Laman

Minggu, 17 November 2013

Keturutsertaan Dalam Membiarkan Pidana

  1. Pengertian Pelaku Tindak Pidana
Yang dimaksud pelaku tindak pidana (Dader) menurut doktrin adalah barang siapa yang melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur tersebut dirumuskan didalam undang-undang menurut KUHP sebagaimana diatur dialam pasal 55 KUHP (1), bahwa pelaku tindak pidana itu dapat dibagi dalam 4 (empat) golongan:
1.     Orang yang melakukan sendiri tindak pidana (plegen) Yaitu orang tersebut melakukan tindak pidana sendirian tidak ada temannya
2.     Orang yang menyuruh orang lain untuk melakukan tindak pidana (doen plegen)
Yaitu seseorang yang menyuruh orang lain melakukan tindak pidana, yang mana orang disuruh melakukan tindak pidana tersebut tidak mampu bertanggung jawab sehingga dalam hal ini orang yang menyuruh dapat di pidana sedangkan orang yang disuruh tidak dapat dipidana
3.     Orang yang turut melakukan tindak pidana (mede plegen) KUHP tidak memberikan rumusan secara tegas siapa saja yang dikatakan turut melakukan tindak pidana, sehingga dalam hal ini menurut doktrin untuk dapat dikatakan turut melakukan tindak pidana haru memenuhi dua syarat ;
a.     Harus adanya kerjasama secara fisik
b.    Harus ada kesadaran bahwa mereka satu sama lain bekerjasama untuk melakukan tindak pidana
             4.   Orang yang dengan sengaja membujuk atau menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana (uit lokken)

Syarat-syarat uit lokken ;
a.     Harus adanya seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana
b.    Harus ada orang lain yang digerakkan untuk melakukan tindak pidana
c.     Cara menggerakan harus menggunakan salah satu daya upaya yang tersebut didalam pasal 55(1) sub 2e (pemberian,perjanjian, ancaman, dan lain sebagainya)
d.    Orang yang digerakan harus benar-benar melakkan tindak pidana sesuai dengan keinginan orang yang menggerakan
Ditinjau dari sudut pertanggung jawabannya maka pasal 55(1) KUHP tersebut di atas kesemua mereka adalah sebagai penanggung jawab penuh, yang artinya mereka semua diancam dengan hukuman maksimum pidana pokok dari tindak pidana yang dilakukan.[1]

  1. Pengertian Penyertaan/Turut Serta
Secara umum penyertaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan lebih dari satu orang. Kata penyertaan (deelneming) berarti turut sertanya seseorang atau lebih pada waktu seseorang lain melakukan tindak pidana.
Pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta atau terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana.[2]
Dasar hukum penyertaan telah diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Ketentuan pidana dalam Pasal 55 KUHP menurut rumusannya berbunyi :
(1)         Dihukum sebagai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana, yaitu:
1.        Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan atau yang turut melakukan.
2.        Mereka yang dengan pemberian-pemberian, janji-janji, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan kesalahpahaman atau dengan memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-keterangan, dengan sengaja telah menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana yang bersangkutan.
(2)  Mengenai mereka yang disebutkan terakhir ini, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada mereka itu hanyalah tindakan-tindakan yang dengan sengaja telah mereka gerakkan untuk dilakukan oleh orang lain, berikut akibat-akibatnya.
Sedangkan ketentuan pidana dalam Pasal 56 KUHP menurut rumusannya berbunyi:
1.   Mereka yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan tersebut.
2.   Mereka yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut.
Menurut KUHP yang dimaksud dengan turut serta melakukan adalah setiap orang yang sengaja berbuat (meedoet) dalam melakukan suatu tindak pidana.
Pada mulanya yang disebut dengan turut berbuat itu ialah bahwa masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang sama-sama memenuhi semua rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Seperti, dua orang A dan B mencuri sebuah televisi di sebuah rumah, di mana mereka berdua sama-sama masuk melalui jendela yang tidak terkunci dan sama-sama pula mengangkat televisi tersebut ke dalam mobil yang berada di pinggir jalan. Pada contoh ini, perbuatan A dan B sama-sama mengangkat televisi jelas perbuatan mereka telah sama-sama memenuhi rumusan tindak pidana.[3]
Menurut Van Hamel mengatakan bahwa:[4]
Suatu medeplegen itu hanya dapat dianggap sebagai ada, yaitu apabila tindakan tiap-tiap peserta di dalam suatu tindak pidana dapat dianggap sebagai telah menghasilkan suatu daderschap secara sempurna.
Hoge Raad dalam arrestnya telah meletakkan dua kriteria tentang adanya bentuk pembuat peserta, yaitu : “yang pertama antara para peserta ada kerja sama yang diinsyafi dan yang kedua yaitu para peserta telah sama-sama melaksanakan tindak pidana yang dimaksudkan”.
Sehubungan dengan dua syarat yang diberikan oleh Roge Raad di atas, maka arah kesengajaan bagi pembuat peserta ditujukan pada dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu :
1)   Kesengajaan yang ditujukan dalam hal kerjasamanya untuk mewujudkan tindak pidana.
2)   Kesengajaan yang ditujukan dalam hal mewujudkan perbuatannya menuju penyelesaian tindak pidana. Di sini kesengajaan pembuat peserta adalah sama dengan kesengajaan pembuat pelaksana, ialah sama-sama ditujukan pada penyelesaian tindak pidana.
Kerjasama yang diinsyafi adalah suatu bentuk kesepakatan atau suatu kesamaan kehendak antara beberapa orang (pembuat peserta dan pembuat pelaksana) untuk mewujudkan suatu tindak pidana secara bersama. Di dalam keinsyafan kerjasama ini terdapat kehendak yang sama kuat yang ditujukan pada penyelesaian tindak pidana. Pembuat peserta mempunyai kepentingan yang sama dengan pembuat pelaksana untuk terwujudnya tindak pidana. Kerjasama yang diinsyafi tidak perlu berupa permufakatan yang rapi dan formal yang dibentuk sebelum pelaksanaan, tetapi cukup adanya saling pengertian yang sedemikian rupa antara mereka dalam mewujudkan perbuatan yang satunya terhadap perbuatan yang lainnya ketika berlangsungnya pelaksanaan.
Mengenai mereka bersama-sama telah melaksanakan tindak pidana terkandung makna bahwa wujud perbuatan masing-masing antara pembuat peserta dengan pembuat pelaksana tidak perlu sama, yang penting wujud perbuatan pembuat peserta itu sedikit atau banyak terkait dan mempunyai hubungan dengan perbuatan yang dilakukan pembuat pelaksana dalam mewujudkan tindak pidana.
  1. Teori Penyertaan
Teori Penyertaan Tindak Pidana Penyertaan (deelneming) terjadi apabila dalam suatu tindak pidana terlibat lebih dari satu orang. Sehingga harus dicari pertanggung jawaban masing-masing orang yang tersangkut dalam tindak pidana tersebut. Keterlibatan seseorang dalam suatu tindak pidana dapat dikategorikan sebagai:
  1. Yang melakukan
  2. Yang menyuruh melakukan
  3. Yang turut melakukan
  4. Yang menggerakkan/ menganjurkan untuk melakukan
  5. Yang membantu melakukan
1).   Teori Subyektif
Teori yang berdasarkan kepada niat/maksud/kehendak ini, menegaskan bahwa pada medeplegen ; niat orang yang ikut serta sama dengan niat orang yang melakukan. Pada pembantunya niat orang yang membantu hanya terbatas mempermudah perbuatan orang yang melakukan atau orang yang dibantu. Tegasnya, jika niat orang yang ikut serta tersebut sama dengan niat orang yang melakukan, maka itulah medeplegen. Sedangkan niat orang yang ikut tersebut, hanya sekedar mempermudah terjadinya kejahatan maka itulah pembantuan.
2).   Teori Obyektif
Teori yang didasarkan kepada sifat perbuatan ini, menegaskan : jika seseorang ikut serta tersebut melakukan perbuatan yang sifatnya dilarang uu maka perbuatan orang tersebut adalah ikutserta/medeplegen. Namun bila perbuatan orang tersebut bukanlah perrbuatan yang dilarang dalam uu maka orang tersebut adalah membantu.
3).   Teori Gabungan
Merupakan gabungan antra teori subyektif dan teory obyektif. Teori ini muncul karena menurut pencetusnya teori subyektif dan teori obyektif terlalu sempit dan sepihak. Sesuai dengan pembagian tindak pidana yakni tindak pidana formil dan tindak pidana materiil, maka menurut teori ini bagi tindak pidana formil (perbuatan yang dilarang) digunakan teori obyktif. Sedangkan bagi pidana materiil (akibat yang dilarang) digunaka teori subyktif.[5]
Dalam Praktek/Peradilan, untuk membedakan antara ikut serta dan membantu, dilihat bilamana dalam kebersamaan melakukan kejahatan tersebut telah memenuhi syarat ikut serta, maka hal tersebut adalah medeplegen. Bila tidak memenuhi syarat maka pembantuan. Demikian pula terjadi persamaan antara uitloking dan pembantuan jenis ke dua. Adapun yang dimaksud yaitu mengenai :
1) Pada penggerakan, kehendak melakukan tindak pidana timbul setelah diberikan, upaya:  sarana, kesempatan, dan keterangan. Sedangkan, pada pembantuan kehendak melakukan tindak pidana telah ada jauh sebelum diberikanya bantuan berupa: sarana, kesempatan, dan keterangan
2) Si penggerak, berkehendak atas akibat tindak pidana yang digerakkan; sedangkan pembantu tidak sampai disitu kehendaknya, tetapi hanya sekedar/sampai pada memperlancar saja. Sebab kalau sudah sama kehendaknya berarti medeplegen.
Penyertaan diatur didalam pasal 55, 56, dan 57 KUHP.
Dalam pasal 55 KUHP bahwa klasifikasi pelaku adalah :
1. Mereka yang melakukan
Yaitu pelaku tindak pidana yang pada hakekatnya memenuhi semua unsur dari tindak pidana. Dalam arti sempit, pelaku adalah mereka yang melakukan tindak pidana. Sedangkan dalam arti luas meliputi keempat klasifikasi pelaku diatas yaitu mereka yang melakukan perbuatan, mereka yang menyuruh melakukan, mereka yang turut serta melakukan dan melereka yagn menganjurkan.
2. Mereka yang menyuruh melakukan
Yaitu seseorang ingin melakukan suatu tundak pidana, akan tetapi ia tidak melaksanakannya sendiri. Dia menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. dalam penyertaan ini orang yang disuruh tidak akan dipidana, sedang orang yang menyuruhnya dianggap sebagai pelakunya. Dialah yang bertanggungjawab atas peristiwa pidana karena suruhannyalah terjadi suatu tindak pidana.
3. Mereka yang turut serta
Yaitu mereka yang ikut serta dalam suatu tindak pidana. Terdapat syarat dalam bentuk mereka yang turut serta, antara lain:
a.       Adanya kerjasama secara sadar dari setiap peserta tanpa perlu ada kesepakatan, tapi harus ada kesengajaan untuk mencapai hasil berupa tindak pidana.
b.      Ada kerja sama pelaksanaan secara fisik untuk melakukan tindak pidana.
Setiap peserta pada turut melakukann diancam dengan pidana yang sama.
4. Mereka yang menggerakkan/ menganjurkan/ membujuk
Yaitu seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana, tetapi tidak melakukannya sendiri, melainkan menggerakkan orang lain untuk melaksanakan niatnya itu.
Syarat-syarat penggerakkan yang dapat dipidana:
a.       Ada kesngajaan menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana.
b.      Menggerakkan dengan upaya-upaya yang ada dalam pasal 55 ayat (1) butir ke-2 KUHP : pemberian, janji, penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, memberi kesempatan, alat, keterangan.
c.       Ada yang tergerak untuk melakukan tindak pidana akibat sengaja digerakkan dengan upaya-upaya dalam pasal 55 ayat (1) butir ke-2 KUHP.
d.      Yang digerakkan melakukan delik yang dianjurkan atau percobaannya
e.       Yang digerakkan dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana
Klasifikasi menurut pasal 56 dan 57 KUHP yaitu membantu melakukan yaitu dengan adanya pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang didalam suatu tindak pidana. Ada orang yang melakukan yaitu pelaku tindak pidana dan ada orang lain yang membantu terlaksananya tindak pidana itu.[6]
1. Pembantuan
Dalam pembantuan akan terlibat lebih dari satu orang di dalam suatu tindak pidana. Ada orang yang melakukan tindak pidana yakni pelaku tindak pidana itu dan ada orang lain yang lagi membantu terlaksananya tindak pidan itu. Hal ini diatur dalam pasal 56 KUHP, yang menyebutkan:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan kejahatan:
a)      Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada saat kejahatan yang dilakukan.
b)      Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dalam hal membantu dalam delik pelanggaran tidak dipidana. Hal ini dipertegas dalam pasal 60 KUHP. Membantu dalam delik pelanggaran tidak dipidana karena dianggap demikan kecil kepentingan hukum yang dilanggar.
Melihat pasal 56 diatas, pembantuan dapat dibedakan berdasarkan waktu diberikannya suatu bantuan terhadap kejahatan, antara lain:
1.      Apabila bantuan diberikan pada saat kejahatan dilakukan, tidak dibatasi jenis bantuannya. Berarti jenis bantuan apapun yang diberikan oleh orang yang membantu dalam suatu kejahatan dapat dipidana.
2.      Apabila bantuan diberikan sebelum kejjahatan dilakukan, jenis bantuan dibatasi yaitu kesempatan, sarana, dan keterangan.
Tentang pertanggungjawaban pembantu termasuk ancaman pidananya termuat dalam pasal 57 KUHP yang berbunyi:
1.      Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan dikurangi sepertiga.
2.      Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
3.      Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.
4.      Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkna hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
Pertanggungjawaban pembantu dibatasi hanya terhadap tindak pidana yang dibantunya saja. Apabila dalam suatu peristiwa ternyata terjadi tindak pidana yang berlebih, maka tindak pidana yang lebih tersebut bukan merupakan tanggung jawab pembantu. Kecuali tindak pidana yang timbul tersebut merupakan akibat logis dari perbuatan yang dibantunya.
Perbedaan antara pembantuan dan turut serta, terdapat tiga teori, antara lain:
1. Teori Obyektif (de obyectieve deelnenings theorie)
Untuk membedakan antara turut serta dengan pembantuan dilihat dari sifat perbuatan yang merupakan obyek tindak pidana. Apabila seseorang melakukan perbuatan yang menurut sifatnya adalah merupakan perbuatan yang dilarang undang-undang, maka orang tersebut melakukan dalam bentuk “turut serta”. Sedangkan apabila orang tersebut perbuatannya tidak bersifat tindak pidana, dia dianggap melakukan “pembantuan”.
2. Teori Subyektif (de subyectieve deelnemings theorie)
Dasar teori ini adalah  niat dari para peserta dalam suatu penyertaan. Di dalam “turut serta” pelaku memang mempunyai kehendak terhadap terjadinya tindak pidana. Sedangkan dalam “pembantuan” kehendak ditujukan kearah “memberi bantuan” kepada orang yang melakukan tindak pidana.
Disamping perbedaan kehendak, dalam “turut serta” pelaku mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Apakah ia dibantu atau tidak tetap dia mempunyai tujuan melakukan tindak pidana. Sedangkan dalam “pembantuan” tidak mempunyai tujuan yang berdiri sendiri. Artinya tujuan disandarkan kepada tujuan sipelaku utama. Artinya “pembantu” hanya memberikan bantuan apabila ia mengetahui ada orang lain yang akan melakukan tindak pidana.
Dalam hal kepentingan, peserta dalam “turut serta” mempunyai kepentingan dalam tindak pidana, sedangkan “pembantuan” kepentingannya tidak langsung terhadap terjadinya tindak pidana itu, tetapi terbatas atas bantuan yang diberikan.
3. Teori Gabungan (verenigings theorie)
Artinya dalam hal penerapan delik digunakan teori obyektif. Karena delik formil melarang perbuatan seseorang. Sehingga tepat apabila digunakan teori obyektif. Dalam delik materil digunakan teori subyektif. Karena lebih melihat akibat yang dilarang undang-undang. Dengan digunakannya teori subyektif dapat dilihat kehendak, tujuan serta kepentingan masing-masing peserta.
Dalam membedakan antara “turut serta” dengan “pembantuan” di dalam praktek sering dilihat apakah seseorang memenuhi syarat dari bentuk “turut serta” yakni terdapat kesadaran kerja sama dan kerja sama itu secara fisik. Apabila memang memenuhi syarat tersebut  maka peserta itu diklasifikasikan sebagai “turut serta”. Sedangkan apabila tidak memenuhi syarat diatas, peserta diklasifikasikan sebagai “pembantuan”.
Perbedaan antara “pembantuan” dengan “menggerakkan”, dapat dibedakan melalui kehendak dari pelaku. Dalam bentuk “penggerakkan” kehendak untuk  melakukan tindak pidana baru timbul setelah ada daya upaya dari orang yang menggerakkan. Jadi dimulai oleh penggerak dengan memberi daya upaya, barulah orang yang dapat digerakkan mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana. Dalam hal “pembantuan”, dimana dari semula dalam diri pelaku sudah ada kehendak untuk melakukan tindak pidana. Pembantuan baru kemudian diberikan yang dapat berupa sarana, kesempatan dan keterangan.
Pembantuan pasif (passieve medeplichttigheid) bahwa terjadinya delik disebabkan atas kewajiabn yang terdapat dalm peristiwa tersebut. Artinya orang yang dianggap membantu terdapat kewajiban, dan kewajiban itu diabaikannya sehingga timbul tindak pidana. Terdapat pula pembantuan pasif yang dianggap sebagai delik yang berdiri sendiri, misalnya terdapat dalam pasal 110 ayat (2) KUHP yang menyatakan “pidana yang sama dijatuhkan terhadap orang yang dengan maksud hendak menyediakan atau memudahkan salah satu kejahatan yang disebut dalam pasal 104, 106, dan 108,…. dst”. Dengan mempermudah terjadinya tindak pidana yang disebutkan diatas, berarti telah dianggap membantu meskipun secara pasif. Dan menurut pasal 110 KUHP diatas dianggap sebagai delik yang berdiri sendiri dan diancam dengan pelaku pokoknya.
Saksi mahkota juga erat kaitannya dengan penyertaan. Hal ini disebabkan “saksi mahkota” adalah kesaksian seseorang yang sama-sama terdakwa. Dengan kata lain, saksi mahkota terjadi apabila terdapat beberapa orang terdakwa dalam suatu peristiwa tindak pidana. Dimana terdakwa akan menjafi saksi terhadap teman pesertanya, sebalikanya, gilirannya terdakwa yang alin menjadi saksi untuk teman peserta lainnya.[7]
Penyertaan diatur didalam pasal 55, 56, dan 57 KUHP. Dalam pasal 55 KUHP klasifikasi pelaku :
  1. Mereka yang melakukan yaitu pelaku tindak pidana yang pada hakekatnya memenuhi semua unsur dari tindak pidana. Dalam arti sempit, pelaku adalah mereka yang melakukan tindak pidana. Sedangkan dalam arti luas meliputi keempat klasifikasi pelaku diatas yaitu mereka yang melakukan perbuatan, mereka yang menyuruh melakukan, mereka yang turut serta melakukan dan melereka yagn menganjurkan.
  2. Mereka yang menyuruh melakukan Yaitu seseorang ingin melakukan suatu tundak pidana, akan tetapi ia tidak melaksanakannya sendiri. Dia menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. dalam penyertaan ini orang yang disuruh tidak akan dipidana, sedang orang yang menyuruhnya dianggap sebagai pelakunya. Dialah yang bertanggungjawab atas peristiwa pidana karena suruhannyalah terjadi suatu tindak pidana.
  3. Mereka yang turut serta yaitu mereka yang ikut serta dalam suatu tindak pidana. Terdapat syarat dalam bentuk mereka yang turut serta, antara lain: Adanya kerjasama secara sadar dari setiap peserta tanpa perlu ada kesepakatan, tapi harus ada kesengajaan untuk mencapai hasil berupa tindak pidana. Ada kerja sama pelaksanaan secara fisik untuk melakukan tindak pidana. Setiap peserta pada turut melakukann diancam dengan pidana yang sama.
  4. Mereka yang menggerakkan/ menganjurkan/ membujuk yaitu seseorang yang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana, tetapi tidak melakukannya sendiri, melainkan menggerakkan orang lain untuk melaksanakan niatnya itu. [8]
D.    Pandangan Praktisi Hukum Pidana Mengenai Kriteria Turut Melakukan (Medeplegen) dan Pembantuan (Medeplichtigheid)
Turut melakukan (medeplegen) dan pembantuan (medeplichtigheid) merupakan bentuk atau wujud penyertaan (deelneming) yang dikandungan dalam Pasal 55 dan 56 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). Kedua bentuk ini tidak begitu mudah untuk membedakannya, sebab undang-undang sendiri tidak membuat penjelasan dan batasannya sehingga untuk memahami kedua hal tersebut diserahkan kepada ilmu pengetahuan hukum pidana.
Kenyataannya baik dalam teori maupun dalam praktik, kadang-kadang sangatlah sulit untuk menentukan batasan atau ukuran antara perbuatan turut melakukan dan pembantuan, karena kedua bentuk ini hampir sama sehingga diantara kalangan pakar hukum pidana atau para sarjana hukum pidana mempunyai pemahaman atau penafsiran yang berbeda-beda satu sama lain.
Para ahli hukum pidana sendiri tidak mempunyai keseragaman pendapat mengenai kriteria atau ukuran untuk menentukan yang mana perbuatan medeplegen dan yang mana perbuatan medeplichtigheid.
Ada yang berpendapat bahwa, adanya persoalan medeplegen apabila semua urusan delik harus dipenuhi. Terhadap pendapat ini banyak pakar hukum yang tidak menyetujuinya dengan alasan bahwa kriteria semacam ini hanyalah ditujukan terhadap pelaku utama, sehingga untuk medeplegen itu tidak perlulah rumusan delik harus dipenuhi. Ada juga pandangan lain yang mengatakan bahwa, ukuran perbuatan medeplegen itu harus ada kerjasama yang disepakati terlebih dahulu. Pendapat yang sedikit lebih keras mengatakan bahwa, tidak perlu ada kata sepakat atau perjanjian lebih dahulu hanya yang penting adalah kerjasama yang disadari saat delik dilakukan.
Pandangan para ahli hukum pidana dan teori-teori  penyertaan yang ada dalam ilmu pengetahuan hukum pidana mengenai ukuran atau batasan bentuk-bentuk penyertaan, tentu akan berpengaruh bagi pertimbangan para praktisi hukum pidana dalam hal mengajukan rekisitor (requisitoir) bagi penuntut umum, pembelaan (pleidooi) bagi pengacara dan putusan bagi hakim. Seyogyanya requisitoir memuat pembuktian semua unsur-unsur delik yang didakwakan dan juga memuat persepsi istilah-istilah hukum dari unur-unsur tersebut. Penuntut umum dalam mengajukan requisitoir diharapkan harus mampu memaparkan kepentingan-kepentingan umum yang diwakilinya, yaitu kepentingan negara, begitupun juga pleidooi penasihat hukum seyogyanya memuat hal-hal yang mungkin membebaskan/meringankan terdakwa, tetapi sebelumnya, perlu pengamatan yang cermat terhadap perbuatan yang didakwakan secara formil. Pleidooi sangat penting dalam upaya menegakkan hukum karena dapat menambah masukan bagi hakim sebagai salah satu bahan pengambilan putusan. Oleh karena itu, pleidooi itu diharapkan agar dapat memuat rumusan-rumusan yang rasional berdasarkan fakta atau bukti yang terungkap di persidangan.
Masalah hukum pidana yang berkaitan dengan deelneming, khususnya menyangkut bentuk medeplegendan bentuk medeplichtigheid sampai saat ini masih tetap menarik untuk dicermati baik secara teoritis maupun secara praktis. Kedua bentuk penyertaan ini selalu aktual dan tetap dapat menyatu dengan kejahatan-kejahatan apa saja. Segi kriminologi perbuatan turut melakukan dan perbuatan pembantuan dianggap sama jahatnya, hanya bila dilihat dari sudut pemidanaan maka perbuatan pembantuan dianggap lebih ringan peranannya daripada perbuatan turut melakukan. Oleh karena itu, maka bagi orang yang dikualifisir sebagai orang yang membantu melakukan delik kejahatan, ancaman pidananya adalah pidana pokok dikurangi sepertiganya.
Lamintang mengemukakan bahwa, bentuk-bentuk deelneming atau keturut sertaan yang ada menurut Pasal 55 dan 56 KUHP adalah :[9]
  1. Doen plegen atau menyuruh melakukan atau yang di dalam doktrin juga sering disebut sebagai middellijk daderschap;
  2. Medeplegen atau turut melakukan ataupun yang di dalam doktrin juga sering disebut sebagaimededaderschap;
  3. Uitlokking atau menggerakkan orang lain, dan
  4. Medeplichtigheid
Projodikoro mengemukakan bahwa, oleh dua pasal ini (Pasal 55 dan 56 KUHP) diadakan lima golongan peserta delik, yaitu :[10]
  1. Yang melakukan perbuatan (plegen, dader),
  2. Yang menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke dader),
  3. Yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader),
  4. Yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker),
  5. Yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige).

Marpaung mengemukakan bahwa, berdasarkan Pasal 55 dan 56 KUHP terdapat lima peranan pelaku, yakni :[11]
  1. Orang yang melakukan.
  2. Orang yang menyuruh melakukan.
  3. Orang yang turut melakukan.
  4. Orang yang sengaja membujuk.
  5. Orang yang membantu melakukan.

Tampaknya walaupun para ahli hukum pidana tersebut berbeda penggunaan istilah satu sama lain mengenai bentuk dan jumlah bentuk penyertaan itu sendiri, akan tetapi pada dasarnya mereka semua berada pada konteks yang sama, yaitu berlandaskan pada makna yang terkandung dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.
Selanjutnya akan diketengahkan satu demi satu mengenai bentuk-bentuk penyertaan yang dimaksud sebagai berikut :
Melakukan (plegen)
Secara umum dalam berbagai literatur hukum pidana yang ada, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan orang yang melakukan adalah pelaku (pleger) itu sendiri. Pelaku dalam hal ini adalah orang yang perbuatannya memenuhi semua unsur delik.
Menurut hemat penulis, membicarakan hal pelaku sebagaimana dimaksud oleh Pasal 55 KUHP haruslah tidak terlepas dengan konteks deelneming secara utuh, artinya pelaku yang dimaksud dalam hal ini adalah pembuat delik yang tidak sendiri menyelesaikan terjadinya delik. Keterlibatan dalam mewujudkan delik dilakukan dengan kerjasama, hanya saja keterlibatannya ini atau bobot perbuatannya lebih sempurna daripada pembuat delik yang lain, bahkan memenuhi unsur delik, sedangkan para pembuat delik yang lain tidak demikian halnya, dapat dikatakan peranannya tidak memenuhi unsur delik, hanya saja wujud perbuatannya tetap merupakan satu kesatuan yang utuh dalam konteks kerjasama penyertaan.
·         Menyuruh melakukan
Mudah di mengerti bahwa dalam hal menyuruh melakukan berarti seseorang menyuruh orang lain melakukan perbuatan, artinya sipenyuruh tidak melakukan sendiri perbuatan dimaksud. Dalam dunia ilmu hukum pidana, biasanya orang yang menyuruh melakukan (doen pleger) tersebut sebagai pelaku yang berada di belakang layar atau pelaku tidak langsung (manus domina, onmiddelijke dader, intellectueele dader). Orang yang menyuru melakukan inilah yang membuat sehingga orang lain melakukan delik. Sudah dengan sendirinya kalau ada yang menyuruh, berarti ada yang disuruh. Orang yang disuruh inilah yang melakukan delik, yang biasa juga disebut pelaku langsung atau pelaku materiil (manus ministra, middelijke dader, materiele dader), orang yang disuruh itu hanyalah merupakan alat bagi orang yang menyuruh.
Turut melakukan (medeplegen)
KUHP sendiri tidak memberikan defenisi atau pengertian mengenai turut melakukan (medeplegen) itu, karenanya menyangkut hal ini diserahkan kepada ilmu pengetahuan hukum pidana saja.
Dikemukan oleh Sianturi bahwa, medeplegen juga diterjemahkan sebagai mereka yang bersama-sama orang lain melakukan suatu tindakan. Dalam bentuk ini jelas bahwa subyeknya paling sedikit dua orang.[12]
Samosir mengemukakan bahwa, apabila seseorang melakukan tindak pidana tanpa orang lain, pada umumnya disebut sebagai pelaku (dader), tetapi apabila beberapa orang secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, maka setiap yang terlibat (partisipator) dalam tindak pidana tersebut di pandang sebagai peserta (mededader).[13]
Mencermati pendapat-pendapat yang telah dipaparkan di atas, dapatlah di mengerti ternyata para ahli hukum pidana berbeda-beda pemahaman mengenai makna atau pengertian medeplegen tersebut.
Ada kalangan yang menekankan bahwa dalam medeplegen itu tiap orang pembuat haruslah sengaja melakukan delik, ada pula yang memahami bahwa medeplegen itu terdiri atas beberapa orang secara bersama-sama melakukan suatu delik dan setiap peserta dipandang sebagai yang turut melakukan dari peserta lainnya. Pandangan yang lain menekankan pada adanya peranan kerjasama yang seimbang antara pembuat delik yang satu dengan pembuat delik yang lain, dalam hal ini yang dilihat adalah sisi peran secara fisik. Pemahaman pakar hukum pidana yang lain menekankan bahwa medeplegen itu artinya suatu kesepakatan antara pembuat untuk mewujudkan delik yang dilakukan secara bersama-sama (kerjasama).
 Menggerakkan untuk melakukan (uitlokking)
Mengenai istilah ini, para pakar hukum pidana saling berbeda satu sama yang lain dalam penggunaanya. Ada yang menggunakan uitlokken dengan istilah membujuk melakukan, dan ada pula yang menggunakannya dengan istilah menganjurkan serta ada juga dengan istilah menggerakkan.
Sianturi menerjemahkan uitlokking dengan mereka yang menggerakan untuk melakukan suatu tindakan dengan daya upaya tertentu. Lebih lanjut diketengahkan oleh Sianturi, bahwa bentuk penyertaan penggerakkan mirip dengan bentuk penyertaan menyuruh melakukan. Perbedaannya ialah, bahwa pada bentuk penyertaan menyuruh melakukan  terdapat syarat-syarat:[14]
 Peserta yang disuruh (manus minisrta) adalah peserta yang tidak dapat dipidana; Bahwa daya-upaya pada penyuruh (manus domina), tidak dirumuskan secara limitatif.
      Sedangkan syarat-syarat pada penyertaan penggerakkan adalah :
  1. Yang menggerakkan (materiele/fisike dader) dapat dipidana karena melakukan suatu tindak pidana seperti halnya penggerak (auctor intellectualis) dapat dipidana karena menggerakkan;
  2. Daya upaya yang digunakan penggerak dirumuskan secara limatif.
      Menurut Samosir bahwa berdasarkan rumusan Pasal 55 ayat (1) sub 2 KUHP unsur-unsur menggerakkan itu terdiri atas :[15]
  1. Mempergunakan cara-cara tertentu,
  2. Orang yang dipergunakan itu mempunyai opzet (sengaja), untuk melakukan sesuatu tindak pidana,
  3. Karena orang yang digerakkan itu mempunyai opzet (sengaja) maka yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan dari sudut hukum pidana.
Satochid Kartanegara mengutarakan arti “uitlokking”adalah setiap perbuatan yang menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan terlarang dengan mempergunakan cara, daya upaya sebagaimana yang ditentukan Pasal 55 ayat (1) ke-2.[16]
 Pembantuan (Medeplichtigheid)
Medeplichtige oleh Utrecht diterjemahkan dengan membantu, oleh Satochid Kartanegara diterjemahkan dengan membantu melakukan, olehTirtaamidjaja diterjemahkan dengan membantu melakukan pelanggaran pidana, oleh P.A.F Lamintang diterjemahkan dengan membantu melakukan tindak pidana.[17]
Menurut Moeljanto bahwa, ada pembantuan apabila dua orang atau lebih sebagai:[18]
  1. Pembuat (de hoofd dader)
  2. Pembantu (de medeplichtige)
Lebih lanjut di kemukakan Moeljatno bahwa, dengan sengaja membantu orang lain melakukan suatu kejahatan, dibedakan atas dua macam yaitu pembantuan pada waktu dilakukan kejahatan tanpa daya tertentu, dan pembantuan yang mendahului melakukan kejahatan dengan daya upaya memberi kesempatan, sarana atau keterangan-keterangan. Pembantuan dalam bentuk dengan sengaja membantu pada waktu kejahatan dilakukan hampir mirip dengan bentuk turut serta melakukan. Inti pembantuan bahwa orang yang membantu hanya melakukan peranan yang tidak penting, sedangkan inti turut serta melakukan bahwa orang yang turut serta ada kerjasama yang erat antara mereka yang melakukan perbuatan pidana.[19]
Dikalangan akademik kerap didengar dengan sebutan “lain teori lain pula praktik”. Sebutan ini memang tidak dapat disangkal, sebab berkembangnya suatu ilmu justru berlandaskan pada kedua istilah terssebut.
Dapat dikatakan bahwa secara teori saja para ahli hukum pidana berlainan pendapat satu sama lain mengenai kriteria medeplegen dan medeplichtighid, tentu dapat dibayangkan bagaimana halnya dalam praktik.
Mencermati bagaimana pandangan praktisi hukum pidana mengenai kriteria turut melakukan (medeplegen) dan pembantuan (medeplichtigheid) di dalam praktik, bukanlah merupakan persoalan sederhana melainkan sebaliknya sebab hal di maksud berkaitan erat dengan tanggapan (penerimaan) atau serapan langsung oleh masing-masing para praktisi hukum pidana itu sendiri. Dalam rangka penyelesaian kasus inconcreto yang melibatkan modus deelneming, para praktisi hukum pidana dituntut agar mampu mengkualifisir para pembuat delik apakah sebagai medepleger ataukah sebagai medeplichtige. Menjadi problema bahwa di dalam undang-undang hukum pidana sendiri tidak membuat suatu kriteria atau batasan secara defenitif antara medeplegen dan medeplichtighed, sehingga para praktisi hukum pidana sebagai petugas-petugas hukum atau sebagai organ pengadilan diharapkan mampu mengimplementasikan teori-teori penyertaan yang dianutnya. Persoalan lain yang muncul dalam praktik bahwa, para praktisi hukum pidana itu sendiri terdiri atas polisi, penuntut umum, hakim dan pengacara yang berada pada lembaga masing-masing. Dalam hal ini,  walaupun semuanya berada dalam naungan satu sistem, yaitu sistem peradilan pidana, akan tetapi pemahaman dan penafsiran mereka tentang suatu perkara yang bermodus deelneming akan berbeda-beda satu sama lain, dan memang memungkinkan untuk itu sesuai dengan tingkatan dan fungsi masing-masing sebagaimana diberi tugas untuk melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret.
Sebagaimana halnya dengan para ahli hukum pidana atau para teoritis yang terkemuka, tampaknya para praktisi hukum pidana mengakui pula bahwa di dalam praktikpun pada kasus-kasus tertentu tidak mudah membedakan perbuatan-perbuatan para pembuat delik yang bagaimana dapat dikategorikan sebagai orang yang turut melakukan dan seberapa besar bobot perbuatan atau peranan para pembuat delik untuk mewujudkan delik dapat dikualifisir sebagai orang yanng membantu melakukan.
Pandangan para praktisi hukum pidana ternyata juga berbeda-beda, disamping ada juga persamaannya mengenai kriteria medeplegen dan medeplichtigheid tersebut. Di kalangan penyidik (polisi), sebagai langkah awal untuk melakukan pemeriksaan terhadap para pembuat delik yang bernuansa deelneming di dalam pikiran mereka senantiasa ditanamkan praduga bahwa walaupun pelaku delik terdiri atas beberapa orang, akan tetapi tidak semua pembuat delik itu mengambil bagian yang sama tentu ada perbedaan tindakan atau keterlibatan dalam mewujudkan delik, selanjutnya pihak penyidik akan menggolongkan siapa yang berposisi sebagai orang yang melakukan, orang yang turut melakukan dan sebagainya. Kendatipun demikian, namun untuk menggolongkan siapa sebagai orang yang turut melakukan atau siapa-siapa sebagai orang yang membantu ternyata tetap saja dianggap cukup rumit, apalagi hal ini digolongkan berdasarkan pada teori, sehingga semuanya itu dilihat secara kasuistis.
Dalam hubungan dengan peristiwa-peristiwa inconcreto yang bermodus deelneming, di kalangan penyidik dikenal pula penggolongan dan istilah-istilah teknis kepolisian yang relatif dianggap sama sekalipun sering tumpangtindih dengan penggolongan dan istilah-istilah yang ditentukan dalam KUHP, misalnya istilah “geng” atau “kelompok yang bersifat kriminologis”’ dapat dikaitkan dangan istilah “bersama-sama melakukan” atau turut melakukan dan membantu melakukan” dalam lingkungan hukum pidana. Hal ini tentu berpengaruh terhadap perlakuan (treatment)  pada kriminal, dalam arti walaupun dalam Berita Acara pemeriksaan (BAP), Pasal-Pasal 55 dan 56 KUHP dijadikan rujukan, akan tetapi perlakuan terhadap tersangka relatif sama tanpa membedakan status kriminal masing-masing, misalnya teknik interogasi terhadap medepleger dan medeplichtige relatif sama karena yang dikejar dalam hal ini ialah “pembuktian kasus dan bukan status pelaku”.
Untuk menghindari kesulitan yang mungkin timbul dalam rangka pemilah-milahan para pembuat delik, pihak penyidik menempuh cara, yaitu kasus di split, memperhatiakan kontrol atasan, koordinasi dengan pihak kejaksaan (penuntut umum). Demikian juga pasal-pasal yang disangkakan dan Pasal 55 dan 56  KUHP sekaligus dijadikan alternatif persangkaan. Hal ini di maksudkan agar para tersangka tetap terjaring.
Begitupun juga kalangan penuntut umum, dalam rangka penuntutan yang berkaitan dengan kasus-kasus penyertaan senantiasa diajukan dakwaa-dakwaan alternatif sebagai penjaring agar  terdakwa kemungkinan tidak lolos dari jeratan hukum. Untuk itu Pasal 55 KUHP selalu dijadikan rujukan sebagai dasar pembuktian dakwaan primair, sedangkan Pasal 56 KUHP dijadikan sebagai dasar pembuktian dakwaan subsidair.
Menurut  pandangan para praktisi hukum pidana tidak ada satu syarat yang mutlak untuk menentukan kriteria medeplegen dan medeplichtigheid. Semuanya tergantung pada kasus- kasus yang konkret atau harus dilihat pada peristiwa-peristiwa inconcreto, sebab situasi yang melingkari keadilan tidak sama dalam setiap kasus, kasus yang satu dengan kasus yang lain tentu tidak mutlak sama. Jadi, pada kasus-kasus tertentu mungkin akan dilihat pada wujud atau luasnya tindakan, dan pada kasus lain mungkin pula akan ditekankan pada tindakan para pembuat delik, apakah tindakan itu langsung berhubungan dengan rumusan delik atau tidak. Bagaimana peranan sipembuat delik, apakah menyentuh unsur delik atau tidak, dan apakah ada kerjasama yang disadari saat delik dilakukan atau tidak, semuanya ini tentu membutuhkan kriteria yang bervariasi.
Pandangan praktisi hukum pidana mengenai kriteria medeplegen cukup bervariasi satu sama lain. Pandangan penyidik (polisi) tampak berbeda dengan penuntut umum (jaksa), begitupun pandangan hakim dengan pengacara atau penuntu umum dengan hakim dan pengacara serta penyidik secara timbal balik. Di dalam praktik dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus yang konkret, para praktisi hukum pidana senantiasa dipengaruhi oleh tugas dan fungsinya masing-masing.
Pada umumnya praktisi hukum pidana  mengakui bahwa untuk menentukan batas antara medeplegendengan medeplichtigheid sungguh tidak mudah, karena dalam kasus-kasus tertentu atau pada peristiwainconcreto kedua bentuk penyertaan ini hampir tidak dapat dibedakan. Oleh karena itu, di dalam praktik senantiasa dicermati dengan seksama berdasarkan pada kasuistis
Dapat dikemukakan bahwa, para praktisi hukum pidana sangat menyadari bahwa tidak semua para pembuat delik, peranan pembuat yang satu mungkin jauh berbeda dengan peranan pembuat yang lain, baleh jadi tindakan-tindakan atau bobot perbuatan atau keterlibatan-keterlibatan para pembuat delik berbeda-beda satu sama lain. Begitu pua situasi yang melingkari keadilan dalam kasus-kasus bermodusdeelneming tentu juga mungkin tidak sama, sikap bathin antara pembuat delik saat mewujudkan delik terjadinya delik juga tidak jelas sama, sehingga dengan adanya hal-hal dan situasi-situasi yang demikian kompleks, tentu akan mempengaruhi perspektif para praktisis  hukum pidana untuk menentukan batasan antara kedua bentuk penyertaan dimaksud.
Kendatipun para praktisi hukum pidana mengalami kesulitan untuk menentukan batasan antara bentukmedeplegen dan medeplichtigheid, namun dalam rangka menyelesaikan kasus yang diproses, praktisi hukum pidana mengambil referensi pada teori-teori penyertaan yang ada atau merujuk pada pendapat ahli hukum pidana yang mengemukan.
Dalam literaturr-literatur hukum pidana yang ada, pada umumnya para teoritis menentukan batasmedeplegen dan medeplichtigheid hanya terletak pada adanya tindakan pelaksanaan dan perbuatan persiapan oleh para pembuat delik. Dalam praktik, batasan ini pun sangat sangat oleh kalangan praktisi hukum pidana, bahkan mencapai persentase tertinggi. Hanya saja ternyata, masih ada di antara para praktisi hukum pidana yang menentukan masih ada dua batasan medeplegen dan medeplichtigheid.[20]




                [1] Abdoel Djamali R, Pengantar Hukum Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 17

[2] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, (Jakarta : Rineka cipta, 2008), h. 51

[3] M Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHP, Edisi Kedua, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), h. 91
[4] P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru,1984), h.101
[5] Muladi & Barda Nawawi Arief, Teori-teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: ALUMNI, 2005), h. 72

[6] Moeljatno,  KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana,  Cet 27, (Jakarta : Bumi Aksara, 2008), h. 75
[7] Sudikno Mertokusumo,  Bunga Rampai Ilmu Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 2010), h. 120
[8] Projodikoro, Wirjono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2003), h. 301
[9] P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru,1984), h.101
[10] W Prodjodikoro,  Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Jakarta: P.T.Eresco, 1981), h.100
[11] Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), (Jakarta: Sinar Grafika, 1991),  h.94
[12] S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1986), h. 344
[13]D Samosir, Pertanggungjawaban Pidana Dihubungkan Dengan Keturutsertaan, (Majalah Hukum Triwulan, Tahun XIII No.4. Oktober, 1995), h. 66
[14] S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya, (Jakarta, 1986), h. 350-351
[15] D Samosir, Pertanggungjawaban Pidana Dihubungkan Dengan Keturutsertaan, ( 1995), h. 69
[16] L Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), 1991, h. 101
[17] Ibid, h.109
[18] Moeljatno, Hukum Pidana Delik-delik Penyertaan, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), h. 128 .
[19]Ibid, h.128-129
[20]Moh. Saleh Djindang, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, cet. 11, (Jakarta : Ichtiar Baru, 1983), h. 318

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Djamali, R. Abdoel.  Pengantar Hukum Indonesia. Edisi Revisi. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010)
Djindang, Moh. Saleh. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. cet. 11, (Jakarta : Ichtiar Baru, 1983)
Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi. (Jakarta : Rineka cipta, 2008)
Harahap, M. Yahya. Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHP. Edisi Kedua. (Jakarta : Sinar Grafika, 2006)
Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. (Bandung: Sinar Baru,1984
Lamintang, P.A.F. Hukum Penitensier Indonesia. (Bandung : Armico, 1984)
Marpaung. Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik). (Jakarta: Sinar Grafika, 1991)
Mertokusumo, Sudikno. Bunga Rampai Ilmu Hukum. (Yogyakarta: Liberty, 2010)
Moeljatno. Hukum Pidana Delik-delik Penyertaan. (Jakarta: Bina Aksara, 1985)
Moeljatno. KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana,  Cet 27. (Jakarta : Bumi Aksara, 2008)
Muladi & Barda Nawawi Arief. Teori-teori Dan Kebijakan Pidana. (Bandung: ALUMNI, 2005)
Prodjodikoro, W. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. (Jakarta: P.T.Eresco, 1981)
Projodikoro, Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. (Bandung : Refika Adiatama, 2003)
Samosir, D.  Pertanggungjawaban Pidana Dihubungkan Dengan Keturutsertaan. (Majalah Hukum Triwulan, Tahun XIII No.4. Oktober, 1995)
Sianturi, S.R. Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. (Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1986)
Sugandhi, R.  KUHP Dan Penjelasannya. (Surabaya : Usaha Nasional, 1981)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar