- Pengertian Pelaku
Tindak Pidana
Yang dimaksud pelaku tindak pidana (Dader) menurut doktrin adalah barang
siapa yang melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana
unsur-unsur tersebut dirumuskan didalam undang-undang menurut KUHP sebagaimana
diatur dialam pasal 55 KUHP (1), bahwa pelaku tindak pidana itu dapat dibagi
dalam 4 (empat) golongan:
1. Orang yang melakukan sendiri tindak
pidana (plegen) Yaitu orang tersebut
melakukan tindak pidana sendirian tidak ada temannya
2. Orang yang menyuruh orang lain untuk
melakukan tindak pidana (doen plegen)
Yaitu seseorang yang menyuruh orang lain melakukan tindak pidana, yang mana orang disuruh melakukan tindak pidana tersebut tidak mampu bertanggung jawab sehingga dalam hal ini orang yang menyuruh dapat di pidana sedangkan orang yang disuruh tidak dapat dipidana
Yaitu seseorang yang menyuruh orang lain melakukan tindak pidana, yang mana orang disuruh melakukan tindak pidana tersebut tidak mampu bertanggung jawab sehingga dalam hal ini orang yang menyuruh dapat di pidana sedangkan orang yang disuruh tidak dapat dipidana
3. Orang yang turut melakukan tindak
pidana (mede plegen) KUHP tidak
memberikan rumusan secara tegas siapa saja yang dikatakan turut melakukan
tindak pidana, sehingga dalam hal ini menurut doktrin untuk dapat dikatakan
turut melakukan tindak pidana haru memenuhi dua syarat ;
a. Harus adanya kerjasama secara fisik
b. Harus ada kesadaran bahwa mereka
satu sama lain bekerjasama untuk melakukan tindak pidana
4. Orang yang dengan sengaja membujuk
atau menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana (uit lokken)
Syarat-syarat
uit lokken ;
a. Harus adanya seseorang yang
mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana
b. Harus ada orang lain yang digerakkan
untuk melakukan tindak pidana
c. Cara menggerakan harus menggunakan
salah satu daya upaya yang tersebut didalam pasal 55(1) sub 2e
(pemberian,perjanjian, ancaman, dan lain sebagainya)
d. Orang yang digerakan harus
benar-benar melakkan tindak pidana sesuai dengan keinginan orang yang menggerakan
Ditinjau
dari sudut pertanggung jawabannya maka pasal 55(1) KUHP tersebut di atas
kesemua mereka adalah sebagai penanggung jawab penuh, yang artinya mereka semua
diancam dengan hukuman maksimum pidana pokok dari tindak pidana yang dilakukan.[1]
- Pengertian Penyertaan/Turut Serta
Secara umum
penyertaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan (tindak pidana) yang
dilakukan lebih dari satu orang. Kata penyertaan (deelneming) berarti turut
sertanya seseorang atau lebih pada waktu seseorang lain melakukan tindak
pidana.
Pengertian yang
meliputi semua bentuk turut serta atau terlibatnya orang atau orang-orang baik
secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga
melahirkan suatu tindak pidana.[2]
Dasar hukum
penyertaan telah diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Ketentuan pidana
dalam Pasal 55 KUHP menurut rumusannya berbunyi :
(1)
Dihukum
sebagai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana, yaitu:
1.
Mereka
yang melakukan, menyuruh melakukan atau yang turut melakukan.
2.
Mereka
yang dengan pemberian-pemberian, janji-janji, dengan menyalahgunakan kekuasaan
atau keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan
kesalahpahaman atau dengan memberikan kesempatan, sarana-sarana atau
keterangan-keterangan, dengan sengaja telah menggerakkan orang lain untuk
melakukan tindak pidana yang bersangkutan.
(2) Mengenai mereka yang
disebutkan terakhir ini, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada mereka itu
hanyalah tindakan-tindakan yang dengan sengaja telah mereka gerakkan untuk
dilakukan oleh orang lain, berikut akibat-akibatnya.
Sedangkan
ketentuan pidana dalam Pasal 56 KUHP menurut rumusannya berbunyi:
1. Mereka
yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan
tersebut.
2. Mereka
yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana-sarana atau
keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.
Menurut KUHP yang dimaksud dengan
turut serta melakukan adalah setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet) dalam
melakukan suatu tindak pidana.
Pada mulanya yang disebut dengan
turut berbuat itu ialah bahwa masing-masing peserta telah melakukan perbuatan
yang sama-sama memenuhi semua rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Seperti,
dua orang A dan B mencuri sebuah televisi di sebuah rumah, di mana mereka berdua
sama-sama masuk melalui jendela yang tidak terkunci dan sama-sama pula
mengangkat televisi tersebut ke dalam mobil yang berada di pinggir jalan. Pada
contoh ini, perbuatan A dan B sama-sama mengangkat televisi jelas perbuatan
mereka telah sama-sama memenuhi rumusan tindak pidana.[3]
Menurut Van Hamel mengatakan bahwa:[4]
“Suatu medeplegen itu
hanya dapat dianggap sebagai ada, yaitu apabila tindakan tiap-tiap peserta di
dalam suatu tindak pidana dapat dianggap sebagai telah menghasilkan suatu daderschap secara
sempurna.”
Hoge Raad dalam arrestnya telah
meletakkan dua kriteria tentang adanya bentuk pembuat peserta, yaitu : “yang
pertama antara para peserta ada kerja sama yang diinsyafi dan yang kedua yaitu
para peserta telah sama-sama melaksanakan tindak pidana yang dimaksudkan”.
Sehubungan dengan dua syarat yang
diberikan oleh Roge Raad di atas, maka arah kesengajaan bagi pembuat peserta
ditujukan pada dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu :
1) Kesengajaan
yang ditujukan dalam hal kerjasamanya untuk mewujudkan tindak pidana.
2) Kesengajaan
yang ditujukan dalam hal mewujudkan perbuatannya menuju penyelesaian tindak
pidana. Di sini kesengajaan pembuat peserta adalah sama dengan kesengajaan
pembuat pelaksana, ialah sama-sama ditujukan pada penyelesaian tindak pidana.
Kerjasama yang diinsyafi adalah
suatu bentuk kesepakatan atau suatu kesamaan kehendak antara beberapa orang
(pembuat peserta dan pembuat pelaksana) untuk mewujudkan suatu tindak pidana
secara bersama. Di dalam keinsyafan kerjasama ini terdapat kehendak yang sama
kuat yang ditujukan pada penyelesaian tindak pidana. Pembuat peserta mempunyai
kepentingan yang sama dengan pembuat pelaksana untuk terwujudnya tindak pidana.
Kerjasama yang diinsyafi tidak perlu berupa permufakatan yang rapi dan formal
yang dibentuk sebelum pelaksanaan, tetapi cukup adanya saling pengertian yang
sedemikian rupa antara mereka dalam mewujudkan perbuatan yang satunya terhadap
perbuatan yang lainnya ketika berlangsungnya pelaksanaan.
Mengenai mereka bersama-sama telah
melaksanakan tindak pidana terkandung makna bahwa wujud perbuatan masing-masing
antara pembuat peserta dengan pembuat pelaksana tidak perlu sama, yang penting
wujud perbuatan pembuat peserta itu sedikit atau banyak terkait dan mempunyai
hubungan dengan perbuatan yang dilakukan pembuat pelaksana dalam mewujudkan
tindak pidana.
- Teori Penyertaan
Teori Penyertaan Tindak Pidana Penyertaan (deelneming)
terjadi apabila dalam suatu tindak pidana terlibat lebih dari satu orang.
Sehingga harus dicari pertanggung jawaban masing-masing orang yang tersangkut
dalam tindak pidana tersebut. Keterlibatan seseorang dalam suatu tindak pidana
dapat dikategorikan sebagai:
- Yang melakukan
- Yang menyuruh melakukan
- Yang turut melakukan
- Yang menggerakkan/ menganjurkan untuk melakukan
- Yang membantu melakukan
1). Teori Subyektif
Teori yang berdasarkan kepada
niat/maksud/kehendak ini, menegaskan bahwa pada medeplegen ; niat orang yang
ikut serta sama dengan niat orang yang melakukan. Pada pembantunya niat orang
yang membantu hanya terbatas mempermudah perbuatan orang yang melakukan atau
orang yang dibantu. Tegasnya, jika niat orang yang ikut serta tersebut sama
dengan niat orang yang melakukan, maka itulah medeplegen. Sedangkan niat orang
yang ikut tersebut, hanya sekedar mempermudah terjadinya kejahatan maka
itulah pembantuan.
2). Teori Obyektif
Teori yang didasarkan kepada sifat
perbuatan ini, menegaskan : jika seseorang ikut serta tersebut melakukan
perbuatan yang sifatnya dilarang uu maka perbuatan orang tersebut adalah
ikutserta/medeplegen. Namun bila perbuatan orang tersebut bukanlah perrbuatan
yang dilarang dalam uu maka orang tersebut adalah membantu.
3). Teori Gabungan
Merupakan gabungan antra teori
subyektif dan teory obyektif. Teori ini muncul karena menurut pencetusnya teori
subyektif dan teori obyektif terlalu sempit dan sepihak. Sesuai dengan
pembagian tindak pidana yakni tindak pidana formil dan tindak pidana materiil,
maka menurut teori ini bagi tindak pidana formil (perbuatan yang dilarang)
digunakan teori obyktif. Sedangkan bagi pidana materiil (akibat yang
dilarang) digunaka teori subyktif.[5]
Dalam Praktek/Peradilan, untuk
membedakan antara ikut serta dan membantu, dilihat bilamana dalam kebersamaan
melakukan kejahatan tersebut telah memenuhi syarat ikut serta, maka hal tersebut
adalah medeplegen. Bila tidak memenuhi syarat maka pembantuan. Demikian pula
terjadi persamaan antara uitloking
dan pembantuan jenis ke dua. Adapun yang dimaksud yaitu mengenai :
1) Pada penggerakan, kehendak
melakukan tindak pidana timbul setelah diberikan, upaya: sarana,
kesempatan, dan keterangan. Sedangkan, pada pembantuan kehendak melakukan
tindak pidana telah ada jauh sebelum diberikanya bantuan berupa: sarana,
kesempatan, dan keterangan
2) Si penggerak, berkehendak atas
akibat tindak pidana yang digerakkan; sedangkan pembantu tidak sampai disitu
kehendaknya, tetapi hanya sekedar/sampai pada memperlancar saja. Sebab kalau
sudah sama kehendaknya berarti medeplegen.
Penyertaan diatur didalam pasal 55,
56, dan 57 KUHP.
Dalam pasal 55 KUHP bahwa klasifikasi
pelaku adalah :
1. Mereka yang melakukan
Yaitu
pelaku tindak pidana yang pada hakekatnya memenuhi semua unsur dari tindak
pidana. Dalam arti sempit, pelaku adalah mereka yang melakukan tindak pidana.
Sedangkan dalam arti luas meliputi keempat klasifikasi pelaku diatas yaitu
mereka yang melakukan perbuatan, mereka yang menyuruh melakukan, mereka yang
turut serta melakukan dan melereka yagn menganjurkan.
2. Mereka yang menyuruh melakukan
Yaitu
seseorang ingin melakukan suatu tundak pidana, akan tetapi ia tidak
melaksanakannya sendiri. Dia menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. dalam
penyertaan ini orang yang disuruh tidak akan dipidana, sedang orang yang
menyuruhnya dianggap sebagai pelakunya. Dialah yang bertanggungjawab atas
peristiwa pidana karena suruhannyalah terjadi suatu tindak pidana.
3. Mereka yang turut serta
Yaitu
mereka yang ikut serta dalam suatu tindak pidana. Terdapat syarat dalam bentuk
mereka yang turut serta, antara lain:
a. Adanya kerjasama secara sadar dari
setiap peserta tanpa perlu ada kesepakatan, tapi harus ada kesengajaan untuk
mencapai hasil berupa tindak pidana.
b. Ada kerja sama pelaksanaan secara
fisik untuk melakukan tindak pidana.
Setiap
peserta pada turut melakukann diancam dengan pidana yang sama.
4. Mereka yang menggerakkan/
menganjurkan/ membujuk
Yaitu
seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana, tetapi tidak
melakukannya sendiri, melainkan menggerakkan orang lain untuk melaksanakan
niatnya itu.
Syarat-syarat penggerakkan yang
dapat dipidana:
a. Ada kesngajaan menggerakkan orang
lain untuk melakukan tindak pidana.
b. Menggerakkan dengan upaya-upaya yang
ada dalam pasal 55 ayat (1) butir ke-2 KUHP : pemberian, janji, penyalahgunaan
kekuasaan atau pengaruh kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, memberi kesempatan,
alat, keterangan.
c. Ada yang tergerak untuk melakukan
tindak pidana akibat sengaja digerakkan dengan upaya-upaya dalam pasal 55 ayat
(1) butir ke-2 KUHP.
d. Yang digerakkan melakukan delik yang
dianjurkan atau percobaannya
e. Yang digerakkan dapat dipertanggungjawabkan
menurut hukum pidana
Klasifikasi
menurut pasal 56 dan 57 KUHP yaitu membantu melakukan yaitu dengan adanya
pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang didalam suatu tindak pidana. Ada
orang yang melakukan yaitu pelaku tindak pidana dan ada orang lain yang
membantu terlaksananya tindak pidana itu.[6]
1. Pembantuan
Dalam
pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang di dalam suatu tindak pidana.
Ada orang yang melakukan tindak pidana yakni pelaku tindak pidana itu dan ada
orang lain yang lagi membantu terlaksananya tindak pidan itu. Hal ini diatur
dalam pasal 56 KUHP, yang menyebutkan:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan
kejahatan:
a) Mereka yang dengan sengaja memberi
bantuan pada saat kejahatan yang dilakukan.
b) Mereka yang dengan sengaja memberi
kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dalam
hal membantu dalam delik pelanggaran tidak dipidana. Hal ini dipertegas dalam
pasal 60 KUHP. Membantu dalam delik pelanggaran tidak dipidana karena dianggap
demikan kecil kepentingan hukum yang dilanggar.
Melihat
pasal 56 diatas, pembantuan dapat dibedakan berdasarkan waktu diberikannya
suatu bantuan terhadap kejahatan, antara lain:
1. Apabila bantuan diberikan pada saat
kejahatan dilakukan, tidak dibatasi jenis bantuannya. Berarti jenis bantuan
apapun yang diberikan oleh orang yang membantu dalam suatu kejahatan dapat
dipidana.
2. Apabila bantuan diberikan sebelum
kejjahatan dilakukan, jenis bantuan dibatasi yaitu kesempatan, sarana, dan
keterangan.
Tentang
pertanggungjawaban pembantu termasuk ancaman pidananya termuat dalam pasal 57
KUHP yang berbunyi:
1. Dalam hal pembantuan, maksimum
pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiga.
2. Jika kejahatan diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.
3. Pidana tambahan bagi pembantuan sama
dengan kejahatannya sendiri.
4. Dalam menentukan pidana bagi
pembantu, yang diperhitungkna hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau
diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
Pertanggungjawaban
pembantu dibatasi hanya terhadap tindak pidana yang dibantunya saja. Apabila
dalam suatu peristiwa ternyata terjadi tindak pidana yang berlebih, maka tindak
pidana yang lebih tersebut bukan merupakan tanggung jawab pembantu. Kecuali
tindak pidana yang timbul tersebut merupakan akibat logis dari perbuatan yang
dibantunya.
Perbedaan antara pembantuan dan
turut serta, terdapat tiga teori, antara lain:
1. Teori Obyektif (de obyectieve
deelnenings theorie)
Untuk
membedakan antara turut serta dengan pembantuan dilihat dari sifat perbuatan
yang merupakan obyek tindak pidana. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang
menurut sifatnya adalah merupakan perbuatan yang dilarang undang-undang, maka
orang tersebut melakukan dalam bentuk “turut serta”. Sedangkan apabila orang
tersebut perbuatannya tidak bersifat tindak pidana, dia dianggap melakukan
“pembantuan”.
2. Teori Subyektif (de
subyectieve deelnemings theorie)
Dasar
teori ini adalah niat dari para peserta dalam suatu penyertaan. Di dalam
“turut serta” pelaku memang mempunyai kehendak terhadap terjadinya tindak
pidana. Sedangkan dalam “pembantuan” kehendak ditujukan kearah “memberi
bantuan” kepada orang yang melakukan tindak pidana.
Disamping
perbedaan kehendak, dalam “turut serta” pelaku mempunyai tujuan yang berdiri
sendiri. Apakah ia dibantu atau tidak tetap dia mempunyai tujuan melakukan
tindak pidana. Sedangkan dalam “pembantuan” tidak mempunyai tujuan yang berdiri
sendiri. Artinya tujuan disandarkan kepada tujuan sipelaku utama. Artinya
“pembantu” hanya memberikan bantuan apabila ia mengetahui ada orang lain yang
akan melakukan tindak pidana.
Dalam
hal kepentingan, peserta dalam “turut serta” mempunyai kepentingan dalam tindak
pidana, sedangkan “pembantuan” kepentingannya tidak langsung terhadap terjadinya
tindak pidana itu, tetapi terbatas atas bantuan yang diberikan.
3. Teori Gabungan (verenigings
theorie)
Artinya
dalam hal penerapan delik digunakan teori obyektif. Karena delik formil
melarang perbuatan seseorang. Sehingga tepat apabila digunakan teori obyektif.
Dalam delik materil digunakan teori subyektif. Karena lebih melihat akibat yang
dilarang undang-undang. Dengan digunakannya teori subyektif dapat dilihat
kehendak, tujuan serta kepentingan masing-masing peserta.
Dalam
membedakan antara “turut serta” dengan “pembantuan” di dalam praktek sering
dilihat apakah seseorang memenuhi syarat dari bentuk “turut serta” yakni
terdapat kesadaran kerja sama dan kerja sama itu secara fisik. Apabila memang
memenuhi syarat tersebut maka peserta itu diklasifikasikan sebagai “turut
serta”. Sedangkan apabila tidak memenuhi syarat diatas, peserta
diklasifikasikan sebagai “pembantuan”.
Perbedaan
antara “pembantuan” dengan “menggerakkan”, dapat dibedakan melalui kehendak
dari pelaku. Dalam bentuk “penggerakkan” kehendak untuk melakukan tindak
pidana baru timbul setelah ada daya upaya dari orang yang menggerakkan. Jadi
dimulai oleh penggerak dengan memberi daya upaya, barulah orang yang dapat
digerakkan mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana. Dalam hal “pembantuan”,
dimana dari semula dalam diri pelaku sudah ada kehendak untuk melakukan tindak
pidana. Pembantuan baru kemudian diberikan yang dapat berupa sarana, kesempatan
dan keterangan.
Pembantuan
pasif (passieve medeplichttigheid) bahwa terjadinya delik disebabkan
atas kewajiabn yang terdapat dalm peristiwa tersebut. Artinya orang yang
dianggap membantu terdapat kewajiban, dan kewajiban itu diabaikannya sehingga
timbul tindak pidana. Terdapat pula pembantuan pasif yang dianggap sebagai
delik yang berdiri sendiri, misalnya terdapat dalam pasal 110 ayat (2) KUHP
yang menyatakan “pidana yang sama dijatuhkan terhadap orang yang dengan maksud
hendak menyediakan atau memudahkan salah satu kejahatan yang disebut dalam
pasal 104, 106, dan 108,…. dst”. Dengan mempermudah terjadinya tindak pidana
yang disebutkan diatas, berarti telah dianggap membantu meskipun secara pasif.
Dan menurut pasal 110 KUHP diatas dianggap sebagai delik yang berdiri sendiri
dan diancam dengan pelaku pokoknya.
Saksi
mahkota juga erat kaitannya dengan penyertaan. Hal ini disebabkan “saksi
mahkota” adalah kesaksian seseorang yang sama-sama terdakwa. Dengan kata lain,
saksi mahkota terjadi apabila terdapat beberapa orang terdakwa dalam suatu
peristiwa tindak pidana. Dimana terdakwa akan menjafi saksi terhadap teman
pesertanya, sebalikanya, gilirannya terdakwa yang alin menjadi saksi untuk
teman peserta lainnya.[7]
Penyertaan diatur didalam pasal 55,
56, dan 57 KUHP. Dalam pasal 55 KUHP klasifikasi pelaku :
- Mereka yang melakukan yaitu pelaku tindak pidana yang
pada hakekatnya memenuhi semua unsur dari tindak pidana. Dalam arti
sempit, pelaku adalah mereka yang melakukan tindak pidana. Sedangkan dalam
arti luas meliputi keempat klasifikasi pelaku diatas yaitu mereka yang
melakukan perbuatan, mereka yang menyuruh melakukan, mereka yang turut
serta melakukan dan melereka yagn menganjurkan.
- Mereka yang menyuruh melakukan Yaitu seseorang ingin
melakukan suatu tundak pidana, akan tetapi ia tidak melaksanakannya
sendiri. Dia menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. dalam penyertaan
ini orang yang disuruh tidak akan dipidana, sedang orang yang menyuruhnya
dianggap sebagai pelakunya. Dialah yang bertanggungjawab atas peristiwa
pidana karena suruhannyalah terjadi suatu tindak pidana.
- Mereka yang turut serta yaitu mereka yang ikut serta
dalam suatu tindak pidana. Terdapat syarat dalam bentuk mereka yang turut
serta, antara lain: Adanya kerjasama secara sadar dari setiap peserta
tanpa perlu ada kesepakatan, tapi harus ada kesengajaan untuk mencapai
hasil berupa tindak pidana. Ada kerja sama pelaksanaan secara fisik untuk
melakukan tindak pidana. Setiap peserta pada turut melakukann diancam
dengan pidana yang sama.
- Mereka yang menggerakkan/ menganjurkan/ membujuk yaitu
seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana, tetapi
tidak melakukannya sendiri, melainkan menggerakkan orang lain untuk
melaksanakan niatnya itu. [8]
D. Pandangan Praktisi Hukum Pidana Mengenai Kriteria
Turut Melakukan (Medeplegen) dan Pembantuan (Medeplichtigheid)
Turut melakukan (medeplegen) dan pembantuan (medeplichtigheid) merupakan
bentuk atau wujud penyertaan (deelneming) yang dikandungan dalam Pasal
55 dan 56 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). Kedua bentuk ini tidak
begitu mudah untuk membedakannya, sebab undang-undang sendiri tidak membuat
penjelasan dan batasannya sehingga untuk memahami kedua hal tersebut diserahkan
kepada ilmu pengetahuan hukum pidana.
Kenyataannya baik dalam teori maupun dalam praktik,
kadang-kadang sangatlah sulit untuk menentukan batasan atau ukuran antara
perbuatan turut melakukan dan pembantuan, karena kedua bentuk ini hampir sama
sehingga diantara kalangan pakar hukum pidana atau para sarjana hukum pidana
mempunyai pemahaman atau penafsiran yang berbeda-beda satu sama lain.
Para ahli hukum pidana sendiri tidak mempunyai keseragaman
pendapat mengenai kriteria atau ukuran untuk menentukan yang mana perbuatan medeplegen dan
yang mana perbuatan medeplichtigheid.
Ada yang berpendapat bahwa, adanya persoalan medeplegen apabila
semua urusan delik harus dipenuhi. Terhadap pendapat ini banyak pakar hukum
yang tidak menyetujuinya dengan alasan bahwa kriteria semacam ini hanyalah
ditujukan terhadap pelaku utama, sehingga untuk medeplegen itu
tidak perlulah rumusan delik harus dipenuhi. Ada juga pandangan lain yang
mengatakan bahwa, ukuran perbuatan medeplegen itu harus ada
kerjasama yang disepakati terlebih dahulu. Pendapat yang sedikit lebih keras
mengatakan bahwa, tidak perlu ada kata sepakat atau perjanjian lebih dahulu
hanya yang penting adalah kerjasama yang disadari saat delik dilakukan.
Pandangan para ahli hukum pidana dan teori-teori
penyertaan yang ada dalam ilmu pengetahuan hukum pidana mengenai ukuran atau
batasan bentuk-bentuk penyertaan, tentu akan berpengaruh bagi pertimbangan para
praktisi hukum pidana dalam hal mengajukan rekisitor (requisitoir) bagi
penuntut umum, pembelaan (pleidooi) bagi pengacara dan putusan bagi
hakim. Seyogyanya requisitoir memuat pembuktian semua unsur-unsur delik yang
didakwakan dan juga memuat persepsi istilah-istilah hukum dari unur-unsur
tersebut. Penuntut umum dalam mengajukan requisitoir diharapkan
harus mampu memaparkan kepentingan-kepentingan umum yang diwakilinya, yaitu
kepentingan negara, begitupun juga pleidooi penasihat hukum
seyogyanya memuat hal-hal yang mungkin membebaskan/meringankan terdakwa, tetapi
sebelumnya, perlu pengamatan yang cermat terhadap perbuatan yang didakwakan
secara formil. Pleidooi sangat penting dalam upaya menegakkan
hukum karena dapat menambah masukan bagi hakim sebagai salah satu bahan
pengambilan putusan. Oleh karena itu, pleidooi itu diharapkan
agar dapat memuat rumusan-rumusan yang rasional berdasarkan fakta atau bukti
yang terungkap di persidangan.
Masalah hukum pidana yang berkaitan dengan deelneming,
khususnya menyangkut bentuk medeplegendan bentuk medeplichtigheid sampai
saat ini masih tetap menarik untuk dicermati baik secara teoritis maupun secara
praktis. Kedua bentuk penyertaan ini selalu aktual dan tetap dapat menyatu
dengan kejahatan-kejahatan apa saja. Segi kriminologi perbuatan turut melakukan
dan perbuatan pembantuan dianggap sama jahatnya, hanya bila dilihat dari sudut
pemidanaan maka perbuatan pembantuan dianggap lebih ringan peranannya daripada
perbuatan turut melakukan. Oleh karena itu, maka bagi orang yang dikualifisir
sebagai orang yang membantu melakukan delik kejahatan, ancaman pidananya adalah
pidana pokok dikurangi sepertiganya.
Lamintang mengemukakan bahwa, bentuk-bentuk deelneming atau
keturut sertaan yang ada menurut Pasal 55 dan 56 KUHP adalah :[9]
- Doen plegen atau menyuruh melakukan
atau yang di dalam doktrin juga sering disebut sebagai middellijk
daderschap;
- Medeplegen atau turut melakukan
ataupun yang di dalam doktrin juga sering disebut sebagaimededaderschap;
- Uitlokking atau menggerakkan orang lain,
dan
- Medeplichtigheid
Projodikoro mengemukakan bahwa, oleh dua pasal ini (Pasal 55
dan 56 KUHP) diadakan lima golongan peserta delik, yaitu :[10]
- Yang melakukan perbuatan (plegen, dader),
- Yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen,
middelijke dader),
- Yang turut melakukan perbuatan (medeplegen,
mededader),
- Yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken,
uitlokker),
- Yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn,
medeplichtige).
Marpaung mengemukakan bahwa,
berdasarkan Pasal 55 dan 56 KUHP terdapat lima peranan pelaku, yakni :[11]
- Orang yang melakukan.
- Orang yang menyuruh melakukan.
- Orang yang turut melakukan.
- Orang yang sengaja membujuk.
- Orang yang membantu melakukan.
Tampaknya walaupun para ahli hukum
pidana tersebut berbeda penggunaan istilah satu sama lain mengenai bentuk dan
jumlah bentuk penyertaan itu sendiri, akan tetapi pada dasarnya mereka semua
berada pada konteks yang sama, yaitu berlandaskan pada makna yang terkandung
dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.
Selanjutnya akan diketengahkan satu demi satu mengenai
bentuk-bentuk penyertaan yang dimaksud sebagai berikut :
Melakukan (plegen)
Secara umum dalam berbagai literatur hukum pidana yang ada,
dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan orang yang melakukan adalah pelaku (pleger)
itu sendiri. Pelaku dalam hal ini adalah orang yang perbuatannya memenuhi semua
unsur delik.
Menurut hemat penulis, membicarakan hal pelaku sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 55 KUHP haruslah tidak terlepas dengan konteks deelneming secara
utuh, artinya pelaku yang dimaksud dalam hal ini adalah pembuat delik yang
tidak sendiri menyelesaikan terjadinya delik. Keterlibatan dalam mewujudkan
delik dilakukan dengan kerjasama, hanya saja keterlibatannya ini atau bobot
perbuatannya lebih sempurna daripada pembuat delik yang lain, bahkan memenuhi unsur
delik, sedangkan para pembuat delik yang lain tidak demikian halnya, dapat
dikatakan peranannya tidak memenuhi unsur delik, hanya saja wujud perbuatannya
tetap merupakan satu kesatuan yang utuh dalam konteks kerjasama penyertaan.
·
Menyuruh
melakukan
Mudah di mengerti bahwa dalam hal menyuruh melakukan berarti
seseorang menyuruh orang lain melakukan perbuatan, artinya sipenyuruh tidak
melakukan sendiri perbuatan dimaksud. Dalam dunia ilmu hukum pidana, biasanya
orang yang menyuruh melakukan (doen pleger) tersebut sebagai
pelaku yang berada di belakang layar atau pelaku tidak langsung (manus
domina, onmiddelijke dader, intellectueele dader). Orang yang menyuru
melakukan inilah yang membuat sehingga orang lain melakukan delik. Sudah dengan
sendirinya kalau ada yang menyuruh, berarti ada yang disuruh. Orang yang
disuruh inilah yang melakukan delik, yang biasa juga disebut pelaku langsung
atau pelaku materiil (manus ministra, middelijke dader, materiele dader),
orang yang disuruh itu hanyalah merupakan alat bagi orang yang menyuruh.
Turut melakukan (medeplegen)
KUHP sendiri tidak memberikan defenisi atau pengertian
mengenai turut melakukan (medeplegen) itu, karenanya menyangkut hal ini
diserahkan kepada ilmu pengetahuan hukum pidana saja.
Dikemukan oleh Sianturi bahwa, medeplegen juga
diterjemahkan sebagai mereka yang bersama-sama orang lain melakukan suatu
tindakan. Dalam bentuk ini jelas bahwa subyeknya paling sedikit dua orang.[12]
Samosir mengemukakan
bahwa, apabila seseorang melakukan tindak pidana tanpa orang lain, pada umumnya
disebut sebagai pelaku (dader), tetapi apabila beberapa orang secara
bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, maka setiap yang terlibat
(partisipator) dalam tindak pidana tersebut di pandang sebagai peserta (mededader).[13]
Mencermati pendapat-pendapat yang telah dipaparkan di atas,
dapatlah di mengerti ternyata para ahli hukum pidana berbeda-beda pemahaman
mengenai makna atau pengertian medeplegen tersebut.
Ada kalangan yang menekankan bahwa dalam medeplegen itu
tiap orang pembuat haruslah sengaja melakukan delik, ada pula yang memahami
bahwa medeplegen itu terdiri atas beberapa orang secara
bersama-sama melakukan suatu delik dan setiap peserta dipandang sebagai yang
turut melakukan dari peserta lainnya. Pandangan yang lain menekankan pada
adanya peranan kerjasama yang seimbang antara pembuat delik yang satu dengan
pembuat delik yang lain, dalam hal ini yang dilihat adalah sisi peran secara
fisik. Pemahaman pakar hukum pidana yang lain menekankan bahwa medeplegen itu
artinya suatu kesepakatan antara pembuat untuk mewujudkan delik yang dilakukan
secara bersama-sama (kerjasama).
Menggerakkan untuk melakukan (uitlokking)
Mengenai istilah ini, para pakar hukum pidana saling berbeda
satu sama yang lain dalam penggunaanya. Ada yang menggunakan uitlokken dengan
istilah membujuk melakukan, dan ada pula yang menggunakannya dengan istilah
menganjurkan serta ada juga dengan istilah menggerakkan.
Sianturi menerjemahkan uitlokking dengan
mereka yang menggerakan untuk melakukan suatu tindakan dengan daya upaya
tertentu. Lebih lanjut diketengahkan oleh Sianturi, bahwa bentuk penyertaan
penggerakkan mirip dengan bentuk penyertaan menyuruh melakukan. Perbedaannya
ialah, bahwa pada bentuk penyertaan menyuruh melakukan terdapat
syarat-syarat:[14]
Peserta yang disuruh
(manus minisrta) adalah peserta yang tidak dapat dipidana; Bahwa
daya-upaya pada penyuruh (manus domina), tidak dirumuskan secara
limitatif.
Sedangkan syarat-syarat pada penyertaan penggerakkan adalah :
- Yang menggerakkan (materiele/fisike
dader) dapat dipidana karena melakukan suatu tindak pidana seperti
halnya penggerak (auctor intellectualis) dapat dipidana karena
menggerakkan;
- Daya upaya yang digunakan
penggerak dirumuskan secara limatif.
Menurut Samosir bahwa berdasarkan rumusan Pasal 55 ayat (1) sub 2 KUHP
unsur-unsur menggerakkan itu terdiri atas :[15]
- Mempergunakan cara-cara
tertentu,
- Orang yang dipergunakan itu
mempunyai opzet (sengaja), untuk melakukan sesuatu tindak
pidana,
- Karena orang yang digerakkan
itu mempunyai opzet (sengaja) maka yang bersangkutan
dapat dipertanggungjawabkan dari sudut hukum pidana.
Satochid Kartanegara mengutarakan arti “uitlokking”adalah
setiap perbuatan yang menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan
terlarang dengan mempergunakan cara, daya upaya sebagaimana yang ditentukan
Pasal 55 ayat (1) ke-2.[16]
Pembantuan (Medeplichtigheid)
Medeplichtige oleh Utrecht diterjemahkan dengan membantu, oleh
Satochid Kartanegara diterjemahkan dengan membantu melakukan, olehTirtaamidjaja
diterjemahkan dengan membantu melakukan pelanggaran pidana, oleh P.A.F
Lamintang diterjemahkan dengan membantu melakukan tindak pidana.[17]
Menurut Moeljanto bahwa, ada pembantuan apabila dua orang
atau lebih sebagai:[18]
- Pembuat (de hoofd dader)
- Pembantu (de medeplichtige)
Lebih lanjut di kemukakan Moeljatno bahwa, dengan sengaja
membantu orang lain melakukan suatu kejahatan, dibedakan atas dua macam yaitu
pembantuan pada waktu dilakukan kejahatan tanpa daya tertentu, dan pembantuan
yang mendahului melakukan kejahatan dengan daya upaya memberi kesempatan,
sarana atau keterangan-keterangan. Pembantuan dalam bentuk dengan sengaja
membantu pada waktu kejahatan dilakukan hampir mirip dengan bentuk turut serta
melakukan. Inti pembantuan bahwa orang yang membantu hanya melakukan peranan
yang tidak penting, sedangkan inti turut serta melakukan bahwa orang yang turut
serta ada kerjasama yang erat antara mereka yang melakukan perbuatan pidana.[19]
Dikalangan akademik kerap didengar dengan sebutan “lain
teori lain pula praktik”. Sebutan ini memang tidak dapat disangkal, sebab
berkembangnya suatu ilmu justru berlandaskan pada kedua istilah terssebut.
Dapat dikatakan bahwa secara teori saja para ahli hukum
pidana berlainan pendapat satu sama lain mengenai kriteria medeplegen dan medeplichtighid,
tentu dapat dibayangkan bagaimana halnya dalam praktik.
Mencermati bagaimana pandangan praktisi hukum pidana
mengenai kriteria turut melakukan (medeplegen) dan pembantuan (medeplichtigheid)
di dalam praktik, bukanlah merupakan persoalan sederhana melainkan sebaliknya
sebab hal di maksud berkaitan erat dengan tanggapan (penerimaan) atau serapan
langsung oleh masing-masing para praktisi hukum pidana itu sendiri. Dalam
rangka penyelesaian kasus inconcreto yang melibatkan modus deelneming, para
praktisi hukum pidana dituntut agar mampu mengkualifisir para pembuat delik
apakah sebagai medepleger ataukah sebagai medeplichtige.
Menjadi problema bahwa di dalam undang-undang hukum pidana sendiri tidak
membuat suatu kriteria atau batasan secara defenitif antara medeplegen dan medeplichtighed,
sehingga para praktisi hukum pidana sebagai petugas-petugas hukum atau sebagai
organ pengadilan diharapkan mampu mengimplementasikan teori-teori penyertaan
yang dianutnya. Persoalan lain yang muncul dalam praktik bahwa, para praktisi
hukum pidana itu sendiri terdiri atas polisi, penuntut umum, hakim dan
pengacara yang berada pada lembaga masing-masing. Dalam hal ini, walaupun
semuanya berada dalam naungan satu sistem, yaitu sistem peradilan pidana, akan
tetapi pemahaman dan penafsiran mereka tentang suatu perkara yang
bermodus deelneming akan berbeda-beda satu sama lain, dan
memang memungkinkan untuk itu sesuai dengan tingkatan dan fungsi masing-masing
sebagaimana diberi tugas untuk melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa
hukum yang konkret.
Sebagaimana halnya dengan para ahli hukum pidana atau para
teoritis yang terkemuka, tampaknya para praktisi hukum pidana mengakui pula
bahwa di dalam praktikpun pada kasus-kasus tertentu tidak mudah membedakan
perbuatan-perbuatan para pembuat delik yang bagaimana dapat dikategorikan
sebagai orang yang turut melakukan dan seberapa besar bobot perbuatan atau
peranan para pembuat delik untuk mewujudkan delik dapat dikualifisir sebagai
orang yanng membantu melakukan.
Pandangan para praktisi hukum pidana ternyata juga
berbeda-beda, disamping ada juga persamaannya mengenai kriteria medeplegen dan medeplichtigheid tersebut.
Di kalangan penyidik (polisi), sebagai langkah awal untuk melakukan pemeriksaan
terhadap para pembuat delik yang bernuansa deelneming di dalam
pikiran mereka senantiasa ditanamkan praduga bahwa walaupun pelaku delik
terdiri atas beberapa orang, akan tetapi tidak semua pembuat delik itu
mengambil bagian yang sama tentu ada perbedaan tindakan atau keterlibatan dalam
mewujudkan delik, selanjutnya pihak penyidik akan menggolongkan siapa yang
berposisi sebagai orang yang melakukan, orang yang turut melakukan dan
sebagainya. Kendatipun demikian, namun untuk menggolongkan siapa sebagai orang
yang turut melakukan atau siapa-siapa sebagai orang yang membantu ternyata
tetap saja dianggap cukup rumit, apalagi hal ini digolongkan berdasarkan pada
teori, sehingga semuanya itu dilihat secara kasuistis.
Dalam hubungan dengan peristiwa-peristiwa inconcreto yang
bermodus deelneming, di kalangan penyidik dikenal pula penggolongan
dan istilah-istilah teknis kepolisian yang relatif dianggap sama sekalipun
sering tumpangtindih dengan penggolongan dan istilah-istilah yang ditentukan
dalam KUHP, misalnya istilah “geng” atau “kelompok yang bersifat kriminologis”’
dapat dikaitkan dangan istilah “bersama-sama melakukan” atau turut melakukan
dan membantu melakukan” dalam lingkungan hukum pidana. Hal ini tentu
berpengaruh terhadap perlakuan (treatment) pada kriminal, dalam arti
walaupun dalam Berita Acara pemeriksaan (BAP), Pasal-Pasal 55 dan 56 KUHP
dijadikan rujukan, akan tetapi perlakuan terhadap tersangka relatif sama tanpa
membedakan status kriminal masing-masing, misalnya teknik interogasi terhadap medepleger dan medeplichtige relatif
sama karena yang dikejar dalam hal ini ialah “pembuktian kasus dan bukan status
pelaku”.
Untuk menghindari kesulitan yang mungkin timbul dalam rangka
pemilah-milahan para pembuat delik, pihak penyidik menempuh cara, yaitu kasus
di split, memperhatiakan kontrol atasan, koordinasi dengan pihak kejaksaan
(penuntut umum). Demikian juga pasal-pasal yang disangkakan dan Pasal 55 dan
56 KUHP sekaligus dijadikan alternatif persangkaan. Hal ini di maksudkan
agar para tersangka tetap terjaring.
Begitupun juga kalangan penuntut umum, dalam rangka
penuntutan yang berkaitan dengan kasus-kasus penyertaan senantiasa diajukan
dakwaa-dakwaan alternatif sebagai penjaring agar terdakwa kemungkinan
tidak lolos dari jeratan hukum. Untuk itu Pasal 55 KUHP selalu dijadikan
rujukan sebagai dasar pembuktian dakwaan primair, sedangkan Pasal 56 KUHP
dijadikan sebagai dasar pembuktian dakwaan subsidair.
Menurut pandangan para praktisi hukum pidana tidak ada
satu syarat yang mutlak untuk menentukan kriteria medeplegen dan medeplichtigheid.
Semuanya tergantung pada kasus- kasus yang konkret atau harus dilihat pada
peristiwa-peristiwa inconcreto, sebab situasi yang melingkari
keadilan tidak sama dalam setiap kasus, kasus yang satu dengan kasus yang lain
tentu tidak mutlak sama. Jadi, pada kasus-kasus tertentu mungkin akan dilihat
pada wujud atau luasnya tindakan, dan pada kasus lain mungkin pula akan
ditekankan pada tindakan para pembuat delik, apakah tindakan itu langsung
berhubungan dengan rumusan delik atau tidak. Bagaimana peranan sipembuat delik,
apakah menyentuh unsur delik atau tidak, dan apakah ada kerjasama yang disadari
saat delik dilakukan atau tidak, semuanya ini tentu membutuhkan kriteria yang
bervariasi.
Pandangan praktisi hukum pidana mengenai kriteria medeplegen cukup
bervariasi satu sama lain. Pandangan penyidik (polisi) tampak berbeda dengan
penuntut umum (jaksa), begitupun pandangan hakim dengan pengacara atau penuntu
umum dengan hakim dan pengacara serta penyidik secara timbal balik. Di dalam
praktik dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus yang konkret, para praktisi
hukum pidana senantiasa dipengaruhi oleh tugas dan fungsinya masing-masing.
Pada umumnya praktisi hukum pidana mengakui bahwa
untuk menentukan batas antara medeplegendengan medeplichtigheid sungguh
tidak mudah, karena dalam kasus-kasus tertentu atau pada peristiwainconcreto kedua
bentuk penyertaan ini hampir tidak dapat dibedakan. Oleh karena itu, di dalam
praktik senantiasa dicermati dengan seksama berdasarkan pada kasuistis
Dapat dikemukakan bahwa, para praktisi hukum pidana sangat
menyadari bahwa tidak semua para pembuat delik, peranan pembuat yang satu
mungkin jauh berbeda dengan peranan pembuat yang lain, baleh jadi
tindakan-tindakan atau bobot perbuatan atau keterlibatan-keterlibatan para
pembuat delik berbeda-beda satu sama lain. Begitu pua situasi yang melingkari
keadilan dalam kasus-kasus bermodusdeelneming tentu juga mungkin
tidak sama, sikap bathin antara pembuat delik saat mewujudkan delik terjadinya
delik juga tidak jelas sama, sehingga dengan adanya hal-hal dan situasi-situasi
yang demikian kompleks, tentu akan mempengaruhi perspektif para praktisis
hukum pidana untuk menentukan batasan antara kedua bentuk penyertaan
dimaksud.
Kendatipun para praktisi hukum pidana mengalami kesulitan
untuk menentukan batasan antara bentukmedeplegen dan medeplichtigheid,
namun dalam rangka menyelesaikan kasus yang diproses, praktisi hukum pidana
mengambil referensi pada teori-teori penyertaan yang ada atau merujuk pada
pendapat ahli hukum pidana yang mengemukan.
Dalam literaturr-literatur hukum pidana yang ada, pada
umumnya para teoritis menentukan batasmedeplegen dan medeplichtigheid hanya
terletak pada adanya tindakan pelaksanaan dan perbuatan persiapan oleh para
pembuat delik. Dalam praktik, batasan ini pun sangat sangat oleh kalangan
praktisi hukum pidana, bahkan mencapai persentase tertinggi. Hanya saja
ternyata, masih ada di antara para praktisi hukum pidana yang menentukan masih
ada dua batasan medeplegen dan medeplichtigheid.[20]
[1]
Abdoel Djamali R, Pengantar Hukum
Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 17
[3] M Yahya
Harahap, Pembahasan, Permasalahan, dan
Penerapan KUHP, Edisi Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h. 91
[6] Moeljatno,
KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Cet 27, (Jakarta : Bumi
Aksara, 2008), h. 75
[8] Projodikoro,
Wirjono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, (Bandung :
Refika Aditama, 2003), h. 301
[11]
Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h.94
[12]
S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di
Indonesia Dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1986), h. 344
[13]D Samosir, Pertanggungjawaban
Pidana Dihubungkan Dengan Keturutsertaan, (Majalah Hukum Triwulan,
Tahun XIII No.4. Oktober, 1995), h. 66
[14] S.R Sianturi,
Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, (Jakarta, 1986),
h. 350-351
[20]Moh.
Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cet. 11, (Jakarta
: Ichtiar Baru, 1983), h. 318
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Djamali,
R. Abdoel. Pengantar Hukum Indonesia. Edisi Revisi. (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010)
Djindang, Moh.
Saleh. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. cet. 11, (Jakarta : Ichtiar
Baru, 1983)
Hamzah,
Andi. Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi. (Jakarta : Rineka
cipta, 2008)
Harahap,
M. Yahya. Pembahasan, Permasalahan, dan
Penerapan KUHP. Edisi Kedua. (Jakarta : Sinar Grafika, 2006)
Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia. (Bandung: Sinar Baru,1984
Lamintang,
P.A.F. Hukum Penitensier Indonesia. (Bandung : Armico, 1984)
Marpaung. Unsur-Unsur Perbuatan
Yang Dapat Dihukum (Delik). (Jakarta: Sinar Grafika, 1991)
Mertokusumo,
Sudikno. Bunga Rampai Ilmu Hukum. (Yogyakarta: Liberty, 2010)
Moeljatno. Hukum Pidana
Delik-delik Penyertaan. (Jakarta: Bina Aksara, 1985)
Moeljatno. KUHP
: Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Cet 27. (Jakarta : Bumi
Aksara, 2008)
Muladi
& Barda Nawawi Arief. Teori-teori Dan Kebijakan Pidana.
(Bandung: ALUMNI, 2005)
Prodjodikoro, W. Asas-Asas
Hukum Pidana Di Indonesia. (Jakarta: P.T.Eresco, 1981)
Projodikoro,
Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. (Bandung :
Refika Adiatama, 2003)
Samosir, D. Pertanggungjawaban
Pidana Dihubungkan Dengan Keturutsertaan. (Majalah Hukum Triwulan, Tahun XIII
No.4. Oktober, 1995)
Sianturi, S.R. Asas-Asas Hukum
Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. (Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem,
1986)
Sugandhi,
R. KUHP Dan Penjelasannya. (Surabaya : Usaha Nasional,
1981)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar