A.
Tiga Tipe Hakim
Sebuah hadis yang dirwayatkan oleh imam-imam
hadis yang empat[1], yaitu Abu Daud, at-Tirmidzi, an-Nasai
dan Ibnu Majah, yang bersumber dari Buraidah Ra. Dia berkata bahwa Rasulullah
Saw. bersabda:
القضاة ثلاثة: اثنان في النار وواحد في الجنة، رجل عرف الحق
فقضى به فهو في الجنة، ورجل عرف الحق فلم يقض به وجار في الحكم فهو في النار، ورجل
لم يعرف الحق فقضى للناس على جهل فهو في النار[2]
“Hakim itu ada
tiga (macam), dua di neraka dan satu di surga. Seorang hakim yang mengetahui
kebenaran, lalu memutuskan hukum dengan kebenaran itu, maka dia berada di dalam
surga. Seorang hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum
dengan kebenaran itudan berbuat zalim dalm menetapkan hukum, maka dia berada di
dalam neraka. Seorang hakim yang tidak mengetahui kebenaran, lalu memutuskan
hukum bagi orang lain dengan kebodohannya, maka dia berada di dalam neraka.”
Dari hadis ini,
ash-Shan’ani ketika menjelaskan hadis ini menyataka bahwa hadis ini menjadi
dalil yang menunujukkan bahwasanya tidak ada hakim yang akan selamat dari
neraka kecuali seorang hakim yang mengetahui kebenaran dan mengamalkannya atau
memutuskan hukum dengan kebenaran tersebut. Zahir hadis ini juga menunjukkan
bahwa seandainya putusan yang ditetapkan oleh seorang yang jahil sesuai dengan
kebenaran, maka dia tetap akan berada di dalam neraka, bersama dua golongan
yang tersebut dalam hadis. Sekaligus hadis ini menjadi peringatan agar
seseorang tidak memutuskan hukuman dengan kebodohannya, atau berbeda dengan
kebenaran yang telah diketahuinya. Bersamaan dengan itu, hadis ini juga
mencakup larangan mengangkat orang yang jahil sebagai qadhi atau hakim.[3]
Secara umum oleh
Ibnu Qudamah, manusia dalam kaitannya dengan qadha atau sebagai qadhi dibagi
kepada tiga kelompok.[4] Pertama,
Orang-orang yang sama sekali tidak boleh dijadikan sebagai qadhi. Mereka
adalah orang-orang yang tak bagus ijtihadnya atau belum memilki kemampuan untuk
berijtihad. Sebagaimana diketahui para ulama menetapkan standar khusus untuk
melakukan ijtihad. ash-Shan’ani, dalam kitabnya menyebutkan bahwa seorang
mujtahid adalah seorang yang telah mampu menghimpun lima pengetahuan; pengetahuan
tentang kitab Allah (al-Quran); pengetahuan tentang sunnah Rasulullah asw.;
berbagai pendapat para ulama salaf, termasuk ijmak dan khilafiah nya;
pengetahuan tentang lughah; dan pengetahuan tentang qiyas, yaitu metode
penggalian (istinbath) hukum dari al-Quran dan Sunnah, apabila nashnya
yang sharih tidak ada ditemukan dalam nash al-Quran, Sunnah dan ijmak.
Dari lima hal yang dikemukan di atas sebagai syarat seorang mujtahid, maka
masing-masing persyaratan menimbulkan pengetahuan-pengetahuan lain yang juga
harus diketahui.[5]
Kedua, orang yang boleh menjadi hakim, tetapi tidak diwajibkan baginya. Yaitu,
orang-orang yang mampu untuk melakukan ijtihad, namun masih ditemukan juga
orang lain di daerah itu yang mampu melakukannya.
Ketiga, orang yang diwajibkan baginya untuk menjadi seorang qadhi atau hakim.
Yaitu, orang yang sanggup untuk berijtihad, dan tidak ditemukan lagi orang yang
berkompeten dalam hal ini selain dirinya saja. Ini karena hukumnya adalah fardu
kifayah, sama seperti hukum penyelenggaraan pengurusan jenazah, yang apabila
tidak ditemukan orang lain yang akan mengurusinya kecualli dirinnya saja, maka
wajib ain baginya untuk melakukannya.[6]
B.
Perlu Kestabilan Jiwa Hakim
Sebuah hadis yang bersumber dari Abu Bakrah Ra., yang kemudian
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Sahabat Nabi tersebut
berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda:
“Tidak boleh
seseorang (di antara) kamu memutuskan hukum dalam keadaan marah.”
Dalam hadis ini
tersebut kata-kata “ghadhban”, yang berasal dari akar kata “ghadhab-yaghdabu-ghadhaban”
yang berari marah. Kata ghadhban telah menngalami perubahan bentuk dan
fungsi (tashrif), dari asal katanya yang berupa fiil madhi menjadi
bentuk isim fa’il dengan memakai timbangan di luar kebiasaan untuk menambah
ke-mubalaghah-an arti kalimat (amtsilah mubalaghah). Menurut Ali
al-Jurjani, yang dimaksud marah adalah perubahan yang terjadi ketika darahnya
mendidih, dalam hatinya muncul perasaan ingin membalaskan sesuatu.[8]
Hadis ini menggunakan
kata “la” di pangkal hadis. Kata la di sini adalah la nafiyah.
Ini bisa dibuktikan dengan melihat fiil yang dimasukinya tidak mengalami
perubahan baris atau i’rab, berbeda dengan la nahiyah. Karena la
nahiyah akan mengubah baris fiil yang dimasukinya menjadi jazam. Perbedaan
kedua la ini juga berdampak pada hukum yang dilahirkan dari hadis ini.
Oleh sebagian menganggap bahwa larangan dalam hadis ini tidak sampai haram,
hanya berstatus hukum makruh saja. Ini mungkin dikarenakan juga larangan dalam
hadis ini tidak dianggap bersifat ketegasan. Tetapi memang hal ini seperti tak
diperlykan dalam pembahasan labih lanjut, karena ditemukannya redaksi yang
berbeda dalam riwayat hadis.
Sebagian ulama
juga, sebagaimana dijelaskan oleh ash-Shan’ani ketika men-syarahkan hadis ini,
mengungkapkan alasan kenapa hanya makruh tidak sampai haram, dikarenakan marah
yang menjadi illat dalam hadis ini tidak ada kaitannya dengan penetapan hukum.
Karena marah itu sendiri bermacam-macam dam orang yang marah pun bermacam-macam.
Ada marah karena Allah, dan ada marah karena dorongan kuat hawa nafsunya. Ada
marah yang tidak sampai mencederai hukum yang ditetapkannya, dan ada memang
marah yang kelewat batas hingga menggelapkan mata dan hatinya untuk membedakan
yang hak dengan yang batil. Dalam kasus terakhir ini tidak ada perbincangan
ulama soal keharamannya. Namun, zahir hadis memang menunjukkan keumumumannya,
dalam arti tidak ada perbedaan hukum disebabkan variasi marah ini.[9]
Oleh ulama-ulama
fikih, dimasukkan juga dalam larangan ini segala hal yang membuat fikiran
terganggu dan menybukkan akal dan hati untuk mendapatkan penelitian yang
sempurna atau pengamatan yang baik. Hal ini didukung oleh sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh al-Baihaqi, yang menyebutkan larangan Nabi bagi qadhi untuk
memberi putusan hukum kecuali dalam keadaan kenyang dan tidak haus. Imam
asy-Syafii mengatakan dalam kitabnya, al-Umm, “Saya membenci seorang
hakim yang memberi putusan hukum padahal ketika itu dia sedang merasa lapar,
capek, hatinya sedang galau, karena yang demikian mampu mengubah cara berfikir
seseorang.” Secara tegas ulama-ulama Hanabilah mengatakan tidak diterimanya
putusan yang dilakukan seseorng dalam kondisi tidak stabil, seperti dalam
keadaan marah. Namun, oleh sebagian ulama kembali membedakan marah yang
dimaksud. Apabila marahnya nmuncul sesudah putusan yang akan diambil telah
jelas, maka marah tidak akan mencederai hukum, dengan arti hukumu dapat
diterima.[10]
Musthafa Dib
Al-Bugha, seorang guru besar di Universitas Damaskus, yang juga seorang pakar
mazhab Syafii mengatakan bahwa seorang hakim tidak boleh memutuskan sebuah
perkara ketika dia berada dalam sepuluh keadaan, yaitu: marah, lapar, haus,
sangat menginginkan untuk bersenggama dengan istrinya, sedih, sanngat senang,
sakit, ingin buang hajat, mengantuk dan cuaca sangat panas atau sangat dingin,
serta berbagai kondisi yang membuat jiwanya tidak tenang, baik yang terkait
dengan fisik ataupun psikis.[11]
C.
Ijtihad Hakim
Ijtihad dalam
bahasa Arab berarti “mencurahkan segenap kemampuan untuk mencapai suatu hal
atau suatu perbuatan.” Dengan demikian, kata ijtihad dipergunakan hanya untuk
hal-hal yang berat dan sulit. Adapun ijtihad menurut istilah adalah “pencurahan
segenap kemampuan dalam meng-istinbathkan hukum dari dalil-dali yang terperinci
atau menerapkannya.”[12]
Sementara menurut Ali al-jurjani, ijtihad adalah seorang faqih mengerahkan
kemampuannya agar tercapai baginya zhann dengan hukum syar’i, atau mengerahkan
kesungguhan untuk mencari sesuatu yang dimaksud dari segi pencarian dalil.[13]
Hadis Nabi yang diriwayatkan secara bersama oleh dua imam hadis, Imam
al-Bukhari dan Imam Muslim, bersumber dari Amr ibn al-Ash, bahwasanya beliau
mendengar Rasulullah saw. bersabda:
“Apabila seorang
hakim (ingin) memutuskan perkara (hukum)lalu dia berijtihad, kemudian
ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua pahala. Apabila dia memutuskan
perkara dengan cara berijtihad lalu ijtihadnya salah maka ia mendapatkan satu
pahala.”
Sebelum
mencantumkan hadis ini, al-Bukhari mencantumkan hadis lain dan memberikan
komentar singkat bahwa apabila seorang hakim melakukan ijtihad tanpa dibekali
pengetahuan, lau menyalahi Rasul dalam putusannya, maka putusan hukumnya
ditolak, dikarenakan hadis Rasulullah “Siapa yang mengerjakan sesuatu yang
tidak ada atasnya urusan kami amak dia tertolak.” Ibnu Baththal mengatakan
bahwa siapa yang memutuskan hukum tidak dengan sunnah, apakah karena
ketidaktahuan atau tersalah, wajib baginya kembali kepada hukum yang ditetapkan
oleh sunnah, dan meninggalkan segala hal yang berbeda dengannya sebagai
ketaatan untuk melakukan perintah Allah yang mewajibkan patuh kepada rasul-Nya.
Namun, hadis di
atas kemudian menunjukkan bahwa hukum yang ditolak bukan berarti si hakim berdosa,
apbila dilakukannya dengan ijtihadnya yang benar, hanya saja hukum yang
didapatkannya salah. Bahkan, bila ternyata dia telah bersungguh-sungguh
mengerahkan segala kemampuannnya, dia akan diberikan pahala atas jerih
payahnya. Jika ternyata hukum yang diputuskannya benar dan sesuai maka pahalnya
digandakan. Akan tetapi kalau ternyata hukum yang ditetapkannya tidak
berdasarkan ilmu, maka ia akan mendaptkan dosa. Hal ini sebagaimana disebutkan
dalam hadis pertama tadi[15]
Secara lahiriah,
dapat dilihat dalam teks hadis di atas yang mendahulukan menetapkan hukum, lalu
berijtihad. Ini secara zahir dapat dipahami dengan penggunaan hurup athaf “Fa’” yang berfungsi ta’qibiyah yaitu
kalimat yang terletak sesudah huruf athaf (ijtihad) diaplikasikan sesudah
selesai dengan urusan yang tersebut sebelum huruf athaf tersebut (hakam), tanpa
jeda dan melambatkan urusannya.
Al-qasthallani menjawab
ini dengan mengatakan para ulama telah
sepakat bahwa tidak boleh menetapkan putusan hukum sebelum melakukan ijtihad.
Karenanya, fa’ dalam hadis kemungkinan bukan fa ta’qibiyah tetapi fa
tafsiriyah[16].
Para ulama umumnya menambahkan kalimat “arada” ketika mensyarahkan hadis
ini, sehingga yang dimaksud adalah “apabila seorang hakim hendak memutuskan
hukum, maka setelah dia melakukan ijtihad dia memutuskan benar..”
Yang dimaksud
dengan salah dalam hadis ini adalah tidak sesuai hukum yang ditetapkan dengan
hukum yang benar di sisi Allah. Sedangkan dua pahala yang dimaksud adalah
pahala ijtihad dan pahala karena benar. Sedangkan satu pahala yang dimaksud
adalah pahala ijtihadnya saja.[17]
Namun, al-Khaththabi, sebagaimana dikutip oleh Ibnu hajar mengatakan satu
pahala yang dimaksud adalah dimaafkannya dosa atau dihapuskannya darinya dosa
kesalahannya. Karena menurut beliau tidak mungkinlah kesalah diberi balasan
pahala.[18]
Dengan hadis ini dapat
dipahami bahwa putusan yang benar di
sisi Allah hanya satu saja dan seorang mujtahid terkadang benar dan terkadang
salah. Abu Hasan al-Asy’ari, Abu Bakar al-Baqilani, Abu Yusuf, Muhammad dan
Ibnu Suraij megatakan dalam masalah-masalah fikih yang tidak ada landasan
qath’i di dalamnya, maka setiap mujtahid masing-masing benar dengan
pendapatnya. Akan tetapi harus dilakukan dengan betul-betul mengggunakan
kemampuan ijtihadnya dengan sungguh-sungguh, karena bila seorang menyia-nyiakan
atau mengurangi sedikit ijtihadnya, dia berdosa karena meninggalkan
kewajibannya sebagai mujtahid untuk mengerahkan segala kemampuannya kepadanya.[19]
Ibnu Rusyd, dalam
kitabny a Bidayah al-Mujtahid, menjelaskan sifat-sifat yang menjadi
syarat bolehnya seseorang menjadi qadhi, yaitu: seorang yang berstatus merdeka,
muslim, baligh, berakal, laki-laki dan adil. Imam Syafii mengatakan bahwa qadhi
diwajibkan seorang yang mujtahid.
Sementara, Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa seorang awam pun boleh menjadi
hakim. Keadaannya sebagai seorang mujathid dianggapnya sebagai sifat yang
berhukum sunnah saja. Juga, terjadi perbedaan pendapat dibolehkannya seorang
perempuan menjadi qadhi. Imam Abu Hanifah mengatakannya boleh dalam
perkara-perkara yang berkaitan dengan harta benda. sementara Ath-Thabari
membolehkannya secara mutlak.[20]
Selain
syarat-syarat yang disebutkan di atas, ulama syafiiyah menetapkan berbagai
syarat lagi untuk menjadi seorang hakim. Dalam kitab fikih kecil, Matn
al-Ghayah wa at-Taqrib, karya Abu Syuja’ yang diperkuat dengan dalil-dalil
oleh Musthafa Dib al-Bugha, misalnya disebutkan lima belas syarat untuk menjadi
seorang hakim, yaitu: beragama Islam, baligh, berakal, merdeka, laki-laki,
bersifat adil, mengetahui hukum yang terkandung dalam al-Quran dan Hadis,
mengetahui ijma’, memahami perbedaan pendapat, memahami metode berijtihad,
memahami seluk-beluk bahasa Arab, memahami tafsir al-Quran, mampu mendengar
dengan baik, mempu melihat dengan baik, mampu menulis dengan baik, dan memiliki
kesadaran alias tidak pelupa.[21]
D.
Perlunya Hakim Mendengar
Perkara Dari Kedua Belah Pihak Yang Berperkara
Berikut ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud dan
at-Tirmidzi, bersumber dari Saidina Ali ra. Beliau berkata, “Aku pernah diutus oleh Rasulullah saw. ke Yaman sebagai qadhi (hakim).
Aku berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah saw. engkau mengutusku,
padahal aku masih muda, dan aku tidak memilki pengalaman dalam menetapkan
putusan (hukum)?” Rasulullah saw. lalu bersabda:
إن الله سيهدي قلبك ويثبت
لسانك فإذا جلس بين يديك الخصمان فلا تقضين حتى تسمع من الآخر كما سمعت من الأول
فإنه أحرى أن يتبين لك القضاء
“Sesungguhnya
Allah akan menunjukkan hatimudan menguatkan lidahmu. Apabila dua orang yang
berselisih duduk di hadapanmu maka janganlah kamu memutuskan perkaranya sebelum
kamu memperhatika pengaduan orang kedua sebagaimana kamu memperhatikan
pengaduan orang pertama. Inilah cara yang layak agar kamu dapat menetapkan
putusan dengan bukti yang kuat.”[22]
Kembali kami
mengutip pendapat Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid. Beliau
menuliskan bahwa para ulama sepakat menyatakan bahwa seorang qadhi wajib menyamakan
kedudukan di antara dua orang yang berselisih. Dan dia dilarang mendengar
penjelasan hanya dari salah satunya saja, bukan yang satunya lagi.[23]
Selanjutnya, Ibnu
Qudamah dalam kitabnya al-Mughni, Bahwa seorang qadhi dibebankan untuk
berlaku adil di antara dua orang yang berselisih dalam segala hal, seperti
tempat duduk keduanya, mengajaknya berbicara, mendiamkannya, dan mendengarkan
keterangan dari keduanya. Pendapat ini sesuai dengan pendapat Syuraih, seorang
qadhi yang diangkat di masa Umar Ibn al-Khaththab dan Ali ra., Abu Hanifah,
asy-Syafii. Ibnu Qudamah mengatakan, “Aku tidak mengetahui ada seseoarng yang
berbeda pendapat tentang hal ini.”
Ibnu Qudamah menceritakan
bahwa Umar ra. pernah mengirimkan surat kepada Abu Musa al-Asy’ari yang
berisikan perintah kepadanya untuk memperlakukan sama di antara orang-orang,
sekalipun itu dalam masalah tempat duduk atau pun keadilan, sehingga orang yang
lemah tidak merasa berputus asa untuk memperoleh keadilan, dan para pembesar
tidak terangsang untuk berbuat zalim. Namun ada penjelasn lebih lanjut lagi,
bila yang berperkara tersebut, satu orang muslim dan satunya lagi kafir zimmi.
Maka, seorang hakim boleh memberikan kesempatan lebih kepada seorang muslim.
Hal ini berdasarkan riwayat Ibrahim at-Taimi. Disebutkan bahwa Ali menemukan
baju besinya di tangan seorang yahudi. Singkat cerita keduanya membawa kasus
ini ke pengadilan. Qadhi saat itu adalah Syuraih. Ketika peradilan berjalan,
terjadi perdebatan, dan keduanya yang berperkara menguatkan suaranya. Maka,
Syuraih berdiri dari tempat duduknnya, dan mendudukkan Ali di situ. Ali
memberikan komentar, “Seandaimya lawanku berperkara ini adalah seorang muslim,
maka aku akan duduk bersamanya.” Lalu Ali menyampaikan apa yang telah dia
dengar diucapkan Naabi saw. yang melarang mempersamakan tempat duduk seorang
muslim dan kafir zimmi.[24]
[1] Penjelasan tentang ini bias dilihat di dalam kitab Ibnu Hajar
al-Asqallani, Bulugh al-Maram, yang disyarahkan oleh salah satunya Imam
ash-Shan’ani dengan nama kitab Subul as-Salam, dalam muqaddimah kitab
ini.
[2] Muhammad ibn Ismail
ash-Shan’ani, Subul as-Salam, Jilid IV, (Bandung: Diponegoro, t.t.),
hal. 115
[3] ash-Shan’ani, Subul.., hal. 115
[4] Ibnu Qudamah, al-Mughni, jilid 14, (Riyadh: Dar Alim al-Kutub,
1997). hal. 7-9
[5] ash-Shan’ani, Subul.., hal. 116
[6] Ibnu Qudamah, al-Mughni, hal. 7-9
[8] Ali al-Jurjani, at-Ta’rifat, (Indonesia: al-Haramain, t.t.),
hal. 158
[9] ash-Shan’ani, Subul.., hal. 120
[10] Ibnu hajar al-Asqallani, fath al-Bari,jilid 15, (Beirut: Dar
al-Fikr, 2000), hal. 35
[11] al-Bugha, at-Tahdzib.., hal. 691
[12] Ahmad Qarib, Ushul Fiqh II, (Jakarta: Nimas Multima, 1997),
hal. 192
[13] al-Jurjani, at-Ta’rifat, hal. 8
[15] al-Asqallani, Fath.., hal. 255
[16] Ahmad ibn Muhammad al-Qasthallani, Irsyad as-sari li Syarh Shahih
al-Bukhri, jilid 15, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1997), hal. 108
[17] ash-Shan’ani, subul.., hal.118
[18] al-Asqallani, fath.., hal. 255
[19] al-Qasthallani, Irsyad.., hal. 305
[20] Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Indonesia;
Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, t.t.), hal. 344
[21] al-Bugha, at-Thdzib.., hal. 680-685
[22] al-Bugha, at-Tahdzib.., hal. 678
[23] Rusyd, Bidayah.., hal. 353
[24] Ibnu Qudamah, al-Mughni, hal. 62-64
DAFTAR KEPUSTAKAAN
DAFTAR KEPUSTAKAAN
al-Asqallani, Ibnu hajar. fath
al-Bari. Beirut: Dar al-Fikr. 2000.
al-Bugha, Musthafa Dib. at-Tahdzib
fi Adillah Matn al-Ghayah wa at-Taqrib yang dialihbahasakan oleh Toto
Edidarmo dengan judul buku Ringkasan Fiqih Mazhab Syafii. Jakarta: Mizan
Publika. 2012.
al-Jurjani, Ali. at-Ta’rifat. Indonesia:
al-Haramain. t.t.
al-Qasthallani, Ahmad ibn Muhammad. Irsyad as-sari li Syarh
Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1997.
ash-Shan’ani,
Muhammad ibn Ismail.
Subul
as-Salam.Bandung: Diponegoro. t.t.
Harahap,
Pangeran. Peradilan Islam di Indonesia. Medan: Perdana
Publishing.
2012.
Munawwir,
Ahmad Warson . al-Munawwir:Kamus
Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif. 1997.
Qarib, Ahmad . Ushul Fiqh II. Jakarta:
Nimas Multima. 1997.
Qudamah, Ibnu. al-Mughni. Riyadh:
Dar Alim al-Kutub. 1997.
Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid
wa Nihayah al-Muqtashid. Indonesia; Maktabah Dar Ihya’ al-Kutub
al-Arabiyah. t.t.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar