Laman

Minggu, 17 November 2013

Sumber Hukum Acara

  1. Pengertian Sumber Hukum
Sumber Hukum adalah tempat kita menemukan hukum. Pengertian Hukum Acara
Hukum acara (hukum formil) bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materil, oleh karena itu hukum acara memuat tentang cara bagaimana melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat dalam hukum perdata materil.
Adapaun hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum kecuali yang telah diatur secara khusus (Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989). 
Sumber hukum dibagi menjadi dua, yaitu sumber hukum formil dan sumber hukum materil.
  1. Sumber hukum dalam arti materiil (welbron), adalah sumber sebagai penyebab adanya hukum atau sumber yang menentukan isi hukum.
  2. Sumber hukum dalam arti formil (kenbron), adalah sumber hukum yang dikenal dari bentuknya yang menyebabkan ia berlaku umum, mengikat, dan ditaati.
  1. Pengertian Hukum Acara Perdata
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiel dengan perantaraan Hakim. Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiel. Lebih konkrit lagi dapatlah dikatakan bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya memajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya.[1]

  1. Sumber Hukum Acara Perdata
1.  Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
HIR adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah Pulau Jawa dan Madura. Hukum Acara perdata dalam HIR dituangkan pada Pasal 115-245 yang termuat dalam BAB IX,  serta beberapa pasal yang tersebar antara Pasal 372-394.
Pasal 115 s/d Pasal 117 HIR tidak berlaku lagi berhubung dihapusnya Pengadilan Kabupaten oleh UU No.1 drt. Tahun 1951, dan peraturan mengenai banding dalam pasal 188-194 HIR  juga tidak berlaku lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.
2.  Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg)
RBg adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar pulau Jawa dan Madura. RBg terdiri dari 5 (lima) BAB dan 723 (tujuh ratus dua puluh tiga) pasal yang mengatur tentang pengadilan pada umumnya dan acara pidananya tidak berlaku lagi dengan adanya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.
Ketentuan Hukum Acara Perdata yang termuat dalam BAB II Title I, II, III, VI, dan VII tidak berlaku lagi, yang masih berlaku hingga sekarang adalah Title IV dan V bagi Landraad (sekarang Pengadilan Negeri).
3.  Burgerlijk Wetboek (BW)
Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang–Undang Hukum Perdata), meskipun sebagai kodifikasi Hukum Perdata Materiil, namun juga memuat Hukum Acara Perdata, terutama dalam Buku IV tentang pembuktian dan daluarsa (Pasal 1865- Pasal 1993), selain itu juga terdapat dalam pasal Buku I, misalnya tentang tempat tinggal atau domisili (Pasal 17 – Pasal 25) serta beberapa pasal Buku II dan Buku III (misalnya Pasal 533,535,1244 dan 1365).
4.  Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29
Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29 ini memuat ketentuan Hukum Acara Perdata tentang kekuatan pembuktian tulisan-tulisan dibawah tangan dari orang-orang Indonesia (Bumiputera) atau yang dipersamakan dengan mereka. Pasal-pasal ordonasi ini diambil oper dalam penyusunan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg).
5.  Wetboek van Koophandel (WVK)
Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-undang Dagang), meskipun juga sebagai kodifikasi Hukum Perdata Materiil, namun didalamnya ada beberapa pasal yang memuat ketentuan Hukum Acara Perdata (Misalnya Pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 255, 258, 272, 273, 274, dan 275).
6.  Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah Undang-Undang tentang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang memuat ketentuan-ketentuan hukum acara perdata khusus untuk kasus kepailitan.
7.  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 adalah Undang-undang tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura yang berlaku sejak 24 Juni 1947, dengan adanya undang-undang ini, peraturan mengenai banding dalam HIR pasal 188 – 194 tidak berlaku lagi.
8.  Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 adalah Undang-Undang tentang Tindakan-tindakan Sementara Untuk menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil yang berlaku sejak tanggal 14 Januari 1951.
9.  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 adalah Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman yang berlaku sejak diundangkan tanggal 15 Januari 2004. Ketentuan Hukum Acara Perdatanya termuat dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 36 ayat (3), selainya juga memuat hukum acara pada umumnya. Undang-Undang ini telah di ganti dengan Undang-Undang baru yaitu Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
10.  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah Undang-Undang tentang Perkawinan, memuat ketentuan-ketentuan Hukum Acara Perdata (khusus) untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan serta menyelesaikan perkara-perkara perdata mengenai perkawinan, pencegahan perkawinan, pembatalan perkawinan, dan perceraian yang terdapat dalam Pasal 4, 5, 6, 7, 9, 17, 18, 25, 28, 38, 39, 40, 55, 60, 63, 65, dan 66. Undang-undang ini diatur lebih lanjut  dengan Peraturan Pemerintah  Nomor 9 Tahun 1975.
11.  Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 adalah Undang-Undang tentang Mahkamah Agung yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 30 Desember 1985, yang kemudian mengalami perubahan pertama dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, kemudian dirubah lagi dengan perubahan kedua dengan  Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, tetapi hukum acara perdata yang ada dalam pasal tersebut tidak mengalami perubahan.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 diatur mengenai kedudukan, susunan, kekuasaan dan hukum acara bagi Mahkamah Agung (Pasal 40-78).
Hukum Acara bagi Mahkamah Agung yang termuat dalam BAB IV Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 terdiri dari 5 (lima) bagian yaitu :
  • Bagian Pertama Pasal 40 s/d Pasal 42 tentang ketentuan umum;
  • Bagian Kedua Pasal 43 s/d Pasal 55 tentang pemeriksaan kasasi;
  • Bagian Ketiga Pasal 56 s/d Pasal 65 tentang pemeriksaan sengketa perihal kewenangan mengadili;
  • Bagian Keempat Pasal 66 s/d Pasal 77 tentang pemeriksaan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan tetap; dan
  • Bagian Kelima Pasal 78 tentang pemeriksaan sengketa yang timbul karena perampasan kapal.
12.  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986          
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 adalah Undang-Undang tentang Peradilan Umum, berlaku sejak diundangkan tanggal 8 Maret 1986. Ketentuan dalam Undang-undang tersebut mengatur mengenai kedudukan, susunan, dan kekuasaan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Pasal-pasal yang memuat Peraturan Hukum Acara Perdatanya, antara lain termuat dalam Pasal 50, 51, 60, dan 61. Undang-undang ini dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004, tetapi tidak mengenai hukum acara perdata. Undang-undang ini kemudian mengalami perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009.
13.  Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 adalah Undang-Undang tentang Advokat yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 5 April 2003.
14.  Yurisprudensi
Beberapa yurisprudensi terutama dari Mahkamah Agung menjadi sumber Hukum Acara Perdata yang sangat penting di negara kita ini, terutama untuk mengisi kekosongan, kekurangan, dan ketidak sempurnaan yang banyak terdapat dalam peraturan perundang-undangan Hukum Acara Perdata peninggalan Zaman Hindia Belanda.
15.  Peraturan Mahkamah Agung
Peraturan Mahlkamah Agung juga merupakan sumber Hukum Acara Perdata. Dasar hukum bagi Mahkamah Agung untuk mengeluarkan  Peraturan  Mahkamah Agung ini termuat dalam Pasal 79 Uundang-undang Nomor 14 Tahun 1985.[2]
  1. Sumber Sumber Hukum Acara Pidana
  1. UUD 1945 dalam Pasal 24 ayat (1) “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang”, dan Ayat (2) “Susunan dan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang”. Dalam Pasal 25 menyatakan “Syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang”, dalam penjelasan Pasal Pasal 24 dan 25 dijelaskan “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diaadakan jaminan dalam undang-undang kedudukanya para hakim”. Dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 “Segala lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan UUD dan belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.
  2. Kitap Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Peraturan yang menjadi dasar sebelum berlakunya Undang-Undang ini adalah Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) (Staadsblad Tahun 1941 Nomor 44) yang berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.Dengan berlakunya KUHAP maka untuk pertama kalinya di Indonesia di adakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal (mencari kebenarasn) sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai (herziening).
  3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 2 /1986 Tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 2/1986 Tentang Peradilan Umum.
  4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.
  5. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
  6. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 5 April 2003.
  7. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  8. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
  9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Pokok Perbangkan, khususnya Pasal 37 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
  10. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang – Undang ini mengatur acara pidana khusus untuk delik korupsi. Kaitannya dengan KUHAP ialah dalam Pasal 284 KUHAP. Undang - Undang tersebut dirubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
  11. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1970 Tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian terhadap anggota MPRS dan DPR Gotong Royong. Undang-Undang ini masih berlaku dan kata MPRS seharusnya dibaca MPR, sedangkan DPR seharusnya tanpa Gotong Royong.
  12. Undang-Undang Nomor 5 (PNPS) Tahun 1959 Tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dan memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana tertentu.
  13. Undang –Undang Nomor 7 (drt) Tahun 1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
  14. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP.
  15. Beberapa Keputusan Presiden yang mengatur tentang acara pidana yaitu :
·   Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1967 Tentang Pemberian Wewenang Kepada Jaksa Agung Melakukan Pengusutan, Pemeriksaan Pendahuluan  Terhadap Mereka Yang Melakukan Tindakan Penyeludupan;
·   Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228 Tahun 1967 Tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi;
·   Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1974 Tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian  terhadap Pimpinan/Anggota DPRD Tingkat II dan II;
·   Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Organisasi Polri;
·   Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 1991 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia;
·   Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1983 Tentang Tunjangan Hakim
·   Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1983 Tentang Tunjangan Jaksa[3]
  1. Pengertian Hukum Acara Peradilan Agama

Peradilan Agama adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang resmi dan sah di Indonesia. Tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Agama adalah salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia. Dua Peradilan Khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan peradilan khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongn rakyat tertentu. Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan pula tidak hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perkara perdata Islam.
Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis perkara yang ia boleh mengadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama Islam. Peradilan Agama adalah Peradilan Islam limitatif yang telah disesuaikan (dimutatis mutandiskan) dengan keadaan di Indonesia. Menurut pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 bahwa Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Kata “Peradilan Islam” yang tanpa dirangkaian dengan kata-kata “di Indonesia”, dimaksudkan adalah Peradilan Islam secara universal. Peradilan Islam itu meliputi segala jenis perkara menurut ajaran Islam secara universal. Oleh karena itu, dimana-mana asas peradilannya mempunyai prinsip-prinsip kesamaan sebab hukum Islam itu tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan di mana pun, bukan hanya untuk suatu bangsa atau untuk suatu Negara tertentu saja. Untuk menghindari kekeliruan pemahaman, apabila yang dimaksudkan adalah “Peradilan Islam di Indonesia” maka cukup digunakan istilah “Peradilan Agama”.
Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata dan Peradilan Islam di Indonesia, jadi ia harus mengindahkan peraturan perundang-undangan Negara dan syariat Islam sekaligus. Oleh karena itu, rumusan Hukum Acara Peradilan Agama adalah diusulkan sebagai berikut : “Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan negara maupun dari syariat Islam yang mengatur tentang bagaimana cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukum material Islam yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama”.
Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang PA “Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini ”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Setelah UU No. 7 tahun 1989 diperbaharui dengan UU No.3 tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah, hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang pengadilan agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 adalah “ Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini ”.
Dalam definisi pengadilan agama tersebut kata “Perdata” dihapus. Hal ini dimaksudkan untuk:
1.      Memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya
2.      Untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syariah dalam melaksanakan kewenangannya di bidang jinayah berdasarkan Qonun
         Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang :
a.     Perkawinan
b.   Kewarisan, wasiat, dan hibahyang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
c.        Wakaf dan shadaqoh.[4]

  1. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan dalam Bab IX pasal 24 ayat (2) bahwa peradilan agama merupakan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman.  Peradilan agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 yang telah diubah dengan UU No.35 Tahun 1999 dan terakhir diganti dengan UU No.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 dalam pasal 2 disebutkan: “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.”
  1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman; 
  2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan peradilan agama; 
  3. Undang-undang Nomor 50 tahun 2009 tentang peradilan agama
  4. Undang-undang nomor 20 tahun 1947 tentang peradilan ulangan di Jawa dan Madura
  5. Undang-undang nomor 5 tahun 2004 tentang mahkamah agung
  6. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
  7. Peraturan pemerintahan nomor 9 tahaun 1975 tentang pelaksanaan undang-undang no 1 tahun 1974
  8. Undang-undang no 41 tahun 2004 tentang wakaf
  9. HIR (Herziene Indonesian Reglement) untuk jawa dan Madura
  10. RV (Reglement op de Burgerlijke Rechsvordering)
  11. RBG (Rechtsreglement voor de Buitengewesten)untuk luar jawa dan Madura
  12. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI sebagai pedoman penyelesaian perkawinan, perwakafan dan kewarisan
  13. Yurisprudensi; putusan yang diikuti oleh hakim lain dalam putusan yang sama. Kumpulan yang sistematis dari putusan MA
  14. Surat Edaran Mahkamah Agung; sepanjang menyangkut Hukum Acara Perdata.[5]




[1] Mertokusumo Sudikno, Hukum Acara Perdata Indonesia.
[2] Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (PT. Aditya Bakti: Bandung, Cet. V,  2009) h. 4-13

[3] Jur. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Sinar Grafika: Jakarta, 2009) h. 82

[4] M Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Pustaka Kartini, 1990) h. 194
[5] M Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Pustaka Kartini, 1990) h. 196

Tidak ada komentar:

Posting Komentar