Laman

Minggu, 17 November 2013

Bukti Tertulis

  1. Pengertian Bukti
Bukti adalah sesuatu yang dapat memperkuat kebenaran suatu pendapat maupun kesimpulan. Dalam ilmu sejarah, bukti merupakan jejak-jejak peninggalan perbuatan pada masa lampau. Bukti-bukti sejarah tersebut dapat berupa keterangan-keterangan dari para saksi atau pelaku sejarah dapat pula berupa benda-benda peninggalan, baik tertulis maupun tidak tertulis. Misalnya, pendapat tentang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia sebagai perjuangan bangsa Indonesia dapat dibuktikan kebenarannya dengan antara lain: konsep dan naskah teks proklamasi yang ditandatangani oleh Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia, gedung tempat teks itu disiapkan, keteranganketerangan dari para saksi dan para pelaku sejarahnya seperti Moh.Hatta, Ahmad Soebardjo, B.M. Diah, dan Sidik Kertapati.[1]
 
  1. Pengertian Bukti Tertulis
Pengertian alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda baca dimaksud mencurahkan isi hati dan buah pikiran dipergunakan sebagai pembuktian. Pembuktian dalam hukum acara mempunyai arti yuridis berarti hanya berlaku bagi pihak-pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka, dan tujuan dari pembuktian ini adalah untuk memberi kepastian kepada Hakim tentang adanya suatu peristiwa-peristiwa tertentu.
Maka pembuktian harus dilakukan oleh para pihak dan siapa yang harus membuktikan atau yang disebut juga sebagai beban pembuktian berdasarkan pasal 163 HIR ditentukan bahwa barang siapa yang menyatakan ia mempunyai hak atau ia menyebutkan sesuatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Ini berarti dapat ditarik kesimpulan bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu maka ia yang harus membuktikan. Menurut system dari HIR hakim hanya dapat mendasarkan putusannya atas alat-alat bukti yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang. Menurut pasal 164 HIR alat-alat bukti terdiri dari :
1.   Bukti tulisan;
2.   Bukti dengan saksi;
3.   Persangkaan;
4.   Pengakuan;
5.   Sumpah.
Untuk dapat membuktikan adanya suatu perbuatan hukum, maka diperlukan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian. Dalam hal ini agar akta sebagai alat bukti tulisan mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, maka akta tersebut harus memenuhi syarat otentisitas yang ditentukan oleh undang-undang, salah satunya harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang.  
Dalam hal harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang inilah profesi Notaris memegang peranan yang sangat penting dalam rangka pemenuhan syarat otentisitas suatu surat atau akta agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena berdasarkan pasal 1 UUJN Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik. Akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1870 KUHPerdata. Akta otentik memberikan diantara para pihak termasuk para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari para pihak itu suatu bukti yang sempurna tentang apa yang diperbuat/ dinyatakan di dalam akta ini.     Kekuatan pembuktian sempurna yang terdapat dalam suatu akta otentik merupakan perpaduan dari beberapa kekuatan pembuktian dan persyaratan yang terdapat padanya. Ketiadaan salah satu kekuatan pembuktian ataupun persyaratan tersebut akan mengakibatkan suatu akta otentik tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig) dan mengikat (bindende)sehingga akta akan kehilangan keotentikannya dan tidak lagi menjadi akta otentik. [2]

  1. Jenis-jenis Bukti Tertulis

Adapun alat bukti tertulis dimaksud berupa :
  1. Akta, yakni surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi
dasar dan suatu hak atau perikatan yang dimuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.
Akta tersebut terdiri dari :
1.      Akta Otentik,
Yaitu akta yang dibuat oleh dihadapan pejabat umum yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan yang telah ditetapkan. (pasal.285 Rbg.). Akta juga merupkan surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian.
Jadi untuk dapat digolongkan sebagai akta suatu surat harus ada tanda tangannya seperti yang disyaratkan dalam pasal 1869 KUHPer bahwa suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai  dimaksud di atas (pasal 1868 KUHPer) atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ia ditandatangani oleh para pihak. Ini berarti bahwa surat tanpa apa tanda tangan seperti karcis parkir tidak termasuk akta. Keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain, jadi fungsi tanda tangan tidak lain adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta karena identifikasi dapat dapat dilihat dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta tersebut.
Yang dimaksudkan dengan penandatangan dalam akta ini adalah membubuhkan nama dari si penanda tangan, sehingga membubuhkan paraf, yaitu singkatan tanda tangan saja dianggap belum cukup, nama tersebut harus ditulis tangan oleh si penandatangan sendiri atas kehendaknya sendiri.
Dipersamakan dengan tanda tangan pada suatu akta dibawah tangan adalah sidik jari (cap jari atau cap jempol) yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditujuk oleh undang-undang, yang menyatakan bahwa ia mengenal orang yang membubuhkan sidik jari atau orang itu diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi akta itu telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya, kemudian sidik jari itu dibubuhkan pada akta di hadapan pejabat tersebut, pengesahan sidik jari ini lebih dikenal dengan waarmerking.
Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi akta otentik dan akta di bawah tangan. Pengertian akta otentik dapat ditemukan dalam pasal 1868 KUHPer yaitu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta itu dibuatnya atau dengan kata lain akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan.
Berdasarkan pasal 165 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) Suatu akta otentik dapat dibagi lebih lanjut menjadi akta yang dibuat oleh pejabat dan akta yang dibuat oleh para pihak. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang memang berwenang untuk itu dengan mana pejabat itu menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya.
Akta ini meliputi akta otentik dibidang hukum publik dan yang membuatnya pun, pejabat publik yang bertugas di bidang eksekutif yang berwenang untuk itu, yang disebut pejabat tata usaha negara (TUN), contohnya adalah KTP, SIM, IMB, paspor. Contoh akta – akta tersebut dibuat oleh pejabat eksekutif, sedangkan ada juga yang dibuat oleh pejabat yudikatif seperti berita acara sidang, surat pemanggilan, berita acara sidang, akta banding atau kasasi, dll. Adapun akta otentik yang dibuat oleh para pihak berarti akta tersebut dibuat oleh pejabat yang berwenang atas inisiatif dari para pihak yang berkepentingan tersebut, contohnya adalah akta jual beli, akta hibah, dll. Sedangkan yang dimaksud dengan akta di bawah tangan ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari seorang pejabat jadi hanya antara para pihak yang berkepentingan  saja. Dalam KUHPer diatur dalam pasal 1875 bahwa suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau  yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak  dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan pasal 1871 untuk tulisan itu. Akta mempunyai dua fungsi yaitu fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi alat bukti (probationis causa).[3]
Formalitas causa artinya akta berfungsi untuk lengkapnya atau sempurnanya suatu perbuatan hukum, jadi bukan sahnya perbuatan hukum. Jadi adanya akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum. Probationis causa berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta ini tidak membuat sahnya perjanjian tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari
Dalam suatu akta otentik harus memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil
1.      Kekuatan pembuktian lahir
Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir berarti kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keaadaan lahir akta itu sendiri, dan sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa yang berarti suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu  berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya. Berarti suatu akta otentik mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai akta otentik.


2.      Kekuatan Pembuktian Formil
Artinya dari akta otentik itu dibuktikan bahwa apa yang dinyatakan dan dicantumkan dalam akta itu adalah benar merupakan uraian kehendak pihak-pihak. Akta otentik menjamin kebenaran tanggal, tanda tangan, komparan, dan tempat akta dibuat. Dalam arti formil pula akta notaris membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu yang dilihat, didengar dan dialami sendiri oleh notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan jabatannya. Akta dibawah tangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian formil, terkecuali bila si penanda tangan dari surat atau akta itu mengakui kebenaran tanda tangannya.
3.      Kekuatan Pembuktian Materiil
Bahwa secara hukum (yuridis) suatu akta otentik memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta. Kemudian selain dari kekuatan pembuktian maka berdasarkan UUJN agar suatu akta notaris memiliki syarat otentisitas, maka pada saat pembuatan akta harus:
1.      Para penghadap yang telah memenuhi syarat (Minimal berusia 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum) menghadap Notaris di wilayah kerja notaris ybs tersebut;
2.      Para penghadap tersebut harus dikenal notaris atau diperkenalkan padanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.
3.      Para penghadap mengutarakan maksudnya;
4.      Notaris mengkonstatir maksud dari para penghadap dalam sebuah akta;
5.      Notaris membacakan susunan kata dalam bentuk akta kepada para penghadap dan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi yang memenuhi persyaratan;
6.      Segera setelah akta dibacakan para penghadap, saksi dan notaris kemudian membubuhkan tandatangannya, yang berarti membenarkan apa yang termuat dalam akta tersebut, dan penandatanganan tersebut harus dilakukan pada saat tersebut.
Kemudian berdasarkan atas undang-undang No.13 tahun 1985 tentang Bea Meterei disebutkan bahwa terhadap akta atau surat perjanjian dan surat-surat lainnya, dalam hal ini termasuk yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata maka dikenakan atas dokumen tersebut bea meterei. Namun tidak adanya materai dalam suatu akta atau surat perjanjian tidak mengakibatkan perbuatan hukumnya tidak sah, melainkan hanya tidak memenuhi persyaratan sebagai alat pembuktian atau yang biasa disebut probationis causa yang berarti akta mempunyai fungsi sebagai alat bukti, karena sejak awal akta tersebut dibuat dengan sengaja untuk pembuktian dikemudian hari. Sedangkan perbuatan hukumnya sendiri tetap sah karena sah atau tidaknya suatu perjanjian itu bukan ada tidaknya materai, tetapi ditentukan oleh syarat sah perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dan apabila suatu akta atau surat yang dari semula tidak diberi materai tapi kemudian ternyata perlu untuk dipergunakan sebagai alat bukti di pengadilan maka pemberian materai dapat dilakukan belakangan.     Maka suatu akta notaris dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna apabila  akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan memenuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam UUJN sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Dengan demikian barang siapa yang menyatakan bahwa suatu akta otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu. Apabila suatu akta otentik ternyata tidak memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil maupun materil dan tidak memenuhi syarat otentisitas maka akta otentik tidak lagi disebut sebagai akta otentik melainkan hanya akta di bawah tangan.
Syarat Formil :
-    Pada prinsipnya bersifat partai.
-    Dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang.
-    Memuat tanggal (hari), bulan, dan tahun pembuatan.
-    Ditandatangani oleh yang membuat. 
Syarat Materil :
-    Isi yang tertuang didalamnya berhubungan langsung dengan apa yang diperjanjikan atau diperkarakan.
-    Isi akta tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, dan ketertiban umum.
-    Pembuatannya sengaja untuk dipergunakan untuk alat bukti.
Adapun kekuatan nilai pembuktiannya adalah sempurna (volledeg) dan mengikat (bidende ), sepanjang tidak dilawan dengan alat bukti yang sederajat dengannya. (pasal. 285 Rbg. Psl.1868 KUHPerdata.). Manakala ada perlawanan dengan akta yang sederajat dengannya, maka alat bukti otentik dimaksud kekuatan  nilai pembuktiannya menjadi bukti permulaan, sehingga harus ditambah dengan alat bukti lain, agar mencapai batas minimal pembuktian.[4]

  1. Akta Dibawah Tangan

Akta Dibawah Tangan, ialah akta yang sengaja dibuat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa  melibatkan/bantuan pejabat umum yang berwenang.
Syarat Formil :
- Bersifat partai.
- Pembuatannya tidak dihadapan pejabat.
- Harus bermaterai,
- Ditandatangani oleh kedua belah pihak yang melakukan perikatan/perjanjian. (yang disamakan dengan tandatangan ini ialah cap jempol. (pasal. 286 Rbg. Pasal. 1.a Ordonansi 1867 No.29).
(Akta seperti ini dapat disyahkan oleh Pejabat/Notaris, dan bertanggal. Dan pejabat tersebut harus menyatakan/menerangkan bahwa ia kenal atau diperkenalkan dengan orang yang bercap jempol tersebut, dan isi surat itu sudah dibacakan dengan terang dihadapan orang itu sebelum dibubuhkan cap jempolnya.Surat itu dibukukan oleh Pejabat.)
Syarat Materil :
-    Isi Akta berkaitan langsung dengan apa yang diperjanjikan/diperkarakan.
-    Isi akta tidak beretentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, dan ketertiban umum.
-    Sengaja dibuat untuk alat bukti.
Adapun kekuatan nilai pembuktiannya sama dengan bukti otentik, selama isi dan tandatangannya diakui atau tidak disanggah. Akan tetapi bila isi dan tandatangannya tidak diakui atau disanggah, maka nilai kekuatan pembuktiannya menjadi bukti permulaan, sehingga harus ditambah dengan bukti yang lain.[5]

  1. Akta Sepihak

Akta sepihak adalah akta yang ditulis dan ditanda tangani sendiri (sepihak). Contohnya bukti pembayaran dengan kwetansi.
Syarat Formil:
-    Ditulis sendiri seluruhnya oleh yang menandatangani, atau sekurang-kurangnya menulis sendiri dengan huruf (untuk sejumlah uang ), bukan dengan angka.
-    Diberi tanggal, bulan dan tahun, serta ditandatangani oleh pembuat.
Syarat Materil :
- Isi Akta berkaitan dengan yang diperjanjikan/diperkarakan,
- Isi Akta tidak bertentangan dengan hukum, susila, agama,dan ketertiban umum.
- Sengaja dibuat untuk alat bukti.
Adapun kekutan nilai pembuktiannya sama dengan akta otentik, bila isi dan tandatangannya diakui. Bila tidak diakui isi dan tandatangannya, maka jadilah ia sebagai bukti permulaan, sehingga diperlukan bukti tambahan, dan nilai pembuktiannyapun menjadi bebas ( tidak mengikat).[6]
  1. Praktik Pembuktian dalam Persidangan

Perlu diketahui dari sekian alat-alat bukti yang telah ditentukan dalam hukum acara
perdata, maka alat bukti yang paling utama adalah alat bukti surat, terlebih-lebih menyangkut hak kepemilikan, hak penguasaan terhadap suatu benda, dan perjanjian atau perikatan. Oleh sebab itu didalam persidangan, majelis hakim harus mendahulukan untuk mendapatkan alat bukti tertulis daripada alat bukti lainnya, bahkan meskipun telah selesai tahap pembuktian, dimana para pihak masih mengajukan alat bukti tambahan berupa  alat  bukti surat, patut diterima dan dijadikan sebagai bahan pertimbangan. Perlu diingat pula, bahwa semua surat- surat yang dijadikan alat bukti dipersiddangan harus di nazegelen (dimateraikan) terlebih dahulu dikantor pos. (UU.No.13 Thn.1985 dan Penjelasannya), agar surat tersebut dapat dinilai sebagai alat bukti.
Bahwa surat-surat dalam bentuk fotocopy yang dijadikan alat bukti dipengadilan, pihak yang mengajukan berkewajiban menunjukkan asli surat tersebut kepada Majelis Hakim, yang kemudian Majelis Hakim membubuhkan tulisan singkat pada sudut atas surat terbut bahwa surat tersebut telah dicocokkan dengan aslinya,
kemudian difaraf oleh Ketua Majelis.
             Bahwa semua surat surat yang dijadikan alat bukti dipengadilan, oleh majelis Hakim
            Diberi tanda pada sudut sebelah atas surat sbb:
-    Surat-surat yang diajukan Penggugat diberi tanda ; P1, P2, dst.
-    Surat-surat yang diajukan Tergugat diberi tanda    : T1, T2, dst.
-    Sebaiknya dibedakan tinta tanda tersebut, yang biasa dilakukan, bila bukti Penggugat memakai tinta hitam, dan bukti Tergugat memakai tinta merah.
Surat-surat bukti tersebut diperlihatkan kepada pihak lawan.[7]


[1] Rasyid A. Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 46
[2] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, (Yogyakarta, Liberty: 1993), h. 121.

[3] Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), h. 83-84.
[4] Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), h. 62

[5] Rasyid A Roihan, Hukum Acara Peradilan Agama, Cet. I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 154-155.
[6] Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), h. 78-79.

[7] Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), h. 79-82.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar