- Pengertian
Sumber Hukum
Sumber Hukum adalah tempat kita menemukan hukum. Pengertian Hukum Acara
Hukum acara (hukum formil) bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil, oleh karena itu hukum acara memuat tentang cara bagaimana melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum perdata materil.
Hukum acara (hukum formil) bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil, oleh karena itu hukum acara memuat tentang cara bagaimana melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum perdata materil.
Adapaun hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum
acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah
diatur secara khusus (Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989).
Sumber hukum dibagi menjadi
dua, yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materil.
- Sumber hukum dalam arti materiil (welbron), adalah sumber sebagai penyebab adanya hukum atau
sumber yang menentukan isi hukum.
- Sumber hukum dalam arti formil (kenbron), adalah sumber hukum yang dikenal dari bentuknya yang
menyebabkan ia berlaku umum, mengikat, dan ditaati.
- Pengertian Hukum Acara
Perdata
Hukum acara perdata adalah
peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum
perdata materiel dengan perantaraan Hakim. Dengan perkataan lain hukum acara
perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin
pelaksanaan hukum perdata materiel. Lebih konkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa
hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya memajukan tuntutan hak,
memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya.[1]
- Sumber
Hukum Acara Perdata
1. Herziene
Inlandsch Reglement (HIR)
HIR adalah
Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah Pulau Jawa dan Madura. Hukum
Acara perdata dalam HIR dituangkan pada Pasal 115-245 yang termuat dalam BAB
IX, serta beberapa pasal yang tersebar antara Pasal 372-394.
Pasal
115 s/d Pasal 117 HIR tidak berlaku lagi berhubung dihapusnya Pengadilan
Kabupaten oleh UU No.1 drt. Tahun 1951, dan peraturan mengenai banding dalam
pasal 188-194
HIR juga tidak berlaku lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.
2.
Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg)
RBg adalah
Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar pulau Jawa dan
Madura. RBg terdiri dari 5 (lima) BAB dan 723 (tujuh ratus dua puluh tiga)
pasal yang mengatur tentang pengadilan pada umumnya dan acara pidananya tidak
berlaku lagi dengan adanya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.
Ketentuan
Hukum Acara Perdata yang termuat dalam BAB II Title I, II, III, VI, dan VII
tidak berlaku lagi, yang masih berlaku hingga sekarang adalah Title IV dan V
bagi Landraad (sekarang Pengadilan Negeri).
3.
Burgerlijk Wetboek (BW)
Burgerlijk
Wetboek (Kitab Undang–Undang Hukum Perdata),
meskipun sebagai kodifikasi Hukum Perdata Materiil, namun juga memuat Hukum
Acara Perdata, terutama dalam Buku IV tentang pembuktian dan daluarsa (Pasal
1865- Pasal 1993), selain itu juga terdapat dalam pasal Buku I, misalnya
tentang tempat tinggal atau domisili (Pasal 17 – Pasal 25) serta beberapa pasal
Buku II dan Buku III (misalnya Pasal 533,535,1244 dan 1365).
4.
Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29
Ordonansi
Tahun 1867 Nomor 29 ini memuat ketentuan Hukum Acara Perdata
tentang kekuatan pembuktian tulisan-tulisan dibawah tangan dari orang-orang
Indonesia (Bumiputera) atau yang dipersamakan dengan mereka. Pasal-pasal
ordonasi ini diambil oper dalam penyusunan Rechtsreglement voor de
Buitengewesten (RBg).
5.
Wetboek van Koophandel (WVK)
Wetboek van
Koophandel (Kitab Undang-undang Dagang), meskipun
juga sebagai kodifikasi Hukum Perdata Materiil, namun didalamnya ada beberapa
pasal yang memuat ketentuan Hukum Acara Perdata (Misalnya Pasal 7, 8, 9, 22,
23, 32, 255, 258, 272, 273, 274, dan 275).
6.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 adalah
Undang-Undang tentang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang
memuat ketentuan-ketentuan hukum acara perdata khusus untuk kasus kepailitan.
7.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 1947 adalah
Undang-undang tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura yang berlaku sejak
24 Juni 1947, dengan adanya undang-undang ini, peraturan mengenai banding dalam
HIR pasal 188 – 194 tidak berlaku lagi.
8.
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951
Undang-Undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1951 adalah
Undang-Undang tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk
menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan
Sipil yang berlaku sejak tanggal 14 Januari 1951.
9.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 adalah
Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang berlaku sejak
diundangkan tanggal 15 Januari 2004. Ketentuan Hukum Acara Perdatanya termuat
dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (3), selainya juga memuat hukum acara
pada umumnya. Undang-Undang ini telah di ganti dengan Undang-Undang baru
yaitu Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
10.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 adalah
Undang-Undang tentang Perkawinan, memuat ketentuan-ketentuan Hukum Acara
Perdata (khusus) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan serta menyelesaikan
perkara-perkara perdata mengenai perkawinan, pencegahan perkawinan, pembatalan
perkawinan, dan perceraian yang terdapat dalam Pasal 4, 5, 6, 7, 9, 17, 18, 25,
28, 38, 39, 40, 55, 60, 63, 65, dan 66. Undang-undang ini diatur lebih
lanjut dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
11.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 adalah Undang-Undang
tentang Mahkamah Agung yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 30 Desember
1985, yang kemudian mengalami perubahan pertama dengan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2004, kemudian dirubah lagi
dengan perubahan kedua dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009, tetapi hukum acara
perdata yang ada dalam pasal tersebut tidak mengalami perubahan.
Dalam
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 diatur
mengenai kedudukan, susunan, kekuasaan dan hukum acara bagi Mahkamah Agung
(Pasal 40-78).
Hukum
Acara bagi Mahkamah Agung yang termuat dalam BAB IV Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 terdiri dari 5 (lima) bagian yaitu :
- Bagian Pertama Pasal 40 s/d Pasal 42 tentang
ketentuan umum;
- Bagian Kedua Pasal 43 s/d Pasal 55 tentang
pemeriksaan kasasi;
- Bagian Ketiga Pasal 56 s/d Pasal 65 tentang
pemeriksaan sengketa perihal kewenangan mengadili;
- Bagian Keempat Pasal 66 s/d Pasal 77 tentang pemeriksaan
peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
tetap; dan
- Bagian Kelima Pasal 78 tentang pemeriksaan sengketa
yang timbul karena perampasan kapal.
12.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 adalah Undang-Undang
tentang Peradilan Umum, berlaku sejak diundangkan tanggal 8 Maret 1986.
Ketentuan dalam Undang-undang tersebut mengatur mengenai kedudukan, susunan,
dan kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Pasal-pasal yang
memuat Peraturan Hukum Acara Perdatanya, antara lain termuat dalam Pasal 50,
51, 60, dan 61. Undang-undang ini dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2004, tetapi tidak mengenai
hukum acara perdata. Undang-undang ini kemudian mengalami perubahan kedua
dengan Undang-Undang
Nomor 49 Tahun 2009.
13.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 adalah Undang-Undang
tentang Advokat yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 5 April 2003.
14.
Yurisprudensi
Beberapa
yurisprudensi terutama dari Mahkamah Agung menjadi sumber Hukum Acara Perdata
yang sangat penting di negara kita ini, terutama untuk mengisi kekosongan,
kekurangan, dan ketidak sempurnaan yang banyak terdapat dalam peraturan
perundang-undangan Hukum Acara Perdata peninggalan Zaman Hindia Belanda.
15.
Peraturan Mahkamah Agung
Peraturan
Mahlkamah Agung juga merupakan sumber Hukum Acara Perdata. Dasar hukum bagi
Mahkamah Agung untuk mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung ini
termuat dalam Pasal 79 Uundang-undang Nomor 14 Tahun 1985.[2]
- UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (1) “Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan
kehakiman menurut undang-undang”, dan Ayat (2) “Susunan dan
badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang”. Dalam Pasal 25
menyatakan “Syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim
ditetapkan dengan undang-undang”, dalam penjelasan Pasal Pasal 24 dan
25 dijelaskan “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus
diaadakan jaminan dalam undang-undang kedudukanya para hakim”. Dalam
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 “Segala lembaga negara yang ada
masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan UUD dan belum diadakan
yang baru menurut undang-undang dasar ini”.
- Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Peraturan
yang menjadi dasar sebelum berlakunya Undang-Undang ini adalah Herzien
Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB)
(Staadsblad Tahun 1941 Nomor 44) yang berdasarkan Pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.Dengan berlakunya KUHAP maka
untuk pertama kalinya di Indonesia di adakan kodifikasi dan unifikasi yang
lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari
kebenarasn) sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai
(herziening).
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang
Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan
Atas UU No. 2 /1986 Tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang
Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 2/1986
Tentang Peradilan Umum.
- Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. perubahan
kedua dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.
- Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, pada saat
Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4358) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 5 April 2003.
- Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
- Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Pokok
Perbangkan, khususnya Pasal 37 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang – Undang ini mengatur acara
pidana khusus untuk delik korupsi. Kaitannya dengan KUHAP ialah dalam
Pasal 284 KUHAP. Undang - Undang tersebut dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1970 Tentang Tata
Cara Tindakan Kepolisian terhadap anggota MPRS dan DPR Gotong Royong.
Undang-Undang ini masih berlaku dan kata MPRS seharusnya dibaca MPR,
sedangkan DPR seharusnya tanpa Gotong Royong.
- Undang-Undang Nomor 5 (PNPS) Tahun 1959 Tentang Wewenang
Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan memperberat ancaman hukuman terhadap
tindak pidana tertentu.
- Undang –Undang Nomor 7 (drt) Tahun 1955 Tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
- Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
Tentang Pelaksanaan KUHAP.
- Beberapa Keputusan Presiden yang mengatur tentang
acara pidana yaitu :
·
Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 73 Tahun 1967 Tentang Pemberian Wewenang Kepada Jaksa Agung Melakukan
Pengusutan, Pemeriksaan Pendahuluan Terhadap Mereka Yang Melakukan
Tindakan Penyeludupan;
·
Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 228 Tahun 1967 Tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi;
·
Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor
9 Tahun 1974 Tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap
Pimpinan/Anggota DPRD Tingkat II dan II;
·
Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Organisasi Polri;
·
Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 55 Tahun 1991 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan
Republik Indonesia;
·
Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 43 Tahun 1983 Tentang Tunjangan Hakim
·
Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 44 Tahun 1983 Tentang Tunjangan Jaksa[3]
- Pengertian Hukum
Acara Peradilan Agama
Peradilan
Agama adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu diantara empat
lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang resmi dan sah di
Indonesia. Tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum,
Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Agama adalah
salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia. Dua Peradilan Khusus
lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan
peradilan khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau
mengenai golongn rakyat tertentu. Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya
berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan pula tidak hanya
untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam
tertentu, tidak mencakup seluruh perkara perdata Islam.
Peradilan
Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis perkara yang
ia boleh mengadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama Islam.
Peradilan Agama adalah Peradilan Islam limitatif yang telah disesuaikan
(dimutatis mutandiskan) dengan keadaan di Indonesia. Menurut pasal 2 UU No. 3
Tahun 2006 bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Kata
“Peradilan Islam” yang tanpa dirangkaian dengan kata-kata “di Indonesia”,
dimaksudkan adalah Peradilan Islam secara universal. Peradilan Islam itu
meliputi segala jenis perkara menurut ajaran Islam secara universal. Oleh
karena itu, dimana-mana asas peradilannya mempunyai prinsip-prinsip kesamaan
sebab hukum Islam itu tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan di mana
pun, bukan hanya untuk suatu bangsa atau untuk suatu Negara tertentu saja.
Untuk menghindari kekeliruan pemahaman, apabila yang dimaksudkan adalah
“Peradilan Islam di Indonesia” maka cukup digunakan istilah “Peradilan Agama”.
Sebagaimana
diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata dan Peradilan Islam di
Indonesia, jadi ia harus mengindahkan peraturan perundang-undangan Negara dan
syariat Islam sekaligus. Oleh karena itu, rumusan Hukum Acara Peradilan Agama
adalah diusulkan sebagai berikut : “Segala peraturan baik yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan negara maupun dari syariat Islam yang mengatur
tentang bagaimana cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama tersebut
menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material Islam yang menjadi
kekuasaan Peradilan Agama”.
Pengadilan
Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang
beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989
tentang PA “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
tertentu yang diatur dalam undang-undang ini ”. Dengan demikian keberadaan
Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Setelah UU
No. 7 tahun 1989 diperbaharui dengan UU No.3 tahun 2006, maka rumusan tersebut
juga ikut berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan
wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka
rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “ Pengadilan
Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini ”.
Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:
Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:
1.
Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam
menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya
2.
Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam
melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun
Dalam
pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang :
a.
Perkawinan
b.
Kewarisan, wasiat, dan hibahyang dilakukan berdasarkan
hukum Islam, dan
- Sumber Hukum Acara
Peradilan Agama
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan dalam Bab IX pasal 24
ayat (2) bahwa peradilan agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan
kehakiman. Peradilan agama
adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan
ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU
No.35 Tahun 1999 dan terakhir diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan
atas UU No.7 Tahun 1989 dalam pasal 2 disebutkan: “Peradilan Agama adalah salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.”
- Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman;
- Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang perubahan peradilan agama;
- Undang-undang Nomor 50 tahun
2009 tentang peradilan agama
- Undang-undang nomor 20 tahun
1947 tentang peradilan ulangan di Jawa dan Madura
- Undang-undang nomor 5 tahun
2004 tentang mahkamah agung
- Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
- Peraturan
pemerintahan nomor 9 tahaun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang no 1
tahun 1974
- Undang-undang
no 41 tahun 2004 tentang wakaf
- HIR (Herziene Indonesian
Reglement) untuk jawa dan Madura
- RV
(Reglement op de Burgerlijke Rechsvordering)
- RBG (Rechtsreglement voor de Buitengewesten)untuk luar jawa dan Madura
- Inpres
Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI sebagai pedoman penyelesaian perkawinan,
perwakafan dan kewarisan
- Yurisprudensi; putusan yang
diikuti oleh hakim lain dalam putusan yang sama. Kumpulan yang sistematis
dari putusan MA
- Surat
Edaran Mahkamah Agung; sepanjang menyangkut Hukum Acara Perdata.[5]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar