- Konsep
Dasar Pemilu
Demokrasi perwakilan
yang dikembangkan pada zaman modern sekarang ini sudah menjadi obsesi di banyak
negara. Demokrasi kini telah dipandang sebagai bentuk cara penyelenggaraan
pemerintahan yang terbaik oleh setiap negara yang mengklaim dan menyebut
dirinya modern. Setiap negara berusaha meyakinkan masyarakat dunia bahwa
pemerintah negara tersebut menganut sistem politik demokrasi
Demokrasi yang
berlangsung di setiap negara-bangsa tidaklah dapat terlaksana secara uniform
(seragam), karena dalam banyak hal pemahaman dan penerapan demokrasi
dipengaruhi oleh ideologi atau falsafah hidup negara-bangsa yang bersangkutan.
Oleh karena itu, Bagir Manan mengemukakan, demokrasi itu merupakan suatu
fenomena yang tumbuh, bukan suatu bentuk atau hasil penciptaan. [1]
Salah satu ciri negara
demokrasi adalah melaksanakan pemiliahan umum (pemilu) untuk membentuk
pemerintahan atau mengisi jabatan-jabatan kenegaraan atau pemerintahan
(pangreh). A.S.S. Tambunan mengemukakan, pemilihan umum merupakan sarana
pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang pada hakikatnya merupakan pengakuan dan
perwujudan daripada hak-hak politik rakyat sekaligus merupakan pendelegasian
hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan
pemerintahan. Henry Campbell Black mengemukakan: General election is an election held in the state at large. A regularly
recurring election to select officers to serve after the expiration of the full
terms of their predecessors. Dalam Black’s Law Dictionary, ditemukan
klasifikasi election menjadi 2 (dua) macam, yaitu general election dan special
election. [2]
Berdasarkan konsep
dasar pemilu sebagaimana tersebut di atas, maka pada hakikatnya konsep dasar
pemilu itu dapat dilihat pada pengertian-pengertian yang diberikan, dan juga
dapat dilihat pada kriteria atau klasifikasi yang dilakukan terhadapnya.
Dalam praktik
ketatanegaraan di era reformasi sampai sekarang, ada beberapa jenis pemilihan
umum, yaitu :
- Pemilihan
umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah;
- Pemilihan
umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; dan
- Pemilihan
umum untuk memilih Kepala Daerah seperti, Gubernur, Bupati dan Walikota.
- Dasar
Hukum Jual Beli Suara dalam Pemilu
Di luar ketiga macam
atau jenis pemilihan umum itu, ditemukan dalam praktik ketatanegaraan atau
pemerintahan bermacam-macam kegiatan pemilihan yang melibatkan rakyat banyak,
seperti pemilihan kepala desa, pemilihan kepala dusun, dan jenis pemilihan lain
yang dimaksudkan untuk mengisi jabatan-jabatan kenegaraan atau pemerintahan
(pangreh). Yang menjadi persoalannya adalah bagaimana macam-macam atau jenis
pemilu itu seharusnya diatur dan diselenggarakan dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia.
Pertama-tama harus difahami lebih dahulu
bahwa dalam sistem demokrasi, rakyat merupakan penguasa tertinggi yang dikenal
dengan istilah of the people, by the
people, for the people seperti diucapkan oleh Cleon pada rakyat Yunani 300 tahun
sebelum masehi. Karena rakyat itu tidak mungkin menjadi pelaksana pemerintahan
sendiri, maka rakyat menunjuk beberapa orang yang dipercaya sebagai pelaksana
harian yang dipilih langsung dari yang paling bawah (Kepala Desa) sampai yang
tertinggi yaitu presiden. [3]
Dari sini maka kita akan mendapat gambaran
bahwa calon bupati, kades, walikota, gubernur yang memberi uang pada rakyat
agar dipilih itu tidak berbeda dengan rakyat yang memberi uang pada polisi agar
tidak terkena Tilang; dengan kontraktor yang memberi uang pada pejabat tender
proyek agar menang dalam proyek; dengan orang yang berperkara di pengadilan
yang memberi uang pada jaksa dan hakim agar tuntunan dan keputusan hukum
diperingan; dengan calon pegawai agar diterima jadi PNS, dll.
Kalau sudah begitu, maka secara terang
benderang berlakulah hadits haramnya suap menyuap terhadap praktik money politics (politik uang) atau jual
beli suara. Bahkan, jual beli suara dalam pilkada lebih besar bahaya dan
mudaratnya bagi umat karena perilaku pejabat yang dipilih akan berdampak pada kepentingan
masyarakat banyak baik yang menerima uang suap maupun yang tidak. Beda halnya
suap menyuap antara pemilik motor/mobil dan polisi lalu lintas atau jaksa/hakim
dan terdakwa yang dampaknya hanya kepada pihak-pihak yang terlibat dengan
perkara saja. Yang inipun termasuk dosa besar dalam Islam.
Seluruh ulama, kyai, ustadz, dan tokoh
masyarakat harus solid dan kompak bekerja sama untuk memerangi praktik politik
uang dan memberi pencerahan pada rakyat agar memilih calon berdasar pada siapa
figur yang paling amanah dan mampu memimpin bukan pada tokoh yang menyuap
mereka. Salah satu tanda figur yang amanah adalah mereka yang tidak memberi
uang agar dipilih!
Dalil-dalil haramnya politik uang atau jual
beli suara dalam pilkada:
- QS An-Nisa' 4: 29
- QS An-Nisa' 4: 29
يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم...
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
- QS Al-Maidah 5: 2
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: ....Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.
Di dalam Hadis dikatakan:
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي والرائش الذي يمشي بينهما
Artinya: Rasulullah
melaknat penyuap, penerima suap, makelar suap.
- Fatwa dari Lajnah Syar'iyah Jam'iyah Al-Ishlah Kuwait terkait jual beli suara dalam pemilu.
- Fatwa dari Lajnah Syar'iyah Jam'iyah Al-Ishlah Kuwait terkait jual beli suara dalam pemilu.
يجب على الناخب أن يعلم بأنّ انتخاب شخص ما يعتبر شهادة له بالكفاءة وتزكية له، كما انه يعتبر توكيلاً له للمطالبة بحقوقه، فإيّاك ثم أيّاك أن تشهدلإنسان بأن تزكيه وتعطيه صوتك وتنتخبه مقابل عرض من الدنيا، فتشهد له شهادة زور، فتقع تحت طائلة ذنب عظيم وبهتان مبين، قال تعالى: ((واقيموا الشهادة لله ذلكم يوعظ به من كان يؤمن بالله واليوم الآخ، ومن يتق الله يجعل له مخرجاً)) (الطلاق:2). فلا تشهد أيها الناخب الكريم إلاّ بما رأيت يقيناً أنه نافع ومفيد وفي مستوى المسؤولية لقوله صلى الله عليه وسلم لمن سأله الشهادة :(هل ترى الشمس؟ قال: نعم، فقال: على مثلها فاشهد أو دع)
Arti ringkasan:
Pemilih harus tahu bahwa memilih seseorang itu sama dengan memberi kesaksian
baik pada orang yang dipilih sekaligus sebagai wakil dalam mendapatkan
hak-haknya. Oleh karena itu, harus dihindari memberi kesaksian baik pada figur
tertentu dan memberikan suara Anda padanya hanya karena uang. Apabila itu
terjadi, maka anda telah membuat kesaksian palsu yang termasuk dosa besar
seperti disebut dalam QS At-Talaq 65: 2
Maka janganlah membuat kesaksian kecuali pada orang yang anda yakini amanahnya.
Maka janganlah membuat kesaksian kecuali pada orang yang anda yakini amanahnya.
UU No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD & DPRD (UU Pemilu) mengatur banyak larangan
terhadap perbuatan atau tindakan terkait dengan pemilu dari partai politik
peserta pemilu, calon anggota DPR/DPRD, calon anggota DPD, KPU, pengawas
pemilu, pejabat negara, dan bahkan lembaga survey independen.
Dalam UU Pemilu diatur mengenai sanksi bagi pelaksana
kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi
lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung atau tidak
langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih peserta
pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu
sehingga surat suaranya tidak sah. Ada juga sanksi bagi setiap orang yang
dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau
materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau
memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara
tertentu sehingga surat suaranya tidak sah.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur sanksi
bagi pihak-pihak yang memberi kesempatan, sarana, keterangan atau sengaja
menganjurkan pihak lain untuk melakukan tindak pidana.
Meski UU Pemilu tidak mengatur sanksi bagi pihak yang
menjual suaranya, namun ketentuan dalam KUHP tersebut dapat digunakan untuk
menjerat pihak yang menjual suaranya. Pihak yang menjual suaranya tersebut
dapat dianggap menganjurkan pihak lain untuk membeli suaranya. Dengan demikian,
pihak yang membeli dan pihak yang menjual suaranya dapat dikenakan sanksi
pidana.[4]
Untuk mencegah
terjadinya jual beli suara dalam Pemilihan Umum (Pemilu), harus ada saksi dari
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga yang independen, mulai
dari pengitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) sampai ke KPU
- Modus Pembelian Suara dalam Pemilu
1.
Pelaku membeli surat undangan pemilih yang telah datang
ke tempat pemungutan suara (TPS). Dengan begitu pemilih yang ada dalam DPT
merelakan hak suaranya dibeli orang lain. Tujuannya untuk mencegah pemilih
memberikan suara kepada lawan politik atau bisa juga ada motif lain.
2.
Kedua, ada praktik dari oknum yang mencoba menggiring
pemilih ke TPS tertentu yang sudah dikondisikan. TPS tersebut telah
dipersiapkan sedemikian rupa untuk memenangkan salah satu pihak baik individu
caleg ataupun partai.
- Modus
ketiga adalah terdapat kongkalikong oknum dengan kelompok penyelenggara
pemungutan suara (KPPS), panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan atau
panitia pemungutan suara (PPS). Tujuannya adalah bekerja sama memanipulasi
hasil penghitungan suara.[5]
Baik itu pemilu legislatif atau
presiden, jika ada tim sukses calon yang membagi-bagi uang atau sejenisnya
langsung saja buang calon tersebut dari hati dan pikiran anda. Sudah bukan
zamannya orang macam itu menjadi pemimpin lagi
[1] Bagir Manan, Pelaksanaan Demokrasi Pancasila Dalam
Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II, (Bandung : Universitas Padjadjaran,
1994), h. 31
[2] A.S.S. Tambunan, Pemilu di Indonesia dan Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, (Bandung,:
Binacipta, 1994), h. 68
[3] I Gede Pantja Astawa, Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, (Bandung,: Disertasi
Universitas Padjadjaran, 2000), h. 93
[4] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 1998), h. 73
[5] Widodo Ekatjahjana, Lembaga Kepresidenan dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung: Pustaka Sutra, 2008), h. 69
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Astawa,
I Gede Pantja. Hak Angket Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945. Bandung: Universitas
Padjadjaran. 2000.
Budiardjo,
Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama. 1998.
Ekatjahjana,
Widodo. Lembaga Kepresidenan dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia. Bandung: Pustaka Sutra. 2008.
Manan,
Bagir. Pelaksanaan Demokrasi Pancasila
Dalam Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II. Bandung: Universitas
Padjadjaran, 1994.
Tambunan,
A.S.S. Pemilu di Indonesia dan Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Bandung: Binacipta, 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar