Laman

Minggu, 17 November 2013

Menjual Hak Suara dalam Pemilu

  1. Konsep Dasar Pemilu
Demokrasi perwakilan yang dikembangkan pada zaman modern sekarang ini sudah menjadi obsesi di banyak negara. Demokrasi kini telah dipandang sebagai bentuk cara penyelenggaraan pemerintahan yang terbaik oleh setiap negara yang mengklaim dan menyebut dirinya modern. Setiap negara berusaha meyakinkan masyarakat dunia bahwa pemerintah negara tersebut menganut sistem politik demokrasi
Demokrasi yang berlangsung di setiap negara-bangsa tidaklah dapat terlaksana secara uniform (seragam), karena dalam banyak hal pemahaman dan penerapan demokrasi dipengaruhi oleh ideologi atau falsafah hidup negara-bangsa yang bersangkutan. Oleh karena itu, Bagir Manan mengemukakan, demokrasi itu merupakan suatu fenomena yang tumbuh, bukan suatu bentuk atau hasil penciptaan. [1]
Salah satu ciri negara demokrasi adalah melaksanakan pemiliahan umum (pemilu) untuk membentuk pemerintahan atau mengisi jabatan-jabatan kenegaraan atau pemerintahan (pangreh). A.S.S. Tambunan mengemukakan, pemilihan umum merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang pada hakikatnya merupakan pengakuan dan perwujudan daripada hak-hak politik rakyat sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan. Henry Campbell Black mengemukakan: General election is an election held in the state at large. A regularly recurring election to select officers to serve after the expiration of the full terms of their predecessors. Dalam Black’s Law Dictionary, ditemukan klasifikasi election menjadi 2 (dua) macam, yaitu general election dan special election. [2]
Berdasarkan konsep dasar pemilu sebagaimana tersebut di atas, maka pada hakikatnya konsep dasar pemilu itu dapat dilihat pada pengertian-pengertian yang diberikan, dan juga dapat dilihat pada kriteria atau klasifikasi yang dilakukan terhadapnya.
Dalam praktik ketatanegaraan di era reformasi sampai sekarang, ada beberapa jenis pemilihan umum, yaitu :
  1. Pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah;
  2. Pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; dan

  3. Pemilihan umum untuk memilih Kepala Daerah seperti, Gubernur, Bupati dan Walikota.
  1. Dasar Hukum Jual Beli Suara dalam Pemilu
Di luar ketiga macam atau jenis pemilihan umum itu, ditemukan dalam praktik ketatanegaraan atau pemerintahan bermacam-macam kegiatan pemilihan yang melibatkan rakyat banyak, seperti pemilihan kepala desa, pemilihan kepala dusun, dan jenis pemilihan lain yang dimaksudkan untuk mengisi jabatan-jabatan kenegaraan atau pemerintahan (pangreh). Yang menjadi persoalannya adalah bagaimana macam-macam atau jenis pemilu itu seharusnya diatur dan diselenggarakan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Pertama-tama harus difahami lebih dahulu bahwa dalam sistem demokrasi, rakyat merupakan penguasa tertinggi yang dikenal dengan istilah of the people, by the people, for the people seperti diucapkan oleh Cleon pada rakyat Yunani 300 tahun sebelum masehi. Karena rakyat itu tidak mungkin menjadi pelaksana pemerintahan sendiri, maka rakyat menunjuk beberapa orang yang dipercaya sebagai pelaksana harian yang dipilih langsung dari yang paling bawah (Kepala Desa) sampai yang tertinggi yaitu presiden. [3]
Dari sini maka kita akan mendapat gambaran bahwa calon bupati, kades, walikota, gubernur yang memberi uang pada rakyat agar dipilih itu tidak berbeda dengan rakyat yang memberi uang pada polisi agar tidak terkena Tilang; dengan kontraktor yang memberi uang pada pejabat tender proyek agar menang dalam proyek; dengan orang yang berperkara di pengadilan yang memberi uang pada jaksa dan hakim agar tuntunan dan keputusan hukum diperingan; dengan calon pegawai agar diterima jadi PNS, dll. 
Kalau sudah begitu, maka secara terang benderang berlakulah hadits haramnya suap menyuap terhadap praktik money politics (politik uang) atau jual beli suara. Bahkan, jual beli suara dalam pilkada lebih besar bahaya dan mudaratnya bagi umat karena perilaku pejabat yang dipilih akan berdampak pada kepentingan masyarakat banyak baik yang menerima uang suap maupun yang tidak. Beda halnya suap menyuap antara pemilik motor/mobil dan polisi lalu lintas atau jaksa/hakim dan terdakwa yang dampaknya hanya kepada pihak-pihak yang terlibat dengan perkara saja. Yang inipun termasuk dosa besar dalam Islam.
Seluruh ulama, kyai, ustadz, dan tokoh masyarakat harus solid dan kompak bekerja sama untuk memerangi praktik politik uang dan memberi pencerahan pada rakyat agar memilih calon berdasar pada siapa figur yang paling amanah dan mampu memimpin bukan pada tokoh yang menyuap mereka. Salah satu tanda figur yang amanah adalah mereka yang tidak memberi uang agar dipilih!
Dalil-dalil haramnya politik uang atau jual beli suara dalam pilkada:
- QS An-Nisa' 4: 29

يا أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إلا أن تكون تجارة عن تراض منكم...
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
- QS Al-Maidah 5: 2

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya: ....Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Di dalam Hadis dikatakan:

لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي والرائش الذي يمشي بينهما

Artinya: Rasulullah melaknat penyuap, penerima suap, makelar suap.

- Fatwa dari Lajnah Syar'iyah Jam'iyah Al-Ishlah Kuwait terkait jual beli suara dalam pemilu.

يجب على الناخب أن يعلم بأنّ انتخاب شخص ما يعتبر شهادة له بالكفاءة وتزكية له، كما انه يعتبر توكيلاً له للمطالبة بحقوقه، فإيّاك ثم أيّاك أن تشهدلإنسان بأن تزكيه وتعطيه صوتك وتنتخبه مقابل عرض من الدنيا، فتشهد له شهادة زور، فتقع تحت طائلة ذنب عظيم وبهتان مبين، قال تعالى: ((واقيموا الشهادة لله ذلكم يوعظ به من كان يؤمن بالله واليوم الآخ، ومن يتق الله يجعل له مخرجاً)) (الطلاق:2). فلا تشهد أيها الناخب الكريم إلاّ بما رأيت يقيناً أنه نافع ومفيد وفي مستوى المسؤولية لقوله صلى الله عليه وسلم لمن سأله الشهادة :(هل ترى الشمس؟ قال: نعم، فقال: على مثلها فاشهد أو دع)
Arti ringkasan: Pemilih harus tahu bahwa memilih seseorang itu sama dengan memberi kesaksian baik pada orang yang dipilih sekaligus sebagai wakil dalam mendapatkan hak-haknya. Oleh karena itu, harus dihindari memberi kesaksian baik pada figur tertentu dan memberikan suara Anda padanya hanya karena uang. Apabila itu terjadi, maka anda telah membuat kesaksian palsu yang termasuk dosa besar seperti disebut dalam QS At-Talaq 65: 2
Maka janganlah membuat kesaksian kecuali pada orang yang anda yakini amanahnya.
UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD & DPRD (UU Pemilu) mengatur banyak larangan terhadap perbuatan atau tindakan terkait dengan pemilu dari partai politik peserta pemilu, calon anggota DPR/DPRD, calon anggota DPD, KPU, pengawas pemilu, pejabat negara, dan bahkan lembaga survey independen.
Dalam UU Pemilu diatur mengenai sanksi bagi pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung atau tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah. Ada juga sanksi bagi setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya, atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur sanksi bagi pihak-pihak yang memberi kesempatan, sarana, keterangan atau sengaja menganjurkan pihak lain untuk melakukan tindak pidana.
Meski UU Pemilu tidak mengatur sanksi bagi pihak yang menjual suaranya, namun ketentuan dalam KUHP tersebut dapat digunakan untuk menjerat pihak yang menjual suaranya. Pihak yang menjual suaranya tersebut dapat dianggap menganjurkan pihak lain untuk membeli suaranya. Dengan demikian, pihak yang membeli dan pihak yang menjual suaranya dapat dikenakan sanksi pidana.[4]
Untuk mencegah terjadinya jual beli suara dalam Pemilihan Umum (Pemilu), harus ada saksi dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga yang  independen, mulai dari pengitungan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) sampai ke KPU

  1. Modus Pembelian Suara dalam Pemilu
1.      Pelaku membeli surat undangan pemilih yang telah datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Dengan begitu pemilih yang ada dalam DPT merelakan hak suaranya dibeli orang lain. Tujuannya untuk mencegah pemilih memberikan suara kepada lawan politik atau bisa juga ada motif lain.
2.      Kedua, ada praktik dari oknum yang mencoba menggiring pemilih ke TPS tertentu yang sudah dikondisikan. TPS tersebut telah dipersiapkan sedemikian rupa untuk memenangkan salah satu pihak baik individu caleg ataupun partai.
  1. Modus ketiga adalah terdapat kongkalikong oknum dengan kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan atau panitia pemungutan suara (PPS). Tujuannya adalah bekerja sama memanipulasi hasil penghitungan suara.[5]
Baik itu pemilu legislatif atau presiden, jika ada tim sukses calon yang membagi-bagi uang atau sejenisnya langsung saja buang calon tersebut dari hati dan pikiran anda. Sudah bukan zamannya orang macam itu menjadi pemimpin lagi




[1] Bagir Manan, Pelaksanaan Demokrasi Pancasila Dalam Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II, (Bandung : Universitas Padjadjaran, 1994), h. 31
[2] A.S.S. Tambunan, Pemilu di Indonesia dan Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD,  (Bandung,: Binacipta, 1994), h. 68
[3] I Gede Pantja Astawa, Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, (Bandung,: Disertasi Universitas Padjadjaran, 2000), h. 93
[4] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998), h. 73
[5] Widodo Ekatjahjana, Lembaga Kepresidenan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung: Pustaka Sutra, 2008), h. 69

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Astawa, I Gede Pantja. Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945. Bandung: Universitas Padjadjaran. 2000.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 1998.
Ekatjahjana, Widodo. Lembaga Kepresidenan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Bandung: Pustaka Sutra. 2008.
Manan, Bagir. Pelaksanaan Demokrasi Pancasila Dalam Pembangunan Jangka Panjang (PJP) II. Bandung: Universitas Padjadjaran, 1994.
Tambunan, A.S.S. Pemilu di Indonesia dan Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Bandung: Binacipta, 1994.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar