1.
Pengertian Islam
Secara terminologi Islam
mempunyai arti pasrah atau tuduk.[1]
Sedangkan dalam bahasa Arab kata Islam merupakan kata bentukan dari kata kerja “aslama-yuslimu-islaaman”
yang berarti menyerahkan diri atau kedamaian.[2]
Islam dalam arti luas merupakan agama yang diturunkan kepada manusia sebagai
rahmat dari Allah bagi alam semesta. Ajaran-ajarannya selalu membawa
kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia ini. Allah swt sendiri telah
menyatakan hal ini, sebagaimana yang tersebut dalam (QS Toha: 2 ): “Kami tidak menurunkan Al Qur’an ini kapadamu
agar kamu menjadi susah“. Artinya bahwa umat manusia yang mau mengikuti
petunjuk Al Qur’an ini, akan dijamin oleh Allah bahwa kehidupan mereka akan
bahagia dan sejahtera dunia dan akherat. Sebaliknya siapa saja yang membangkang
dan mengingkari ajaran Islam ini, niscaya dia akan mengalami kehidupan yang
sempit dan penuh penderitaan.
Adapun pengertian Islam
dalam segi istilah adalah mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang
datang dari Allah SWT bukan berasal dari manusia dan bukan pula berasal dari
nabi Muhammad SAW. Terwujudnya suatu “kedamaian” apabila adanya penyerahan
serta kepatuhan (Islam) terhadap Sang Pencipta. Dalam hal ini Allah telah
berjanji kepada siapa pun yang menyerahkan diri disertai dengan amal saleh,
akan mendapatkan kedamaian, sebab dalam penyerahan (Islam) ini terdapat
konsekuensi sikap muslim yang logis, tidak pernah gentar, pesimis dan takut
dalam hidupnya.
Al Qur’an mempergunakan
kata Islam di berbagai tempat dengan pengertian yang berbeda-beda, namun pada
prinsipnya mengarah pemahaman yang sama. Pengertian Islam secara umum:
mengandung dimensi-dimensi iman yang tidak dikotori
oleh unsur-unsur syirik, tunduk disertai dengan ikhlas hanya kepada Allah,
berserah diri disertai dengan amal saleh serta sikap tegar dan optimistis. Jadi
pengertian Islam secara lughowi pada prinsipnya: Penyerahan diri secara bulat
kepada Allah yang melahirkan satu sikap hidup tertentu. [3]
2.
Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan adalah suatu
keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda seperti
pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral adat istiadat, dan segala
kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dan ada juga
kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batil (akal budi)
manusia kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan berarti pula kegiatan (usaha)
batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk hasil
kebudayaan. [4]
Di dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa: “budaya“ adalah pikiran, akal budi, adat
istiadat. Sedang “kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal
budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi
mengartikan kebudayaan dengan keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian ,
ilmu dll). Sedang ahli sejarah mengartikan kebudaaan sebagai warisan atau
tradisi. Bahkan ahli Antropogi melihat kebudayaan sebagai tata hidup, way of life, dan kelakuan.
Definisi-definisi tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah
luas. Untuk memudahkan pembahasan, Ernst Cassirer membaginya menjadi lima aspek
: 1. Kehidupan Spritual 2. Bahasa dan Kesustraan 3. Kesenian 4. Sejarah 5. Ilmu
Pengetahuan.
Aspek
kehidupan Spritual, mencakup kebudayaan fisik, seperti sarana (candi, patung
nenek moyang, arsitektur), peralatan (pakaian, makanan, alat-alat upacara).
Juga mencakup sistem sosial, seperti upacara-upacara (kelahiran, pernikahan,
kematian). Adapun aspek bahasa dan kesusteraan mencakup bahasa daerah, pantun,
syair, novel-novel. Aspek seni dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu: visual arts dan performing arts, yang mencakup: seni rupa (melukis), seni
pertunjukan (tari, musik,) Seni Teater (wayang) Seni Arsitektur (rumah,
bangunan, perahu). Aspek ilmu pengetahuan meliputi scince (ilmu-ilmu eksakta) dan humanities
(sastra, filsafat kebudayaan dan sejarah ).
3. Hubungan Islam dan Budaya
Sebagian ahli kebudayaan memandang bahwa kecenderungan untuk
berbudaya merupakan dinamik ilahi. Bahkan menurut Hegel, keseluruhan karya
sadar insani yang berupa ilmu, tata hukum, tatanegara, kesenian, dan filsafat
tak lain daripada proses realisasi diri dari roh ilahi. Sebaliknya sebagian
ahli, seperti Pater Jan Bakker, dalam bukunya “Filsafat Kebudayaan” menyatakan
bahwa tidak ada hubungannya antara agama dan budaya, karena menurutnya, bahwa
agama merupakan keyakinan hidup rohaninya pemeluknya, sebagai jawaban atas
panggilan ilahi. Keyakinan ini disebut Iman, dan Iman merupakan pemberian dari
Tuhan, sedang kebudayaan merupakan karya manusia. Sehingga keduanya tidak bisa
ditemukan.
Adapun menurut para ahli Antropologi, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Drs. Heddy S. A. Putra, MA bahwa agama merupakan salah satu
unsur kebudayaan. Hal itu, karena para ahli Antropologi mengatakan bahwa
manusia mempunyai akal-pikiran dan mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan
untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol agama. Pemahaman manusia
sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat dalam kitab
suci masing- masing agama. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci
tersebut sesuai dengan kemampuan yang ada. Agama telah menjadi hasil kebudayaan
manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan, masih menurut ahli antropogi, bukanlah
diatur oleh ayat- ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap
ayat-ayat suci tersebut.
Para ahli kebudayaan mempunyai pendapat yang berbeda di
dalam memandang hubungan antara agama dan kebudayaan.
Kelompok pertama menganggap bahwa Agama merupakan sumber
kebudayaaan atau dengan kata lain bahwa kebudayaan merupakan bentuk nyata dari
agama itu sendiri. Pendapat ini diwakili oleh Hegel.
Kelompok kedua, yang di wakili oleh Pater Jan Bakker,
menganggap bahwa kebudayaan tidak ada hubungannya sama sekali dengan agama.
Dan kelompok ketiga, yeng menganggap bahwa agama merupakan
bagian dari kebudayaan itu sendiri. Untuk melihat manusia dan kebudayaannya,
Islam tidaklah memandangnya dari satu sisi saja. Islam memandang bahwa manusia
mempunyai dua unsur penting, yaitu unsur tanah dan unsur ruh yang ditiupkan
Allah kedalam tubuhnya. Ini sangat terlihat jelas di dalam firman Allah Qs As
Sajdah 7-9 : “ ( Allah)-lah Yang memulai
penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menciptakan keturunannya dari
saripati air yan hina ( air mani ). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan
ke dalam ( tubuh )-nya roh ( ciptaan)-Nya “ .Selain menciptakan manusia,
Allah swt juga menciptakan makhluk yang bernama Malaikat, yang hanya mampu
mengerjakan perbuatan baik saja, karena diciptakan dari unsur cahaya. Dan juga
menciptakan Syetan atau Iblis yang hanya bisa berbuat jahat , karena diciptkan
dari api. Sedangkan manusia, sebagaimana tersebut di atas, merupakan gabungan
dari unsur dua makhluk tersebut.
Dalam suatu hadits disebutkan bahwa manusia ini mempunyai
dua pembisik: pembisik dari malaikat,
sebagi aplikasi dari unsur ruh yang ditiupkan Allah, dan pembisik dari syetan,
sebagai aplikasi dari unsur tanah. Kedua unsur yang terdapat dalam tubuh
manusia tersebut, saling bertentangan dan tarik menarik. Ketika manusia
melakukan kebajikan dan perbuatan baik, maka unsur malaikatlah yang menang,
sebaliknya ketika manusia berbuat asusila, bermaksiat dan membuat kerusakan di
muka bumi ini, maka unsur syetanlah yang menang. Oleh karena itu, selain
memberikan bekal, kemauan dan kemampuan yang berupa pendengaran, penglihatan
dan hati, Allah juga memberikan petunjuk dan pedoman, agar manusia mampu
menggunakan kenikmatan tersebut untuk beribadat dan berbuat baik di muka bumi
ini.
Allah telah memberikan kepada manusia sebuah kemampuan dan
kebebasan untuk berkarya, berpikir dan menciptakan suatu kebudayaan. Di sini,
Islam mengakui bahwa budaya merupakan hasil karya manusia. Sedang agama adalah
pemberian Allah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Yaitu suatu pemberian
Allah kepada manusia untuk mengarahkan dan membimbing karya-karya manusia agar
bermanfaat, berkemajuan, mempunyai nilai positif dan mengangkat harkat manusia.
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk
selalu menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini
menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian,
Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “berbudaya“. Dan dalam
satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman. Sampai disini,
mungkin bisa dikatakan bahwa kebudayaan itu sendiri, berasal dari agama. Teori
seperti ini, nampaknya lebih dekat dengan apa yang dinyatakan Hegel di atas.[5]
4. Sikap Islam terhadap
Kebudayaan
Islam datang untuk mengatur dan membimbing masyarakat menuju
kepada kehidupan yang baik dan seimbang. Dengan demikian Islam tidaklah datang
untuk menghancurkan budaya yang telah dianut suatu masyarakat, akan tetapi
dalam waktu yang bersamaan Islam menginginkan agar umat manusia ini jauh dan
terhindar dari hal-hal yang yang tidak bermanfaat dan membawa madlarat di dalam kehidupannya, sehingga
Islam perlu meluruskan dan membimbing kebudayaan yang berkembang di masyarakat
menuju kebudayaan yang beradab dan berkemajuan serta mempertinggi derajat
kemanusiaan.
Prinsip semacam ini, sebenarnya telah menjiwai isi
Undang-undang Dasar Negara Indonesia, pasal 32, walaupun secara praktik dan
perinciannya terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menyolok. Dalam penjelasan
UUD pasal 32, disebutkan : “Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan
adab, budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari
kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa
sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia “.
Islam
telah membagi budaya menjadi tiga macam :
a.
Kebudayaan yang tidak bertentangan dengan Islam.
Dalam kaidah fiqh disebutkan : “al adatu muhakkamatun“
artinya bahwa adat istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan
bagian dari budaya manusia, mempunyai pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi
yang perlu dicatat, bahwa kaidah tersebut hanya berlaku pada hal-hal yang belum
ada ketentuannya dalam syariat, seperti: kadar besar kecilnya mahar dalam
pernikahan, di dalam masyarakat Aceh, umpamanya, keluarga wanita biasanya,
menentukan jumlah mas kawin sekitar 50-100 gram emas. Dalam Islam budaya itu sah-sah
saja, karena Islam tidak menentukan besar kecilnya mahar yang harus
diberikan kepada wanita. Menentukan bentuk bangunan Masjid, dibolehkan memakai
arsitektur Persia, ataupun arsitektur Jawa yang berbentuk Joglo. Untuk hal-hal
yang sudah ditetapkan ketentuan dan kreterianya di dalam Islam, maka adat
istiadat dan kebiasaan suatu masyarakat tidak boleh dijadikan standar hukum.
Sebagai contoh adalah apa yang di tulis oleh Ahmad Baaso dalam sebuah harian yang
menyatakan bahwa menikah antar agama adalah dibolehkan dalam Islam dengan dalil
“ al adatu muhakkamatun “ karena
nikah antar agama sudah menjadi budaya suatu masyarakat, maka dibolehkan dengan
dasar kaidah di atas. Pernyataan seperti itu tidak benar, karena Islam telah
menetapkan bahwa seorang wanita muslimah tidak diperkenankan menikah dengan
seorang kafir.
b.
Kebudayaan yang sebagian unsurnya bertentangan dengan Islam, kemudian di “rekonstruksi”
sehingga menjadi Islami. Contoh: tradisi Jahiliyah yang melakukan ibadah haji
dengan cara-cara yang bertentangan dengan ajaran Islam , seperti lafadh “talbiyah“ yang sarat dengan kesyirikan, thowaf di Ka’bah dengan telanjang. Islam
datang untuk meronstruksi budaya tersebut, menjadi bentuk “Ibadah” yang telah ditetapkan
aturan-aturannya. Contoh lain adalah kebudayaan Arab untuk melantukan
syair-syair Jahiliyah. Oleh Islam kebudayaan tersebut tetap dipertahankan,
tetapi direkonstruksi isinya agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.
c.
Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Seperti, budaya “ngaben“
yang dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang
diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara
besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang meninggal
supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan biaya yang
sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Kalimantan Tengah
dengan budaya “tiwah“, sebuah upacara
pembakaran mayat. Bedanya, dalam “tiwah”
ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu lesung lebih dahulu.
Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan digali lagi untuk
dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih. Pihak
penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang besar ,
karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang luas. Di
daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan biaya yang
besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban yang berupa
kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa tengah. Mereka
mempunyai budaya “Tumpeng Rosulan“,
yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rasul Allah dan tumpeng lain
yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat
merupakan penguasa Lautan selatan (Samudra Hindia).
Hal-hal di atas merupakan sebagian contoh kebudayaan yang
bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan
mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan
kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak
mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan
kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan
harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah
meninggal dunia.
Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar
madzhab Hanafi mengatakan: “Sesungguhnya nash-nash syariat jauh lebih kuat
daripada tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa
kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat
kita hari ini, yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di
kuburan khusus pada malam- malam lebaran. Sedang nash syariatt, setelah
terbukti ke-autentikannya, maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan
karena tradisi, hanyalah mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash
syariatt mengikat manusia secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan
juga, karena tradisi dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang
tersebut dalam hadits : “apa yang
dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu baik “
Jelas bahwa apa yang dinyatakan oleh
Dr. Abdul Hadi WM, dosen di Fakultas Falsafah dan Peradaban Universitas
Paramadina, Jakarta, bahwa Islam tidak boleh memusuhi atau merombak kultur
lokal, tapi harus memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan di dunia ini atau
fikih tidak memadai untuk memahami seni, adalah tidak benar.[6]
C.
Kesimpulan
- Islam dalam arti luas merupakan
agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rahmat dari Allah bagi alam
semesta.
- Budaya adalah pikiran, akal budi,
adat istiadat. Sedang kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan
batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat istiadat
- Islam
mengajarkan kepada umatnya untuk selalu beramal dan berkarya, untuk selalu
menggunakan pikiran yang diberikan Allah untuk mengolah alam dunia ini
menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan manusia. Dengan demikian,
Islam telah berperan sebagai pendorong manusia untuk “berbudaya“. Dan
dalam satu waktu Islamlah yang meletakkan kaidah, norma dan pedoman.
[1] M Amin
Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998), h.34
[3] Abd Hakim Atang, Metodologi
Study Islam (Bandung : PT.Remaja Rosda Karya, 2010), h. 102
[4]Bassam Tibi, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya, 1999), h. 21
[6] Agus Salim, Ibid, h.287-290.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Salim,
Agus. Metodologi
Studi Islam. Medan: Graha Ilmu. 2010
Amin, Abdullah M. Studi Agama,
Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Hakim, Atang Abd. Metodologi Study
Islam. Bandung: PT.Remaja Rosda Karya, 2010.
Munawwir, A.W. Kamus Al-Munawwir. Surabaya: Pustaka
Progressif ,1997.
Tibi, Bassam. Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogyakarta,
1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar