Laman

Minggu, 17 November 2013

Syarat Menjadi Hakim

A.    Tiga Tipe Hakim
Sebuah hadis yang dirwayatkan oleh imam-imam hadis yang empat[1], yaitu Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah, yang bersumber dari Buraidah Ra. Dia berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
القضاة ثلاثة: اثنان في النار وواحد في الجنة، رجل عرف الحق فقضى به فهو في الجنة، ورجل عرف الحق فلم يقض به وجار في الحكم فهو في النار، ورجل لم يعرف الحق فقضى للناس على جهل فهو في النار[2]
“Hakim itu ada tiga (macam), dua di neraka dan satu di surga. Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, lalu memutuskan hukum dengan kebenaran itu, maka dia berada di dalam surga. Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum dengan kebenaran itudan berbuat zalim dalm menetapkan hukum, maka dia berada di dalam neraka. Seorang hakim yang tidak mengetahui kebenaran, lalu memutuskan hukum bagi orang lain dengan kebodohannya, maka dia berada di dalam neraka.”

Dari hadis ini, ash-Shan’ani ketika menjelaskan hadis ini menyataka bahwa hadis ini menjadi dalil yang menunujukkan bahwasanya tidak ada hakim yang akan selamat dari neraka kecuali seorang hakim yang mengetahui kebenaran dan mengamalkannya atau memutuskan hukum dengan kebenaran tersebut. Zahir hadis ini juga menunjukkan bahwa seandainya putusan yang ditetapkan oleh seorang yang jahil sesuai dengan kebenaran, maka dia tetap akan berada di dalam neraka, bersama dua golongan yang tersebut dalam hadis. Sekaligus hadis ini menjadi peringatan agar seseorang tidak memutuskan hukuman dengan kebodohannya, atau berbeda dengan kebenaran yang telah diketahuinya. Bersamaan dengan itu, hadis ini juga mencakup larangan mengangkat orang yang jahil sebagai qadhi atau hakim.[3]


Secara umum oleh Ibnu Qudamah, manusia dalam kaitannya dengan qadha atau sebagai qadhi dibagi kepada tiga kelompok.[4] Pertama, Orang-orang yang sama sekali tidak boleh dijadikan sebagai qadhi. Mereka adalah orang-orang yang tak bagus ijtihadnya atau belum memilki kemampuan untuk berijtihad. Sebagaimana diketahui para ulama menetapkan standar khusus untuk melakukan ijtihad. ash-Shan’ani, dalam kitabnya menyebutkan bahwa seorang mujtahid adalah seorang yang telah mampu menghimpun lima pengetahuan; pengetahuan tentang kitab Allah (al-Quran); pengetahuan tentang sunnah Rasulullah asw.; berbagai pendapat para ulama salaf, termasuk ijmak dan khilafiah nya; pengetahuan tentang lughah; dan pengetahuan tentang qiyas, yaitu metode penggalian (istinbath) hukum dari al-Quran dan Sunnah, apabila nashnya yang sharih tidak ada ditemukan dalam nash al-Quran, Sunnah dan ijmak. Dari lima hal yang dikemukan di atas sebagai syarat seorang mujtahid, maka masing-masing persyaratan menimbulkan pengetahuan-pengetahuan lain yang juga harus diketahui.[5]

Kedua, orang yang boleh menjadi hakim, tetapi tidak diwajibkan baginya. Yaitu, orang-orang yang mampu untuk melakukan ijtihad, namun masih ditemukan juga orang lain di daerah itu yang mampu melakukannya.
Ketiga, orang yang diwajibkan baginya untuk menjadi seorang qadhi atau hakim. Yaitu, orang yang sanggup untuk berijtihad, dan tidak ditemukan lagi orang yang berkompeten dalam hal ini selain dirinya saja. Ini karena hukumnya adalah fardu kifayah, sama seperti hukum penyelenggaraan pengurusan jenazah, yang apabila tidak ditemukan orang lain yang akan mengurusinya kecualli dirinnya saja, maka wajib ain baginya untuk melakukannya.[6]

B.     Perlu Kestabilan Jiwa Hakim

Sebuah hadis yang bersumber dari Abu Bakrah Ra., yang kemudian diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Sahabat Nabi tersebut berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
لا يحكم أحدكم بين اثنين وهو غضبان[7]
“Tidak boleh seseorang (di antara) kamu memutuskan hukum dalam keadaan marah.”

Dalam hadis ini tersebut kata-kata “ghadhban”, yang berasal dari akar kata “ghadhab-yaghdabu-ghadhaban” yang berari marah. Kata ghadhban telah menngalami perubahan bentuk dan fungsi (tashrif), dari asal katanya yang berupa fiil madhi menjadi bentuk isim fa’il dengan memakai timbangan di luar kebiasaan untuk menambah ke-mubalaghah-an arti kalimat (amtsilah mubalaghah). Menurut Ali al-Jurjani, yang dimaksud marah adalah perubahan yang terjadi ketika darahnya mendidih, dalam hatinya muncul perasaan ingin membalaskan sesuatu.[8]

Hadis ini menggunakan kata “la” di pangkal hadis. Kata la di sini adalah la nafiyah. Ini bisa dibuktikan dengan melihat fiil yang dimasukinya tidak mengalami perubahan baris atau i’rab, berbeda dengan la nahiyah. Karena la nahiyah akan mengubah baris fiil yang dimasukinya menjadi jazam. Perbedaan kedua la ini juga berdampak pada hukum yang dilahirkan dari hadis ini. Oleh sebagian menganggap bahwa larangan dalam hadis ini tidak sampai haram, hanya berstatus hukum makruh saja. Ini mungkin dikarenakan juga larangan dalam hadis ini tidak dianggap bersifat ketegasan. Tetapi memang hal ini seperti tak diperlykan dalam pembahasan labih lanjut, karena ditemukannya redaksi yang berbeda dalam riwayat hadis.

Sebagian ulama juga, sebagaimana dijelaskan oleh ash-Shan’ani ketika men-syarahkan hadis ini, mengungkapkan alasan kenapa hanya makruh tidak sampai haram, dikarenakan marah yang menjadi illat dalam hadis ini tidak ada kaitannya dengan penetapan hukum. Karena marah itu sendiri bermacam-macam dam orang yang marah pun bermacam-macam. Ada marah karena Allah, dan ada marah karena dorongan kuat hawa nafsunya. Ada marah yang tidak sampai mencederai hukum yang ditetapkannya, dan ada memang marah yang kelewat batas hingga menggelapkan mata dan hatinya untuk membedakan yang hak dengan yang batil. Dalam kasus terakhir ini tidak ada perbincangan ulama soal keharamannya. Namun, zahir hadis memang menunjukkan keumumumannya, dalam arti tidak ada perbedaan hukum disebabkan variasi marah ini.[9]

Oleh ulama-ulama fikih, dimasukkan juga dalam larangan ini segala hal yang membuat fikiran terganggu dan menybukkan akal dan hati untuk mendapatkan penelitian yang sempurna atau pengamatan yang baik. Hal ini didukung oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, yang menyebutkan larangan Nabi bagi qadhi untuk memberi putusan hukum kecuali dalam keadaan kenyang dan tidak haus. Imam asy-Syafii mengatakan dalam kitabnya, al-Umm, “Saya membenci seorang hakim yang memberi putusan hukum padahal ketika itu dia sedang merasa lapar, capek, hatinya sedang galau, karena yang demikian mampu mengubah cara berfikir seseorang.” Secara tegas ulama-ulama Hanabilah mengatakan tidak diterimanya putusan yang dilakukan seseorng dalam kondisi tidak stabil, seperti dalam keadaan marah. Namun, oleh sebagian ulama kembali membedakan marah yang dimaksud. Apabila marahnya nmuncul sesudah putusan yang akan diambil telah jelas, maka marah tidak akan mencederai hukum, dengan arti hukumu dapat diterima.[10]

Musthafa Dib Al-Bugha, seorang guru besar di Universitas Damaskus, yang juga seorang pakar mazhab Syafii mengatakan bahwa seorang hakim tidak boleh memutuskan sebuah perkara ketika dia berada dalam sepuluh keadaan, yaitu: marah, lapar, haus, sangat menginginkan untuk bersenggama dengan istrinya, sedih, sanngat senang, sakit, ingin buang hajat, mengantuk dan cuaca sangat panas atau sangat dingin, serta berbagai kondisi yang membuat jiwanya tidak tenang, baik yang terkait dengan fisik ataupun psikis.[11]

C.    Ijtihad Hakim

Ijtihad dalam bahasa Arab berarti “mencurahkan segenap kemampuan untuk mencapai suatu hal atau suatu perbuatan.” Dengan demikian, kata ijtihad dipergunakan hanya untuk hal-hal yang berat dan sulit. Adapun ijtihad menurut istilah adalah “pencurahan segenap kemampuan dalam meng-istinbathkan hukum dari dalil-dali yang terperinci atau menerapkannya.”[12] Sementara menurut Ali al-jurjani, ijtihad adalah seorang faqih mengerahkan kemampuannya agar tercapai baginya zhann dengan hukum syar’i, atau mengerahkan kesungguhan untuk mencari sesuatu yang dimaksud dari segi pencarian dalil.[13]

Hadis Nabi yang diriwayatkan secara bersama oleh dua imam hadis, Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, bersumber dari Amr ibn al-Ash, bahwasanya beliau mendengar Rasulullah saw. bersabda:
إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر[14]
“Apabila seorang hakim (ingin) memutuskan perkara (hukum)lalu dia berijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Apabila dia memutuskan perkara dengan cara berijtihad lalu ijtihadnya salah maka ia mendapatkan satu pahala.”

Sebelum mencantumkan hadis ini, al-Bukhari mencantumkan hadis lain dan memberikan komentar singkat bahwa apabila seorang hakim melakukan ijtihad tanpa dibekali pengetahuan, lau menyalahi Rasul dalam putusannya, maka putusan hukumnya ditolak, dikarenakan hadis Rasulullah “Siapa yang mengerjakan sesuatu yang tidak ada atasnya urusan kami amak dia tertolak.” Ibnu Baththal mengatakan bahwa siapa yang memutuskan hukum tidak dengan sunnah, apakah karena ketidaktahuan atau tersalah, wajib baginya kembali kepada hukum yang ditetapkan oleh sunnah, dan meninggalkan segala hal yang berbeda dengannya sebagai ketaatan untuk melakukan perintah Allah yang mewajibkan patuh kepada rasul-Nya.

Namun, hadis di atas kemudian menunjukkan bahwa hukum yang ditolak bukan berarti si hakim berdosa, apbila dilakukannya dengan ijtihadnya yang benar, hanya saja hukum yang didapatkannya salah. Bahkan, bila ternyata dia telah bersungguh-sungguh mengerahkan segala kemampuannnya, dia akan diberikan pahala atas jerih payahnya. Jika ternyata hukum yang diputuskannya benar dan sesuai maka pahalnya digandakan. Akan tetapi kalau ternyata hukum yang ditetapkannya tidak berdasarkan ilmu, maka ia akan mendaptkan dosa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis pertama tadi[15]

Secara lahiriah, dapat dilihat dalam teks hadis di atas yang mendahulukan menetapkan hukum, lalu berijtihad. Ini secara zahir dapat dipahami dengan penggunaan hurup athaf  “Fa’” yang berfungsi ta’qibiyah yaitu kalimat yang terletak sesudah huruf athaf (ijtihad) diaplikasikan sesudah selesai dengan urusan yang tersebut sebelum huruf athaf tersebut (hakam), tanpa jeda dan melambatkan urusannya.

Al-qasthallani menjawab ini dengan mengatakan  para ulama telah sepakat bahwa tidak boleh menetapkan putusan hukum sebelum melakukan ijtihad. Karenanya, fa’ dalam hadis kemungkinan bukan fa ta’qibiyah tetapi fa tafsiriyah[16]. Para ulama umumnya menambahkan kalimat “arada” ketika mensyarahkan hadis ini, sehingga yang dimaksud adalah “apabila seorang hakim hendak memutuskan hukum, maka setelah dia melakukan ijtihad dia memutuskan benar..”

Yang dimaksud dengan salah dalam hadis ini adalah tidak sesuai hukum yang ditetapkan dengan hukum yang benar di sisi Allah. Sedangkan dua pahala yang dimaksud adalah pahala ijtihad dan pahala karena benar. Sedangkan satu pahala yang dimaksud adalah pahala ijtihadnya saja.[17] Namun, al-Khaththabi, sebagaimana dikutip oleh Ibnu hajar mengatakan satu pahala yang dimaksud adalah dimaafkannya dosa atau dihapuskannya darinya dosa kesalahannya. Karena menurut beliau tidak mungkinlah kesalah diberi balasan pahala.[18]

Dengan hadis ini dapat dipahami bahwa putusan  yang benar di sisi Allah hanya satu saja dan seorang mujtahid terkadang benar dan terkadang salah. Abu Hasan al-Asy’ari, Abu Bakar al-Baqilani, Abu Yusuf, Muhammad dan Ibnu Suraij megatakan dalam masalah-masalah fikih yang tidak ada landasan qath’i di dalamnya, maka setiap mujtahid masing-masing benar dengan pendapatnya. Akan tetapi harus dilakukan dengan betul-betul mengggunakan kemampuan ijtihadnya dengan sungguh-sungguh, karena bila seorang menyia-nyiakan atau mengurangi sedikit ijtihadnya, dia berdosa karena meninggalkan kewajibannya sebagai mujtahid untuk mengerahkan segala kemampuannya kepadanya.[19]

Ibnu Rusyd, dalam kitabny a Bidayah al-Mujtahid, menjelaskan sifat-sifat yang menjadi syarat bolehnya seseorang menjadi qadhi, yaitu: seorang yang berstatus merdeka, muslim, baligh, berakal, laki-laki dan adil. Imam Syafii mengatakan bahwa qadhi diwajibkan seorang yang  mujtahid. Sementara, Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa seorang awam pun boleh menjadi hakim. Keadaannya sebagai seorang mujathid dianggapnya sebagai sifat yang berhukum sunnah saja. Juga, terjadi perbedaan pendapat dibolehkannya seorang perempuan menjadi qadhi. Imam Abu Hanifah mengatakannya boleh dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan harta benda. sementara Ath-Thabari membolehkannya secara mutlak.[20]

Selain syarat-syarat yang disebutkan di atas, ulama syafiiyah menetapkan berbagai syarat lagi untuk menjadi seorang hakim. Dalam kitab fikih kecil, Matn al-Ghayah wa at-Taqrib, karya Abu Syuja’ yang diperkuat dengan dalil-dalil oleh Musthafa Dib al-Bugha, misalnya disebutkan lima belas syarat untuk menjadi seorang hakim, yaitu: beragama Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki, bersifat adil, mengetahui hukum yang terkandung dalam al-Quran dan Hadis, mengetahui ijma’, memahami perbedaan pendapat, memahami metode berijtihad, memahami seluk-beluk bahasa Arab, memahami tafsir al-Quran, mampu mendengar dengan baik, mempu melihat dengan baik, mampu menulis dengan baik, dan memiliki kesadaran alias tidak pelupa.[21]

D.    Perlunya Hakim Mendengar Perkara Dari Kedua Belah Pihak Yang Berperkara

Berikut ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud dan at-Tirmidzi, bersumber dari Saidina Ali ra. Beliau berkata, “Aku pernah diutus oleh Rasulullah saw. ke Yaman sebagai qadhi (hakim). Aku berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah saw. engkau mengutusku, padahal aku masih muda, dan aku tidak memilki pengalaman dalam menetapkan putusan (hukum)?” Rasulullah saw. lalu bersabda:
‏ إن الله سيهدي قلبك ويثبت لسانك فإذا جلس بين يديك الخصمان فلا تقضين حتى تسمع من الآخر كما سمعت من الأول فإنه أحرى أن يتبين لك القضاء
“Sesungguhnya Allah akan menunjukkan hatimudan menguatkan lidahmu. Apabila dua orang yang berselisih duduk di hadapanmu maka janganlah kamu memutuskan perkaranya sebelum kamu memperhatika pengaduan orang kedua sebagaimana kamu memperhatikan pengaduan orang pertama. Inilah cara yang layak agar kamu dapat menetapkan putusan dengan bukti yang kuat.”[22]

Kembali kami mengutip pendapat Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid. Beliau menuliskan bahwa para ulama sepakat menyatakan bahwa seorang qadhi wajib menyamakan kedudukan di antara dua orang yang berselisih. Dan dia dilarang mendengar penjelasan hanya dari salah satunya saja, bukan yang satunya lagi.[23]

Selanjutnya, Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni, Bahwa seorang qadhi dibebankan untuk berlaku adil di antara dua orang yang berselisih dalam segala hal, seperti tempat duduk keduanya, mengajaknya berbicara, mendiamkannya, dan mendengarkan keterangan dari keduanya. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Syuraih, seorang qadhi yang diangkat di masa Umar Ibn al-Khaththab dan Ali ra., Abu Hanifah, asy-Syafii. Ibnu Qudamah mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada seseoarng yang berbeda pendapat tentang hal ini.”

Ibnu Qudamah menceritakan bahwa Umar ra. pernah mengirimkan surat kepada Abu Musa al-Asy’ari yang berisikan perintah kepadanya untuk memperlakukan sama di antara orang-orang, sekalipun itu dalam masalah tempat duduk atau pun keadilan, sehingga orang yang lemah tidak merasa berputus asa untuk memperoleh keadilan, dan para pembesar tidak terangsang untuk berbuat zalim. Namun ada penjelasn lebih lanjut lagi, bila yang berperkara tersebut, satu orang muslim dan satunya lagi kafir zimmi. Maka, seorang hakim boleh memberikan kesempatan lebih kepada seorang muslim. Hal ini berdasarkan riwayat Ibrahim at-Taimi. Disebutkan bahwa Ali menemukan baju besinya di tangan seorang yahudi. Singkat cerita keduanya membawa kasus ini ke pengadilan. Qadhi saat itu adalah Syuraih. Ketika peradilan berjalan, terjadi perdebatan, dan keduanya yang berperkara menguatkan suaranya. Maka, Syuraih berdiri dari tempat duduknnya, dan mendudukkan Ali di situ. Ali memberikan komentar, “Seandaimya lawanku berperkara ini adalah seorang muslim, maka aku akan duduk bersamanya.” Lalu Ali menyampaikan apa yang telah dia dengar diucapkan Naabi saw. yang melarang mempersamakan tempat duduk seorang muslim dan kafir zimmi.[24]



[1] Penjelasan tentang ini bias dilihat di dalam kitab Ibnu Hajar al-Asqallani, Bulugh al-Maram, yang disyarahkan oleh salah satunya Imam ash-Shan’ani dengan nama kitab Subul as-Salam, dalam muqaddimah kitab ini.
[2] Muhammad ibn Ismail ash-Shan’ani, Subul as-Salam, Jilid IV, (Bandung: Diponegoro, t.t.), hal. 115
[3] ash-Shan’ani, Subul.., hal. 115
[4] Ibnu Qudamah, al-Mughni, jilid 14, (Riyadh: Dar Alim al-Kutub, 1997). hal. 7-9
[5] ash-Shan’ani, Subul.., hal. 116
[6] Ibnu Qudamah, al-Mughni, hal. 7-9
[7] ash-Shan’ani, Subul.., hal.120
[8] Ali al-Jurjani, at-Ta’rifat, (Indonesia: al-Haramain, t.t.), hal. 158
[9] ash-Shan’ani, Subul..,  hal. 120
[10] Ibnu hajar al-Asqallani, fath al-Bari,jilid 15, (Beirut: Dar al-Fikr, 2000), hal. 35
[11] al-Bugha, at-Tahdzib.., hal. 691
[12] Ahmad Qarib, Ushul Fiqh II, (Jakarta: Nimas Multima, 1997), hal. 192
[13] al-Jurjani, at-Ta’rifat,  hal. 8
[14] ash-Shan’ani, Subul.., hal 117
[15] al-Asqallani, Fath.., hal. 255
[16] Ahmad ibn Muhammad al-Qasthallani, Irsyad as-sari li Syarh Shahih al-Bukhri, jilid 15, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), hal. 108
[17] ash-Shan’ani, subul.., hal.118
[18] al-Asqallani, fath.., hal. 255
[19] al-Qasthallani, Irsyad.., hal. 305
[20] Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Indonesia; Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, t.t.), hal. 344
[21] al-Bugha, at-Thdzib.., hal. 680-685
[22] al-Bugha, at-Tahdzib.., hal. 678
[23] Rusyd, Bidayah.., hal. 353
[24] Ibnu Qudamah, al-Mughni, hal. 62-64

DAFTAR KEPUSTAKAAN

al-Asqallani, Ibnu hajar. fath al-Bari. Beirut: Dar al-Fikr. 2000.

al-Bugha, Musthafa Dib. at-Tahdzib fi Adillah Matn al-Ghayah wa at-Taqrib yang dialihbahasakan oleh Toto Edidarmo dengan judul buku Ringkasan Fiqih Mazhab Syafii. Jakarta: Mizan Publika. 2012.

al-Jurjani, Ali. at-Ta’rifat. Indonesia: al-Haramain.  t.t.

al-Qasthallani, Ahmad  ibn Muhammad. Irsyad as-sari li Syarh Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1997.

ash-Shan’ani, Muhammad ibn Ismail.  Subul  as-Salam.Bandung: Diponegoro. t.t.

Harahap, Pangeran.  Peradilan Islam di Indonesia. Medan: Perdana Publishing. 2012.

Munawwir, Ahmad  Warson . al-Munawwir:Kamus Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif. 1997.

Qarib, Ahmad . Ushul Fiqh II. Jakarta: Nimas Multima. 1997.

Qudamah, Ibnu. al-Mughni. Riyadh: Dar Alim al-Kutub. 1997.


Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Indonesia; Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah. t.t.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar