- Pengertian Bukti
Bukti
adalah sesuatu yang dapat memperkuat kebenaran suatu pendapat maupun
kesimpulan. Dalam ilmu sejarah, bukti merupakan jejak-jejak peninggalan
perbuatan pada masa lampau. Bukti-bukti sejarah tersebut dapat berupa
keterangan-keterangan dari para saksi atau pelaku sejarah dapat pula berupa
benda-benda peninggalan, baik tertulis maupun tidak tertulis. Misalnya,
pendapat tentang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia sebagai perjuangan
bangsa Indonesia dapat dibuktikan kebenarannya dengan antara lain: konsep dan
naskah teks proklamasi yang ditandatangani oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa
Indonesia, gedung tempat teks itu disiapkan, keteranganketerangan dari para saksi
dan para pelaku sejarahnya seperti Moh.Hatta, Ahmad Soebardjo, B.M. Diah, dan
Sidik Kertapati.[1]
- Pengertian
Bukti Tertulis
Pengertian alat bukti tertulis atau surat adalah segala
sesuatu yang memuat tanda-tanda baca dimaksud mencurahkan isi hati dan buah
pikiran dipergunakan sebagai pembuktian. Pembuktian dalam hukum acara mempunyai
arti yuridis berarti hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang
memperoleh hak dari mereka, dan tujuan dari pembuktian ini adalah untuk memberi
kepastian kepada Hakim tentang adanya suatu peristiwa-peristiwa tertentu.
Maka pembuktian harus dilakukan oleh para
pihak dan siapa yang harus membuktikan atau yang disebut juga sebagai beban
pembuktian berdasarkan pasal 163 HIR ditentukan bahwa barang siapa yang
menyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk
menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus
membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Ini berarti dapat ditarik
kesimpulan bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia yang harus membuktikan.
Menurut system dari HIR hakim hanya dapat mendasarkan putusannya atas alat-alat
bukti yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang. Menurut pasal 164 HIR alat-alat
bukti terdiri dari :
1. Bukti
tulisan;
2. Bukti
dengan saksi;
3. Persangkaan;
4. Pengakuan;
5. Sumpah.
Untuk
dapat membuktikan adanya suatu perbuatan hukum, maka diperlukan alat bukti yang
mempunyai kekuatan pembuktian. Dalam hal ini agar akta sebagai alat bukti
tulisan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, maka akta tersebut harus
memenuhi syarat otentisitas yang ditentukan oleh undang-undang, salah satunya
harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.
Dalam
hal harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang inilah profesi
Notaris memegang peranan yang sangat penting dalam rangka pemenuhan syarat
otentisitas suatu surat atau akta agar mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna karena berdasarkan pasal 1 UUJN Notaris adalah pejabat umum yang
berwenang untuk membuat akta otentik. Akta otentik
merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1870
KUHPerdata. Akta otentik memberikan diantara para pihak termasuk para ahli
warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang
sempurna tentang apa yang diperbuat/ dinyatakan di dalam akta
ini. Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam
suatu akta otentik merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian dan
persyaratan yang terdapat padanya. Ketiadaan salah satu kekuatan pembuktian
ataupun persyaratan tersebut akan mengakibatkan suatu akta otentik tidak
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan
mengikat (bindende)sehingga akta akan kehilangan keotentikannya dan
tidak lagi menjadi akta otentik. [2]
- Jenis-jenis Bukti Tertulis
Adapun alat bukti tertulis dimaksud
berupa :
- Akta, yakni surat yang diberi
tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi
dasar dan suatu hak atau perikatan yang dimuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian.
Akta tersebut terdiri dari :
1. Akta Otentik,
Yaitu akta yang dibuat oleh dihadapan
pejabat umum yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan
yang telah ditetapkan. (pasal.285 Rbg.). Akta juga merupkan surat yang diberi
tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau
perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian.
Jadi untuk dapat digolongkan sebagai akta
suatu surat harus ada tanda tangannya seperti yang disyaratkan dalam pasal 1869
KUHPer bahwa suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya
pegawai dimaksud di atas (pasal 1868 KUHPer) atau karena suatu cacat
dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik namun demikian
mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh
para pihak. Ini berarti bahwa surat tanpa apa tanda tangan seperti karcis
parkir tidak termasuk akta. Keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan
untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat
orang lain, jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau
untuk mengindividualisir sebuah akta karena identifikasi dapat dapat dilihat
dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta tersebut.
Yang dimaksudkan dengan penandatangan dalam
akta ini adalah membubuhkan nama dari si penanda tangan, sehingga membubuhkan paraf, yaitu singkatan tanda tangan saja
dianggap belum cukup, nama tersebut harus ditulis tangan oleh si penandatangan
sendiri atas kehendaknya sendiri.
Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu
akta dibawah tangan adalah sidik jari (cap jari atau cap jempol) yang dikuatkan
dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat
lain yang ditujuk oleh undang-undang, yang menyatakan bahwa ia mengenal orang
yang membubuhkan sidik jari atau orang itu diperkenalkan kepadanya, dan bahwa
isi akta itu telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya, kemudian sidik jari itu
dibubuhkan pada akta di hadapan pejabat tersebut, pengesahan sidik jari ini
lebih dikenal dengan waarmerking.
Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi
akta otentik dan akta di bawah tangan. Pengertian akta otentik dapat ditemukan
dalam pasal 1868 KUHPer yaitu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa
untuk itu di tempat di mana akta itu dibuatnya atau dengan kata lain akta
otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu
oleh penguasa menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan baik dengan
maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang
dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan.
Berdasarkan pasal 165 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) Suatu akta otentik dapat dibagi
lebih lanjut menjadi akta yang dibuat oleh pejabat dan akta yang dibuat oleh
para pihak. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat merupakan akta yang dibuat
oleh pejabat yang memang berwenang untuk itu dengan mana pejabat itu
menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya.
Akta ini meliputi akta otentik dibidang
hukum publik dan yang membuatnya pun, pejabat publik yang bertugas di bidang
eksekutif yang berwenang untuk itu, yang disebut pejabat tata usaha negara
(TUN), contohnya adalah KTP, SIM, IMB, paspor. Contoh akta – akta tersebut
dibuat oleh pejabat eksekutif, sedangkan ada juga yang dibuat oleh pejabat
yudikatif seperti berita acara sidang, surat pemanggilan, berita acara sidang,
akta banding atau kasasi, dll. Adapun akta otentik yang dibuat oleh para pihak
berarti akta tersebut dibuat oleh pejabat yang berwenang atas inisiatif dari
para pihak yang berkepentingan tersebut, contohnya adalah akta jual beli, akta
hibah, dll. Sedangkan yang dimaksud dengan akta di bawah tangan ialah akta
yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang
pejabat jadi hanya antara para pihak yang berkepentingan saja. Dalam
KUHPer diatur dalam pasal 1875 bahwa suatu tulisan di bawah tangan yang diakui
oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan
cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap
orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang
yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu
akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan pasal 1871 untuk tulisan
itu. Akta mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formil (formalitas causa)
dan fungsi alat bukti (probationis causa).[3]
Formalitas causa artinya akta berfungsi untuk
lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan sahnya perbuatan
hukum. Jadi adanya akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan
hukum. Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai
alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk
pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk
akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan
sebagai alat bukti dikemudian hari
Dalam
suatu akta otentik harus memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil
1. Kekuatan
pembuktian lahir
Yang
dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir berarti kekuatan pembuktian yang
didasarkan atas keaadaan lahir akta itu sendiri, dan sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa yang berarti suatu akta yang lahirnya
tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan
maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik sampai
terbukti sebaliknya. Berarti suatu akta otentik mempunyai kemampuan untuk
membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik.
2. Kekuatan
Pembuktian Formil
Artinya
dari akta otentik itu dibuktikan bahwa apa yang dinyatakan dan dicantumkan
dalam akta itu adalah benar merupakan uraian kehendak pihak-pihak. Akta otentik
menjamin kebenaran tanggal, tanda tangan, komparan, dan tempat akta dibuat. Dalam
arti formil pula akta notaris membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan
yaitu yang dilihat, didengar dan dialami sendiri oleh notaris sebagai Pejabat
Umum dalam menjalankan jabatannya. Akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan
pembuktian formil, terkecuali bila si penanda tangan dari surat atau akta itu
mengakui kebenaran tanda tangannya.
3. Kekuatan
Pembuktian Materiil
Bahwa
secara hukum (yuridis) suatu akta otentik memberi kepastian tentang peristiwa
bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam
akta. Kemudian selain dari kekuatan pembuktian maka berdasarkan UUJN agar suatu
akta notaris memiliki syarat otentisitas, maka pada saat pembuatan akta harus:
1. Para
penghadap yang telah memenuhi syarat (Minimal berusia 18 tahun atau telah
menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum) menghadap Notaris di wilayah kerja
notaris ybs tersebut;
2. Para
penghadap tersebut harus dikenal notaris atau diperkenalkan padanya oleh 2
(dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 tahun atau telah
menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua)
penghadap lainnya.
3. Para
penghadap mengutarakan maksudnya;
4. Notaris
mengkonstatir maksud dari para penghadap dalam sebuah akta;
5. Notaris
membacakan susunan kata dalam bentuk akta kepada para penghadap dan dihadiri
oleh 2 (dua) orang saksi yang memenuhi persyaratan;
6. Segera
setelah akta dibacakan para penghadap, saksi dan notaris kemudian membubuhkan
tandatangannya, yang berarti membenarkan apa yang termuat dalam akta tersebut,
dan penandatanganan tersebut harus dilakukan pada saat tersebut.
Kemudian
berdasarkan atas undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterei disebutkan
bahwa terhadap akta atau surat perjanjian dan surat-surat lainnya, dalam hal
ini termasuk yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian
mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan
atas dokumen tersebut bea meterei. Namun tidak adanya materai dalam suatu akta
atau surat perjanjian tidak mengakibatkan perbuatan hukumnya tidak sah,
melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian atau yang
biasa disebut probationis
causa yang berarti akta
mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat
dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sedangkan perbuatan hukumnya
sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada
tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh syarat sah perjanjian berdasarkan
Pasal 1320 KUHPerdata dan apabila suatu akta atau surat yang dari semula tidak
diberi materai tapi kemudian ternyata perlu untuk dipergunakan sebagai alat
bukti di pengadilan maka pemberian materai dapat dilakukan
belakangan. Maka suatu akta notaris dikatakan memiliki
kekuatan pembuktian yang sempurna apabila akta tersebut mempunyai
kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan memenuhi syarat otentisitas
sebagaimana dipersyaratkan dalam UUJN sehingga akta yang telah memenuhi semua
persyaratan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus
dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Dengan demikian
barang siapa yang menyatakan bahwa suatu akta otentik itu palsu, maka ia harus
membuktikan tentang kepalsuan akta itu. Apabila suatu akta otentik ternyata
tidak memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil maupun materil dan tidak
memenuhi syarat otentisitas maka akta otentik tidak lagi disebut sebagai akta
otentik melainkan hanya akta di bawah tangan.
Syarat Formil :
- Pada prinsipnya bersifat partai.
- Dibuat oleh atau dihadapan pejabat
umum yang berwenang.
- Memuat tanggal (hari), bulan, dan
tahun pembuatan.
- Ditandatangani oleh yang
membuat.
Syarat Materil :
- Isi yang tertuang didalamnya
berhubungan langsung dengan apa yang diperjanjikan atau diperkarakan.
- Isi akta tidak bertentangan dengan
hukum, kesusilaan, agama, dan ketertiban umum.
- Pembuatannya sengaja untuk
dipergunakan untuk alat bukti.
Adapun kekuatan nilai pembuktiannya
adalah sempurna (volledeg) dan
mengikat (bidende ), sepanjang tidak
dilawan dengan alat bukti yang sederajat dengannya. (pasal. 285 Rbg. Psl.1868
KUHPerdata.). Manakala ada perlawanan dengan akta yang sederajat dengannya,
maka alat bukti otentik dimaksud kekuatan
nilai pembuktiannya menjadi bukti permulaan, sehingga harus ditambah
dengan alat bukti lain, agar mencapai batas minimal pembuktian.[4]
- Akta Dibawah Tangan
Akta Dibawah Tangan, ialah akta yang
sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa melibatkan/bantuan pejabat umum yang
berwenang.
Syarat Formil :
- Bersifat partai.
- Pembuatannya tidak dihadapan pejabat.
- Harus bermaterai,
- Ditandatangani oleh kedua belah pihak yang melakukan
perikatan/perjanjian. (yang disamakan dengan tandatangan ini ialah cap jempol.
(pasal. 286 Rbg. Pasal. 1.a Ordonansi 1867 No.29).
(Akta seperti ini dapat disyahkan oleh Pejabat/Notaris, dan
bertanggal. Dan pejabat tersebut harus menyatakan/menerangkan bahwa ia kenal
atau diperkenalkan dengan orang yang bercap jempol tersebut, dan isi surat itu
sudah dibacakan dengan terang dihadapan orang itu sebelum dibubuhkan cap
jempolnya.Surat itu dibukukan oleh Pejabat.)
Syarat Materil :
- Isi Akta berkaitan langsung dengan
apa yang diperjanjikan/diperkarakan.
- Isi akta tidak beretentangan dengan
hukum, kesusilaan, agama, dan ketertiban umum.
- Sengaja dibuat untuk alat bukti.
Adapun kekuatan nilai pembuktiannya
sama dengan bukti otentik, selama isi dan tandatangannya diakui atau tidak
disanggah. Akan tetapi bila isi dan tandatangannya tidak diakui atau disanggah,
maka nilai kekuatan pembuktiannya menjadi bukti permulaan, sehingga harus
ditambah dengan bukti yang lain.[5]
- Akta Sepihak
Akta sepihak adalah akta yang
ditulis dan ditanda tangani sendiri (sepihak). Contohnya bukti pembayaran
dengan kwetansi.
Syarat Formil:
- Ditulis sendiri seluruhnya oleh yang
menandatangani, atau sekurang-kurangnya menulis sendiri dengan huruf (untuk
sejumlah uang ), bukan dengan angka.
- Diberi tanggal, bulan dan tahun,
serta ditandatangani oleh pembuat.
Syarat Materil :
- Isi Akta berkaitan dengan yang diperjanjikan/diperkarakan,
- Isi Akta tidak bertentangan dengan hukum, susila,
agama,dan ketertiban umum.
- Sengaja dibuat untuk alat bukti.
Adapun kekutan nilai pembuktiannya
sama dengan akta otentik, bila isi dan tandatangannya diakui. Bila tidak diakui
isi dan tandatangannya, maka jadilah ia sebagai bukti permulaan, sehingga
diperlukan bukti tambahan, dan nilai pembuktiannyapun menjadi bebas ( tidak
mengikat).[6]
- Praktik Pembuktian dalam Persidangan
Perlu diketahui dari sekian
alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam hukum acara
perdata, maka alat bukti yang paling utama adalah alat bukti
surat, terlebih-lebih menyangkut hak kepemilikan, hak penguasaan terhadap suatu
benda, dan perjanjian atau perikatan. Oleh sebab itu didalam persidangan,
majelis hakim harus mendahulukan untuk mendapatkan alat bukti tertulis daripada
alat bukti lainnya, bahkan meskipun telah selesai tahap pembuktian, dimana para
pihak masih mengajukan alat bukti tambahan berupa alat
bukti surat, patut diterima dan dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Perlu
diingat pula, bahwa semua surat- surat yang dijadikan alat bukti dipersiddangan
harus di nazegelen (dimateraikan)
terlebih dahulu dikantor pos. (UU.No.13 Thn.1985 dan Penjelasannya), agar surat
tersebut dapat dinilai sebagai alat bukti.
Bahwa surat-surat dalam bentuk
fotocopy yang dijadikan alat bukti dipengadilan, pihak yang mengajukan
berkewajiban menunjukkan asli surat tersebut kepada Majelis Hakim, yang
kemudian Majelis Hakim membubuhkan tulisan singkat pada sudut atas surat terbut
bahwa surat tersebut telah dicocokkan dengan aslinya,
kemudian difaraf oleh Ketua Majelis.
Bahwa
semua surat surat yang dijadikan alat bukti dipengadilan, oleh majelis Hakim
Diberi
tanda pada sudut sebelah atas surat sbb:
- Surat-surat yang diajukan Penggugat
diberi tanda ; P1, P2, dst.
- Surat-surat yang diajukan Tergugat
diberi tanda : T1, T2, dst.
- Sebaiknya dibedakan tinta tanda
tersebut, yang biasa dilakukan, bila bukti Penggugat memakai tinta hitam, dan
bukti Tergugat memakai tinta merah.
Surat-surat bukti tersebut diperlihatkan kepada
pihak lawan.[7]
[2]
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi
Keempat, (Yogyakarta, Liberty: 1993), h. 121.
[3]
Asadulloh Al-Faruq, Hukum
Acara Peradilan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), h. 83-84.
[5]
Rasyid A Roihan, Hukum
Acara Peradilan Agama, Cet. I, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 154-155.
[6]
Asadulloh Al-Faruq, Hukum
Acara Peradilan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), h. 78-79.
[7] Asadulloh Al-Faruq, Hukum
Acara Peradilan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), h. 79-82.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar