melanggar perjanjian perkawinan tersebut maka salah satunya bisa menuntut meminta untuk membatalkan perkawinannya begitu juga sebaliknya, sebagai sanksi atas tidak dipenuhinya perjanjian perkawinan tersebut. Perjanjian ini juga bisa disebut sebagai perjanjian pra-nikah karena perjanjian tersebut dilaksanakan secara tertulis pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam perjanjian perkawinan tidak dapat di sahkan apabila melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Mengenai perjanjian taklik talak, perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan No. I Tahun 1974.
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.[1]
B. Bentuk Perjanjian Perkawinan
Seorang calon suami atau istri yang ingin mengajukan perjanjian perkawinan bisa bermacam-macam bentuknya, baik itu mengenai taklik talak (taklik talak yaitu perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang di gantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang), harta kekayaan atau harta bersama, poligami ataupun perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Isi perjanjian perkawinan menurut pada Pasal 34 UU No.1 tahun 1974 yang berbunyi :
1. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
2. Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
3. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.
Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan di hadapan pegawai pencatat nikah. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Pada dasarnya, tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya (Pasal 86 ayat 1 dan 2 KHI). Begitu juga dengan harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Menurut KUHPerdata dengan adanya perkawinan, maka sejak itu harta kekayaan baik harta asal maupun harta bersama suami dan istri bersatu, kecuali ada perjanjian perkawinan. [2]
UU Perkawinan No. I Tahun 1974 mengenai 2 (dua) macam harta perkawinan, yaitu:
1. Harta asal/harta bawaan
2. Harta bersama (Pasal 35)
Harta asal adalah harta yang dibawa masing-masing suami/istri ke dalam perkawinan, di mana pengurusannya diserahkan pada masing-masing pihak. Harta bersama adalah harta yang dibentuk selama perkawinan. Berbeda dengan yang ada dalam KUHPerdata, dalam UU Perkawinan No. I Tahun 1974, adanya perkawinan harta itu tidak bersatu tetap dibedakan antara harta asal dan harta bersama. Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka harta asal suami istri tetap terpisah dan tidak terbentuk harta bersama, suami istri memisahkan harta yang didapat masing-masing selama perkawinan. Dalam penjelasan pasal 29 disebutkan bahwa taklik-talak tidak termasuk dalam perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan itu dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian perkawinan itu harus dibuat secara tertulis atas persetujuan kedua belah pihak yang disahkan Pencatat Perkawinan. Apabila telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, maka isinya mengikat para pihak dan juga pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut. Perjanjian perkawinan itu dimulai berlaku sejak perkawinan berlangsung dan tidak boleh dirubah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak dengan syarat tidak merugikan pihak ketiga yang tersangkut.[3]
Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan, menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan jika melanggar batas-batas hukum dan kesusilaan. Ini artinya, semua hal, asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan dapat dituangkan dalam perjanjian tersebut, misalnya tentang harta sebelum dan sesudah kawin atau setelah cerai, pemeliharaan dan pengasuhan anak, tanggung jawab melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, pemakaian nama, pembukaan rekening Bank, hubungan keluarga, warisan, larangan melakukan kekerasan, marginalisasi (hak untuk bekerja), subordinasi (pembakuan peran).
Begitu juga yang ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 47, bahwa sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam, perjanjian perkawinan dapat meliputi percampuran harta pribadi, pemisahan harta pencarian masing-masing, menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik (perjanjian dengan pihak Bank) atas harta pribadi dan harta bersama. Perjanjian perkawinan hanya dapat dirubah jika ada kesepakatan kedua belah pihak. Bila keinginan untuk merubah itu datang hanya dari satu pihak, dan satu pihak lainnya tidak setuju, maka perubahan tidak sah yang berarti perjanjian yang telah disepakati, belum/tidak mengalami perubahan.
C. Batalnya Suatu Perjanjian Perkawinan
Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menetapkan, bahwa jika perjanjian perkawinan atau Taklik Talak dilanggar, maka berhak meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.
Menurut UU No. 1 tahun 1974 dan KHI, batalnya atau terhapusnya suatu perjanjian perkawinan yaitu karena:
- Suami/istri melanggar apa yang sudah diperjanjikan
- Suami/istri tidak memenuhi salah satu syarat dalam perjanjian perkawinan
Mengenai perjanjian ini diatur di dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akte Notaris, maupun dengan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Petugas Pencatat Perkawinan, sebelum perkawinan itu berlangsung atau pada saat perkawinan berlangsung dan Perjanjian Kawin tersebut mulai berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan. Isi yang diatur di dalam Perjanjian Kawin tergantung pada pihak-pihak calon suami-calon isteri, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, agama dan kepatutan atau kesusilaan. Bentuk dan isi Perjanjian Kawin, sebagaimana halnya dengan perjanjian pada umumnya, kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluas-luasnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau tidak melanggar ketertiban umum. Perjanjian Kawin ini mulai berlaku antara suami-isteri pada saat perkawinan selesai dilakukan di depan Pegawai pencatatat nikah dan mulai berlaku terhadap para pihak ketiga sejak dilakukannya pendaftaran di Kepaniteraan Pengadilan negeri atau agama setempat, di mana dilangsungkannya perkawinan dan telah dicatat dalam Akta Perkawinan pada Catatan Sipil.[4]
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. 1992
Sing,Ko Tjay. Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat Lengkap). Semarang: Seksi Perdata Barat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. 1981
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 1989
Syahrani.Riduan Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata
[1] Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, h.100.
[2] Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1992)
[3] Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat Lengkap), (Semarang: Seksi Perdata Barat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1981), h. 182.
[4] Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1989), h. 38.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar