A. Pengertian Poligami
Poligami secara etimologi terdiri dari dua kata yaitu poli dan gami. Poli maknanya lebih dari satu atau banyak, sedangkan gami adalah pernikahan atau perkawinan. Sedangkan secara terminology poligami bermakna suami yang menikah lebih dari satu orang istri, tapi tidak lebih dari empat orang istri.[2] Dalam bahasa arab poligami lebih dikenal dengan ta’addud. Islam memperbolehkan poligami muslim beristri lebih dari hingga empat orang istri dengan syarat suami harus dapat bersikap adil terhadap istri-istrinya.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pasal 3 ayat 1 menjelaskan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.[3] Poligami itu mirip dengan pintu darurat darurat dalam pesawat terbang, yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu.
Turunnya ayat poligami itu berkaitan dengan kekalahan umat Islam dalam perang Uhud di tahun 625 M. Saat itu, banyak sekali prajurit muslim yang gugur di medan tempur dan mereka meninggalkan anak-anak yatim beserta istrinya. Saat itu, masyarakat Islam masih sangat terbatas, dan turunnya ayat poligami tampaknya didasarkan pada dua hal. Pertama, untuk menjaga keutuhan masyarakat Islam yang secara kuantitas masih sangat sedikit. Kedua, agar mereka yang akan bertindak sebagai pengayom anak-anak yatim dan janda korban perang dapat berlaku lebih adil.[4]
B. Syarat Poligami
Poligami diperbolehkan dengan syarat ia dilakukan pada masa-masa terdesak untuk mengatasi perkara yang tidak dapat diatasi dengan jalan lain. Atau dengan kata lain bahwa poligami itu diperbolehkan oleh Islam dan tidak dilarang kecuali jikalau dikhawatirkan bahwa kebaikannya akan dikalahkan oleh keburukannya.
Syari’at islam telah membatasinya dengan syarat-syarat poligami, yaitu :
1. Jumlah istri.
Membatasi jumlah isteri yang akan dikawininya. Syarat ini telah disebutkan oleh Allah (SWT) dengan firman-Nya; "Maka berkawinlah dengan siapa yang kamu berkenan dari perempuan-perempuan (lain): dua, tiga atau empat." (Al-Qur'an, Surah an-Nisa ayat 3).
2. Nafkah.
Yang termasuk dalam nafkah adalah makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan-kebutuhan yang lazim. Wajib bagi seorang laki-laki yang ingin menikah untuk segera menyiapkan kemampuannya agar dapat memberi nafkah kepada calon istrinya. Jika dia belum memeiliki pekerjaan yang dengannya dia menafkahi istrinya, maka secara syar’i dia belum bisa menikah. Hal ini secara jelas terlihat pada hadits Nabi SAW berikut : “Wahai para pemuda, barang siapa yang telah mampu, maka hendaklah dia menikah karena menikah dapat menahan pandangan dan menjaga kemaluan, dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa, karena puasa dapat menahan nafsu. [5]
3. Adil
Sebagaimana yang difirmankan Allah (SWT)
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS.An-Nisa:3).[6]
Dengan tegas diterangkan serta dituntut agar para suami bersikap adil jika akan berpoligami. Andaikan takut tidak dapat berlaku adil kalau sampai empat orang isteri, cukuplah tiga orang saja. Tetapi kalau itupun masih juga tidak dapat adil, cukuplah dua saja. Dan kalau dua itu pun masih khawatirtir tidak boleh berlaku adil, maka hendaklah menikah dengan seorang saja. Oleh karena itu seorang suami hendaklah berlaku adil sebagai berikut:
a) Berlaku adil terhadap dirinya sendiri
b) Adil di antara para isteri.
” Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa: 129).
Rasulullah SAW juga bersabda : “Barangsiapa yang mempunyai istri, lalu dia cenderung kepada salah satu diantaranya dan tidak berlaku adil diantara mereka, maka kelak di hari kiamat dia akan datang dengan keadaan pinggangnya miring hampir jatuh sebelah.” (HR. Ahmad bin Hambal).
c) Adil memberikan nafkah.
d) Adil dalam menyediakan tempat tinggal.
e) Adil dalam giliran.
firman Allah SWT QS. Ar Ruum: 21
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
Dalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, pasal 4:
- Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
- istri mendapat cacat badan yang tidak dapat disembuhkan
- istri tidak dapat melahirkan keturunan.[7]
Dalam pasal 58 KHI:
- Adanya persetujuan istri
- Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.[8]
Beberapa ulama setelah meninjau ayat-ayat tentang poligami, mereka menetapkan bahwa menurut asalnya, Islam sebenarnya adalah monogami (menikah dengan seorang saja). Terdapat ayat yang mangandung peringatan agar tidak disalah gunakan. Ini semua bartujuan supaya tidak terjadi kezaliman. Tetapi, poligami diperbolehkan dengan syarat ia dilakukan pada masa-masa terdesak untuk mengatasi perkara yang tidak dapat diatasi dengan jalan lain. Atau dengan kata lain bahwa poligami itu diperbolehkan oleh Islam dan tidak dilarang kecuali jikalau dikhawatirkan bahwa kebaikannya akan dikalahkan oleh keburukannya. Sebagaimana talaq, begitu jugalah dengan poligami yang diperbolehkan umatnya berpoligami berdasarkan nas-nas syariat serta realita keadaan masyarakat. Ini berarti poligami tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenangnya demi untuk menjaga ketinggian budi pekerti dan nilai kaum muslimin.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Poligami
Menurut Abu Azzam Abdillah, banyak faktor yang sering memotivasi seorang pria untuk melakukan poligami. Selama dorongan tersebut tidak menyimpang dari ketentuan syariat, tentu tidak ada cela dan larangan untuk melakukannya..
Faktor-Faktor Biologis
a. Istri yang sakit. Adanya seorang istri yang menderita suatu penyakit yang tidak memungkinkan baginya untuk melayani hasrat seksual suaminya.
b. Hasrat Seksual yang Tinggi. Sebagian kaum pria memiliki gairah dan hasrat seksual yang tinggi dan menggebu, sehingga baginya satu istri dirasa tidak cukup untuk menyalurkan hasratnya tersebut.
c. Rutinitas Alami Setiap Wanita. Adanya masa-masa haid, kehamilan dan melahirkan, menjadi alasan utama seorang wanita tidak dapat menjalankan salah satu kewajiban terhadap suaminya. Jika suami dapat bersabar menghadapi kondisi seperti itu, tentu tidak akan menjadi masalah. Tetapi jika suami termasuk orang yang hasrat seksualnya tinggi, beberapa hari saja istrinya mengalami haid, dikhawatirkan sang suami tidak bisa menjaga diri, maka poligami bias menjadi pilihannya. Kaum pria memiliki masa subur yang lebih lama dibandingkan wanita.
Faktor Internal Rumah Tangga
- Kemandulan. Banyak kasus perceraian yang dilatarbelakangi oleh masalah kemandulan, baik kemandulan yang terjadi pada suami maupun yang dialami istri. Hal ini terjadi karena keinginan seseorang untuk mendapat keturunan merupakan salah satu tujuan utama pernikahan dilakukannya. Dalam kondisi seperti itu, seorang istri yang bijak dan shalihah tentu akan berbesar hati dan ridha bila sang suami menikahi wanita lain yang dapat memberikan keturunan.
- Istri yang Lemah. Ketika sang suami mendapati istrinya dalam keadaan serba terbatas, tidak mampu menyelesaikan tugas-tugas rumahtangganya dengan baik, tidak bisa mengarahkan dan mendidik anak-anaknya, lemah wawasan ilmu dan agamanya, serta bentuk-bentuk kekurangan lainnya. maka pada saat itu, kemungkinan suami melirik wanita lain yang dianggapnya lebih baik, bisa saja terjadi poligami.
- Kepribadian yang Buruk. Istri yang tidak pandai bersyukur, banyak menuntut, boros, suka berkata kasar, tidak mau menerima nasihat suami, biasanya tidak disukai sang suami. Oleh karenanya, tidak jarang suami yang mulai berpikir untuk menikahi wanita lain yang dianggap lebih baik dan lebih shalihah.
Faktor Sosial
- Banyaknya Jumlah Wanita.
- Kesiapan Menikah dan Harapan Hidup pada Wanita. Sebagian pendapat juga mengatakan bahwa harapan hidup kaum wanita, lebih panjang daripada harapan hidup kaum pria, perbedaannya berkisar 5-6 tahun. Sehingga tidak heran jika lebih banyak suami yang lebih dahulu meninggal dunia, sedangkan sang istri harus hidup menjanda dalam waktu yang sangat lama, tanpa ada yang mengayomi, melindungi, dan tiada yang memberi nafkah secara layak.
- Berkurangnya Jumlah Kaum Pria. Dampak paling nyata yang ditimbulkan akibat banyaknya jumlah kematian pada kaum pria adalah semakin bertambahnya jumlah perempuan yang kehilangan suami dan terpaksa harus hidup menjanda. solusinya tida lain, kecuali menikah lagi dengan seorang jejaka, atau duda, atau memasuki kehidupan poligami dengan pria yang telah beristri. Itulah solusi yang lebih mulia, halal dan baradab.
- Lingkungan dan Tradisi. Seorang suami akan tergerak hatinya untuk melakukan poligami, jika ia hidup di lingkungan atau komunitas yang memelihara tradisi poligami. Sebaliknya ia akan bersikap antipati, sungkan dan berpikir seribu kali untuk melakukannya, jika lingkungan dan tradisi yang ada di sekitarnya menganggap poligami sebagai hal yang tabu dan buruk, sehingga mereka melecehkan dan merendahkan para pelakunya.
- Kemampuan Ekonomi. Kesuksesan dalam bisnis dan mapannya perekonomian seseorang, sering menumbuhkan sikap percaya diri dan keyakinan akan kemampuannya menghidupi istri lebih dari satu.
Hikmah Poligami
Mengenai hikmah diizinkan berpoligami (dalam keadaan darurat dengan syarat berlaku adil) antara lain adalah sebagai berikut:
d. Untuk mendapatkan keturunan bagi suami yang subur dan istri yang mandul
e. Untuk menjaga keutuhan keluarga tanpa menceraikan istri, sekalipun istri tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri
f. Untuk menyelamatkan suami dari hypersex ataupun dari perbuatan zina dan krisis akhlak lainnya.
g. Untuk menyelamatkan wanita dari krisis akhlak yang tinggal di Negara / masyarakat yang jumlah wanitanya jauh lebih banyak dari kaum prianya misalnya akibat peperangan yang cukup lama.
D. Kesimpulan
1. Poligami secara etimologi terdiri dari dua kata yaitu poli dan gami. Poli maknanya lebih dari satu atau banyak, sedangkan gami adalah pernikahan atau perkawinan. Sedangkan secara terminology poligami bermakna suami yang menikah lebih dari satu orang istri, tapi tidak lebih dari empat orang istri
2. Poligami diperbolehkan dengan syarat ia dilakukan pada masa-masa terdesak untuk mengatasi perkara yang tidak dapat diatasi dengan jalan lain.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Poligami: Faktor-Faktor Biologis, Faktor Internal Rumah Tangga, Faktor Sosial,
B. Saran
Meskipun makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, dapatlah kiranya berfungsi sebagaimana yang diterapkan. Sekiranya makalah bisa membantu kita dalam mengetahui tentang Zakat.
Kami menyadari Makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari bapak dan rekan-rekan sekalian, demi kesempurnaan Makalah ini.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Affiah, Neng Dara Poligami Rapuhkan Unit-Unit Keluarga
Al-Sanan, Arij binti Abdul Rahman Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami) terj. Yahya Arfiah. Jakarta : Dar al-Sunah Press, 1996.
Al-Syarif, Isham Muhammad. Poligami Tanya kenapa?. Jakarta : Mihrab, 2008.
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya.
Kompilasi Hukum Islam pasal 58
Ramulyo, Muh.Idris, Hukum Perkawinan Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 1996.
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir Al-Manar. Beirut Lebanon : Dar Al-Ma’rifah, tth, Cet Ke-II Jilid 4.
UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974
[1] Muhammad Rasyid Ridha,, Tafsir Al-Manar, (Beirut Lebanon : Dar Al-Ma’rifah, tth, Cet Ke-II Jilid 4), H. 350
[2] Arij binti Abdul Rahman al-Sanan, Adil Terhadap Para Isteri (Etika Berpoligami) terj. Yahya Arfiah, (Jakarta: Dar al-Sunah Press, 1996), h. 36
[6] Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya.
[7] UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974
[8] Kompilasi Hukum Islam pasal 58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar