A.
Pengertian Kesengajaan
Sengaja
berarti menghendaki dan mengetahui apa yang ia perbuat atau dilakukan. KUHP
tidak menerangkan mengenai arti atau definisi tentang kesengajaan atau dolus
intent opzet. Tetapi Memorie van Toelichting (Memori Penjelasan) mengartikan
kesengajaan sebagai menghendaki dan mengetahui. Kesengajaan harus memiliki
ketiga unsur dari tindak pidana, yaitu perbuatan yang dilarang, akibat yang
menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan bahwa perbuatan itu melanggar
hukum. Dalam
Crimineel Wetboek (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) tahun 1809 dijelaskan
pengertian,”Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”
Menurut sejarah dahulu pernah
direncanakan dalam undang-undang 1804 bahwa kesengajaan adalah kesengajaan
jahat sebagai keinginan untuk bebuat tidak baik, juga pernah dicantumkan di
dalam pasal 11 Criminal Wetboek 1809 yang menerangkan bahwa kesengajaan
keinginan/maksud untuk melakukan perbuatan atau diharuskan oleh undang-undang.
Di dalam WvSr tahun 1881 yang milai berlaku 1 September1886 tidak lagi
mencantumkan arti kesengajaan seperti rancangan terdahulu.[1]
Seseorang yang berbuat dengan sengaja
itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat an harus diketahui pula atas apa yang
diperbuat. Tidak termasuk perbuatan dengan sengaja adalah suatu gerakan yang
ditimbulkan oleh reflek, gerakan tangkisan yang tidak dikendalikan oleh
kesadaran.
Kesengajaan itu secara alternatif, dapat
ditujukan kepada tiga elemen perbuatan pidana sehingga terwujud kesengajaan
terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap akibat dan kesengajaan terhadap hal
ikhwal yang menyertai perbuatan pidana.
Teori kehandak yang diajarkan oleh
Von Hippel (Jerman) dengan karanganya tentang “Die Grenze von Vorzatz und
Fahrlassigkeit” 1903 menerangkan bahwa sengaja adalah kehendak untuk membuat
suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatn itu, dengan
katta alin apabila seseorang melakukan perbuatan yang tertentu, tentu saja
melakukannya itu kehendak menimbulkan akibat tertentu pula, karena ia melakukan
perbuatan itu justru dapat dikatan bahwa ia menghendaki akibatnaya, ataupun hal
ikhwal yang menyertai.
Teori pengetahuan/dapat
membayangkan/persangkaan yang diajarkan oleh Frank (Jerman) dengan karanganya tentang “Vorstelung un Wille in der Moderner
Doluslehre” 1907, menerangkan bahwa tidaklah mungkin sesuatu akibat atau
hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh pembuatnya tentu dapat
dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat membayangkan/menyangka terhadap
akibat atau hal ikhwal yang menyertai.
Menurt teori keehendak (willstheorie) adalah hal baik terhadap
perbuatnnya maupun terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai, dapat
dikehendaki oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat dapat ditujukan
kepada perbuatan, akibat dan hal ikhwal yang menyertai. Sebaliknya menurut
teori pengetahuian/membayangkan/persangkaan (voorstellingstheorie) bahwa akibat atau hal ikhwal yang menyertai
itu tidak dapat dikehendaki oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat
hanya dapat dtujukan kepada perbuatan saja.
Dalam kehidupan sehari- hari memang
seseorang yang hendak membunuh orang lain, lau menembakkan pistol dan pelurunya
meletus ke arah sasaran, maka perbuatan menembak itu dikehendaki oleh si
pembuat, akan tetapi akibatnya belum tentu timbul karena meleset pelurunya,
yang oleh karena itu si pembuat bukannya menghendaki akibatnya melainkan hanya
dapat membayangkan/menyangka (voorstellen)
bahwa akibat perbuatannya itu akan timbul. Akibat mati seperti itu tidak
tergantung pada kehendak manusia, dan tepatlah alam pikiran dari
voorstellingstheorie. De voorstellingstheorie dari Frank menjadi teori yang
banyak penganutnya, dan oleh aprof. Moeljanto,S.H untuk teori ini diikuti jalan
piikiran bahwa voorstellingstheorielebih memuaskan karena dalam kehendak dengan
sendirinya diliputi pengetahuan (gambaran) dimana seseorang untuk menghendaki
sesuatu lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang
sesuatu itu , lagi pula kehendal merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana
berhubungan dengan motif (alsan pendorong untuk berbuat) dan tujuannya
perbuatan
Dalam Memorie van Toelichting (MvT)
Menteri Kehakiman pada waktu mengajukan Crimineel Wetboek tahun 1881 (kemudian menjadi Kitab
Undang – Undang Hukum Pidana tahun 1951), dimuat antara lain bahwa kesengajaan
itu adalah dengan sadar berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu (de bewuste richting van den wil op een
bepaald misdrijf);
Menurut Prof. Sathochid Kartanegara,
yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah
“Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki
(willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat
dari perbuatan itu”; “Kehendak” dapat ditujukan terhadap:
a. Perbuatan yang dilarang;
b. Akibat yang dilarang
Kesengajaan dalam hukum pidana adalah
merupakan bagian dari kesalahan. Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan
yang lebih erat terhadap suatu tindakan (yang terlarang) dibanding dengan
kealpaan (culpa). Karenanya ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih
berat, apabila adanya kesenggajaan daripada dengan kealpaan. Bahkan ada
beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan
tindakan pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, ia merupakan
suatu kejahatan seperti misalnya penggelapan (pasal 372 KUHP). Merusak
barang-barang (Pasal 406 KUHP) dan lain sebagainya.
Lalu apa itu yang disebut dengan
kesenggajaan? KUHP kita tidak memberi definisi mengenai hal tersebut. Lain
halnya dengan KUHP Swiss dimana dalam pasal 18 dengan tegas ditentukan: “Barang
siapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya, maka dia
melakukan perbuatan itu dengan sengaja”.
Petunjuk untuk dapat mengetahui arti
kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yaitu
“Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan
perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”. Dalam pengertian
ini disebutkan bahwa kesengajaan diartikan sebagai : “menghendaki dan
mengetahui” (willens en wetens). Artinya, seseorang yang melakukan suatu
tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta menginsafi tindakan tersebut
dan/ atau akibatnya. Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki
dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan
sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang
apa yang dilakukan itu dan akibat yang akan timbul daripadanya.
B.
Teori-Teori Kesengajaan
Berhubung dengan keadaan batin orang
yang berbuat dengan sengaja, yang berisi “menghendaki dan mengetahui” itu, maka
dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut 2 (dua) teori sebagai
berikut:
1). Teori kehendak (wilstheorie)
Inti kesengajaan adalah kehendak untuk
mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang (Simons dan
Zevenbergen).
2). Teori pengetahuan / membayangkan (voorstellingtheorie)
Sengaja
berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa
menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini
menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah
apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat (Frank).
Terhadap
perbuatan yang dilakukan si pelaku kedua teori itu tak ada menunjukkan
perbedaan, kedua-duanya mengakui bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak
untuk berbuat. Dalam praktek penggunaannya, kedua teori adalah sama.
Perbedaannya adalah hanya dalam peristilahannya saja.
Pengertian “kesengajaan” dalam
hukum pidana dikenal 2 (dua) teori, yaitu:
1.Teori Kehendak (Wilstheorie)
2. Teori Membayangkan
(Voorstellingstheorie);
Teori Kehendak (Wilstheorie)
dikemukakan oleh Von Hippel dalam bukunya Die Grenze Vorsatz und Fahrlassigkeit
tahun 1903, yang menyatakan kesengajaan adalah kehendak membuat suatu tindakan
dan kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu. Akibat dikehendaki
apabila akibat itu yang menjadi maksud dari tindakan tersebut;
Teori membayangkan (Voorstellingstheorie) dikemukakan oleh Frank
dalam bukunya Festschrift Gieszen tahun 1907 yang menyatakan bahwa manusia
tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat; manusia hanya dapat mengingini,
mengharapkan dan membayangkan (voorstellen)
kemungkinan adanya suatu akibat;
Teori tentang kehendak terbagi
menjadi 2 (dua) ajaran, yaitu:
1. Determinisme,
berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Manusia melakukan
suatu perbuatan didorong oleh beberapa hal, baik yang berasal dari dalam
dirinya maupun dari luar dirinya;
2. Indeterminisme,
aliran ini muncul sebagai reaksi dari aliran determinasi, yang menyatakan bahwa
walaupun untuk melakukan sesuatu perbuatan dipengaruhi oleh bakat dan milieu,
manusia dapat menentukan kehendaknya secara bebas;
Aliran Determinisme tidak dapat
diterapkan dalam hukum pidana karena akan menimbulkan kesulitan dalam hal
pertanggungjawaban. Sehingga muncul Determinisme Moldern yang menyatakan bahwa
Manusia adalah anggota masyarakat, dan sebagai anggota masyarakat apabila
melanggar ketertiban umum, maka ia bertanggungjawab atas perbuatannya.[2]
C.
Bentuk
Kesengajaan
Dalam
hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan ke dalam 3
(tiga) bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan dari kesengajaan sebagai
berikut:
1. Kesengajaan
sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (dolus
directus). Dalam
hal ini pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang.
Kesengajaan sebagai maksud adalah perbuatan yang dilakukan
oleh si pelaku atau terjadinya suatu akibat dari perbuatan si pelaku adalah
memang menjadi tujuannya. Tujuan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan tidak
ada yang menyangkal bahwa si pelaku pantas dikenai hukuman pidana. Dengan kata
lain, si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok
alasan diadakan ancaman hukuman pidana. Menurut teori kehendak, sengaja sebagai
maksud karena apa yang dimaksud telah dikehendakinya. Sedangkan menurut teori
bayangan, sengaja sebagai maksud karena bayangan tentang akibat yang dimaksud
itu telah mendorong si pembuat untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan.
2. Kesengajaan dengan
sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn).
Dalam hal ini perbuatan berakibat yang dituju namun akibatnya yang tidak
diinginkan tetapi suatu keharusan mencapai tujuan, contoh Kasus Thomas van
Bremenhaven.
Kesengajaan dengan sadar kepastian adalah apabila si pelaku
dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar
dari perbuatn pidana. Tetapi, ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan
mengikuti perbuatannya tersebut. Maka dari itu, sebelum sungguh-sungguh terjadi
akibat perbuatannya, si pelaku hanya dapat mengerti atau dapat menduga bagaimana
akibat perbuatannya nanti atau apa-apa yang akan turut mempengaruhi terjadinya
akibat perbuatan itu. Dalam bentuk ini, perbuatan pelaku mempunyai dua akibat,
yaitu yang pertama, akibat yang memang dituju si pelaku yang dapat merupakan
delik tersendiri atau bukan. Yang kedua, akibat yang tidak diinginkan tapi
merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam akibat pertama.
Teori kehendak merumuskan bahwa apabila pelaku juga menghendaki akibat atau hal-hal yang turut mempengaruhi terjadinya akibat yang terlebih dahulu telah dapat digambarkan dan tidak dapat dielakkan maka boleh dikatakan bahwa pelaku melakukan perbuatannya itu dengan sengaja dilakukan dalam keadaan sangat perlu atau sengaja dilakukan dengan kepastian dan kesadaran. Teori membayangkan merumuskan bahwa apabila bayangan tentang akibat atau hal-hal yang turut mempengaruhi terjadinya akibat yang sebetulnya tidak langsung dikehendaki tetapi juga tidak dapat dielakkan maka boleh dikatakan bahwa perbuatan itu dengan sengaja dilakukan dalam keadaan sangat perlu atau sengaja dilakukan dengan kepastian dan kesadaran.
Teori kehendak merumuskan bahwa apabila pelaku juga menghendaki akibat atau hal-hal yang turut mempengaruhi terjadinya akibat yang terlebih dahulu telah dapat digambarkan dan tidak dapat dielakkan maka boleh dikatakan bahwa pelaku melakukan perbuatannya itu dengan sengaja dilakukan dalam keadaan sangat perlu atau sengaja dilakukan dengan kepastian dan kesadaran. Teori membayangkan merumuskan bahwa apabila bayangan tentang akibat atau hal-hal yang turut mempengaruhi terjadinya akibat yang sebetulnya tidak langsung dikehendaki tetapi juga tidak dapat dielakkan maka boleh dikatakan bahwa perbuatan itu dengan sengaja dilakukan dalam keadaan sangat perlu atau sengaja dilakukan dengan kepastian dan kesadaran.
3.
Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus
eventualis atau voorwaardelijk-opzet). Dalam hal ini
keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi,
contoh: meracuni seorang bapak, yang kena anaknya.
Kesengajaan dengan kemungkinan berarti apabila dengan
dilakukannya perbuatan atau terjadinya suatu akibat yang dituju itu maka
disadari bahwa adaya kemungkinan akan timbul akibat lain. Dalam hal ini, ada
keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian ternyata benar-benar
terjadi. Jadi menurut teori ini untuk adanya kesengajaan diperlukan dua syarat:
a. Pelaku mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaanya
yang merupakan delik
b. Sikapnya terhadap kemungkinan itu apabila benar terjadi,
resiko tetap diterima untuk mencapai apa yang dimaksud.
Teori kesengajaan dengan kemungkinan adalah apabila dalam
gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka akan terjadi akibat
yang bersangkutan tanpa dituju. Maka harus ditinjau seandainya ada bayangan
kepastian, tidak hanya kemungkinan apakah perbuatan tetap akan dilakukan oleh
si pelaku. Kalau hal ini terjadi, dapat dikatakan bahwa akibat yang terang
dapat tidak dikehendaki dan yang mungkin akan terjadi itu tetap dipikul
pertanggungjawaban nya oleh si pelaku
Secara umum, para ahli
hukum pidana menyebutkan adanya 3 (tiga) macam bentuk kesengajaan (opzet),
yaitu:
1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als
oogmerk);
2. Kesengajaan dengan keinsafan pasti
(opzet als zekerheidsbewustzijn);
3. Kesengajaan dengan keinsafan
kemungkinan (dolus eventualis).
Sengaja sebagai maksud
menurut MvT adalah dikehendaki dan dimengerti; Kesengajaan dengan keinsafan pasti yaitu
si pelaku menyadari bahwa dengan melakukan perbuatan itu, pasti akan timbul
perbuatan lain;
Kesengajaan dengan keinsafan
kemungkinan (dolus eventualis) disebut juga “kesengajaan dengan kesadaran
kemungkinan”, bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan
suatu akibat tertentu.[3]
D.
Sifat Kesengajaan
Kesenggajaan memiliki 2 (dua) sifat,
yaitu:
1). Kesenggajaan
berwarna (gekleurd)
Sifat
kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup
pengetahuan si pelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang). Jadi harus ada
hubungan antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan hukumnya perbuatan.
Dikatakan, bahwa sengaja disini berarti dolus malus, artinya sengaja
untuk berbuat jahat. Jadi menurut pendirian yang pertama, untuk adanya
kesengajaan perlu bahwa si pelaku menyadari bahwa perbuatannya dilarang.
Penganutnya antara lain Zevenbergen, yang mengatakan bahwa:
“Kesengajaan
senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus, dengan perkataan lain dalam
kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan.”
Untuk
adanya kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada si pelaku ada kesadaran,
bahwa perbuatannya dilarang dan/ atau dapat dipidana.
2). Kesengajaan
tidak berwarna (kleurloos)
Kalau
dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna, maka itu berarti bahwa untuk
adanya kesengajaan cukuplah bahwa si pelaku itu menghendaki perbuatan yang
dilarang itu. Ia tak perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang/ sifat melawan
hukum. Dapat saja si pelaku dikatakan berbuat dengan sengaja, sedang ia tidak
mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang atau bertentangan dengan hukum.
Di
Indonesia sendiri menganut kesengajaan tidak berwarna karena di Indonesia
menganut doktrin fiksi hukum (seseorang dianggap mengetahui hukum yang ada).
Ada
dua pendapat teori mengenai sifat kesengajaan:
a.
Teori
kehendak (wils theorie) Teori ini dikemukakan oleh von Hippel dimana teori ini
menganggap kesengajaan ada apabila perbuatan dan akibat suatu tindak pidana
dikehendaki oleh si pelaku. Teori kehendak merumuskan bahwa apabila si pelaku
juga menghendaki akibat atau hal-hal yang turut mempengaruhi terjadinya akibat
yang terlebih dahulu telah dapat digambarkan dan tidak dapat dielakkan maka
boleh dikatakan bahwa si pelaku melakukan perbuatannya itu dengan sengaja
dilakukan.
b.
Teori membayangkan (voorstellings theorie) Teori
ini dikemukakan oleh Frank. Teori ini menganggap kesengajaan dan apabila si
pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan ada bayangan yang terang bahwa
akibat yang bersangkutan akan tercapai. Maka dari itu, ia menyesuaikan perbuatannya
dengan akibat itu.
Selain
itu, sifat kesengajaan juga terbagi menjadi dua berdasarkan sadar atau tidaknya
si pelaku melakukan tindak pidana yang melawan hukum,yaitu:
1.
Sifat kesengajaan yang berwarna (gekleund) Teori ini dianut oleh Sevenbergen yang
mengatakan: Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus, yang
berarti sengaja untuk berbuat jahat (boos opzet), sehingga dalam kesengajaan
harus adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan. Sifat
kesengajaan yang berwarna menjelaskan bahwa harus ada hubungan antara keadaan
batin si pelaku dengan melawan hukum perbuatannya, dimana untuk adanya
kesengajaan, si pelaku perlu menyadari bahwa perbuatannya itu dilarang.
2.
Sifat kesengajaan yang tidak berwarna (kleurloos) Teori ini dianut oleh Simons,
Pompe, Jonkers, dan M.v.T. Teori ini menyimpulkan bahwa cukuplah pelaku itu
menghendaki perbuatan yang dilarang dan tidak perlu mengetahui perbuatannya itu
dilarang.[4]
E.
Macam
Kesenggajaan
Dalam
doktrin ilmu hukum pidana, kesenggajaan (dolus) mengenal berbagai macam
kesenggajaan, antara lain:
a)
Aberratio
ictus, yaitu
dolus yang mana seseorang yang sengaja melakukan tindak pidana untuk tujuan
terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai objek yang lain.
b)
Dolus
premeditates,
yaitu dolus dengan rencana terlebih dahulu.
c)
Dolus
determinatus,
yaitu kesengajaan dengan tingkat kepastian objek, misalnya menghendaki matinya.
d)
Dolus
indeterminatus,
yaitu kesengajaan dengan tingkat ketidakpastian objek, misalnya menembak
segerombolan orang.
e)
Dolus
alternatives,
yaitu kesengajaan dimana pembuat dapat memperkirakan satu dan lain akbat.
Misalnya meracuni sumur.
f)
Dolus
directus, yaitu
kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya, tetapi juga kepada
akibat perbuatannya.
g)
Dolus
indirectus yaitu
bentuk kesengajaaan yang menyatakan bahwa semua akibat dari perbuatan yang
disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu dianggap
sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Misalnya dalam pertengkaran,
seseorang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan tergilas mobil (dolus ini
berlaku pada Code Penal Perancis, namun KUHP tidak menganut dolus ini).[5]
F.
Jenis
Kesengajaan
1.
Kesengajaan
yang Bersifat Tujuan
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat
tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh
khalayak ramai. Apabila kesenjangan seperti ini ada pada suau tindakan pidana,
si pelaku pantas dikenakan hukum pidana karena dengan adanya kesenjangan yang
bersifat tujuan ini, berarti si pelau benar-benar menghendaki mencapai suatu
akibat yang menjadi di pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.
2.
Kesengajaan
secara Keinsyafan Kepastian
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku
dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari
delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan
itu. Dengan kata lain, bahwa perbuatannya pasti akan menimbulkan akibat lain.
Tapi pelaku mengambil resiko terjadinya akibat lain demi tercapai akibat utidak
diserta bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bama.
3.
Kesengajaan
secara Keinsyafan Kemungkinan
Kesengajaan ini yang terang-terangan
tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadiakibat yang bersangkutan,
melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.[6]
G. Pengertian
Melawan Hukum
Menurut
bahasa Belanda, melawan hukum adalah wederrechtelijk
(weder: bertentangan dengan, melawan;
recht: hukum). Menurut Pendapat para
ahli di dalam buku Teguh Prasetyo mengenai pengertian melawan hukum antara lain
adalah dari:
a. Simon:
Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada umumnya.
b. Noyon:
Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain.
c. Pompe:
Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan pengertian yang lebih luas,
bukan hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis.
d. Van
hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/ wewenang.
e. Hoge
raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR melawan hukum adalah
tanpa hak atau tanpa kewenangan. (arrest 18-12-1911 W 9263).
f. Lamintang:
Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut antara lain disebabkan karena
dalam bahasa Belanda recht dapat berarti hukum” dan dapat berarti “hak.” Ia
mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata wederrechtelijk itu berarti “secara
tidak sah” yang dapat meliputi pengertian “bertentangan dengan hukum objektif”
dan “bertentangan dengan hak orang lain atau hukum subjektif”.[7]
Hoge
Raad berpendapat :“onrechmatig tidak lagi hanya berarti apa yang bertentangan
dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melainkan
juga apa yang bertentangan baik dengan tata susila maupun kepatutan dalam
pergaulan masyarakat.”[8]
Melawan
hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut
dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau normanorma
kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil) maka perbuatan
tersebut dapat dipidana. Menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk
undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa
unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Sifat ini juga
dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa. Jika unsur
melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan delik, maka unsur juga
harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan maka tidak perlu
dibuktikan.
Untuk
menentukan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan
unsur-unsur:
1)
Perbuatan tersebut melawan hukum;
2)
Harus ada kesalahan pada pelaku;
3)
Harus ada kerugian.[9]
Suatu
tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya
berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan melainkan juga
berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan
bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya faktor negara tidak dirugikan,
kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung.
Dalam
hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat
melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan
pidana.
Langemeyer
mengatakan untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang
tidak dipandang keliru, itu tidak masuk akal”. Mengenai ukuran daripada keliru
atau tidaknya suatu perbuatan tersebut ada dua pendapat yaitu :
1.
Yang
pertama ialah apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang maka
disitu ada kekeliruan. Letak perbuatan melawan hukumnya sudah ternyata, dari
sifat melanggarnya ketentuan undang-undang kecuali jika termasuk perkecualian
yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Dalam pendapat pertama ini
melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang.
Pendirian yang demikian disebut pendirian yang formal.
2.
Yang
kedua berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki
larangan undang-undang bersifat melawan hukum, karena menurut pendapat ini yang
dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, disamping undang-undang (hukum
yang tertulis) adapula hukum yang tidak tertulis yaitu norma-norma atau
kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian yang demikian
disebut pendirian yang materiil.
Yang
berpendapat formal untuk dapat dipidana perbuatan harus mencocoki rumusan delik
yang tersebut dalam wet, jika sudah demikian biasanya tidak perlu lagi untuk
menyelidiki apakah perbuatan melawan hukum atau tidak.
Selanjutnya menurut Simons[5] “hemat saya pendapat tentang sifat melawan hukum yang
materiil tidak dapat diterima, mereka yang menganut faham ini menempatkan kehendak
pembentuk undang-undang yang telah ternyata dalam hukum positif, dibawah
pengawasan keyakinan hukum dari hakim persoonlijk. Meskipun betul harus diakui
bahwa tidak selalu perbuatan yang mencocoki rumusan delik dalam wet adalah
bersifat melawan hukum, akan tetapi perkecualian yang demikian itu hanya boleh
diterima apabila mempunyai dasar hukum dalam hukum positif sendiri”.
Kiranya
perlu ditegaskan disini bahwa dimana peraturan-perautan hukum pidana kita
sebagian besar telah dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan
laian-lain perundang-undangan, maka pandangan tentang hukum dan sifat melawan
hukum materiil diatas hanya mempunyai arti dalam memperkecualikan perbuatan
yang meskipun masuk dalam perumusan undang-undang itu toh tidak merupakan perbuatan
pidana.
Akan
tetapi jika kita mengikuti pandangan yang materiil maka bedanya dengan
pandangan yang formal adalah :
a.
Mengakui
adanya pengecualian atau penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan
menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang
formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja.
b.
Sifat
melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan perbuatan pidana
juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang
bagi pandanagan yang formal sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada
perbuatan pidana, hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata nyata
barulah menjadi unsur delik.
Dengan
mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur perbuatan pidana, ini
tidak berarti bahwa karena itu harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut
oleh penuntut umum. Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung
dari rumusan delik yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata,
jika dalam rumusan delik unsur tersebut tidak dinyatakan maka juga tidak perlu
dibuktikan.
Adapun
konsekuensi daripada pendirian yang mengakui bahwa sifat melawan hukum
selalu menjadi unsur tiap-tiap delik adalah sebagai berikut :
a) Jika unsur melawan hukum tidak
tersebut dalam rumusan delik maka unsur itu dianggap dengan diam-diam telah
ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh pihak terdakwa.
b) Jika hakim ragu untuk menentukan
apakah unsur melawan hukum ini ada atau tidak maka dia tidak boleh menetapkan
adanya perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak mungkin dijatuhi pidana.
Menurut
Jonkers dan Langemeyer dalam hal iu terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan
hukum (ontslag van recht vervolging).
H.
Jenis-Jenis
Sifat Melawan Hukum
Ajaran
sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di
samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan hukum yang
formal dan materiil.
a.
Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal
Sifat
melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang undang. Sifat
melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan. Ajaran
sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua
unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah
tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut
harus juga disebutkan secara tegas dalam undangundang.
b.
Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil
Sifat
melawan hukum materiil merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang tidak hanya
terdapat di dalam undang-undang (yang tertulis), tetapi harus dilihat
berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu
dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturanaturan yang
tidak tertulis.[10]
Ajaran
sifat melawan hukum materiil adalah memenuhi semua unsur rumusan delik,
perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai
perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui
alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain, alasan pembenar
dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.
Menurut
D.Schaffmeister, et.al., pengertian melawan hukum itu ada 4
kelompok
yaitu:
1) Sifat
melawan hukum secara umum
Semua
delik tertulis atau tidak tertulis sebagai bagian inti delik dalam rumusan
delik, harus melawan hukum baru dapat dipidana, jadi tidak perlu dicantumkan di
dalam surat dakwaan adanya melawan hukum dan juga tidak perlu dibuktikan.
Contoh: pembunuhan
2) Sifat
melawan hukum secara khusus
Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999
yang secara tegas mencantumkan “melawan hukum” dengan sendirinya “melawan
hukum” harus dicantumkan di dalam surat dakwaan sehingga harus dibuktikan
adanya “melawan hukum”. Jika tidak dapat dibuktikan putusan bebas.
3) Sifat
melawan hukum secara materil
Bukan
perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi juga perbuatan
yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman di dalam pergaulan masyarakat
dipandang sebagai perbuatan melawan hukum
4) Sifat
melawan hukum secara formil[11]
Seluruh
bagian inti delik apabila sudah dipenuhi atau dapat dibuktikan, dengan
sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan hukum.
Menurut
Moeljatno ada perbedaan antara pandangan yang formal dengan pandangan yang
materiil, maka perbedannya yaitu :
1.
Mengakui adanya pengecualiaan / penghapusan dari sifat melawan hukumnya
perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan
pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam
undang-undang saja, misalnya Pasal 44 KUHP, mengenai kurang sempurnanya akal
seseorang atau karena sakit berubah akal, Pasal 48 KUHP, mengenai over macht,
49 KUHP, mengenai pembelaan terpaksa (noodweer); dan
2.
Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan pidana, juga
bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi
pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada
perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyatanyata,
barulah menjadi unsur delik.[12]
Menurut
Bambang Poernomo, sifat melawan hukumnya suatu perbuatan terdapat dua ukuran,
yaitu sifat melawan hukum yang formal atau formele wederrechttelijkheidsbegrip
dan sifat melawan hukum yang materiil atau materieele
wederrechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum formil apabila perbuatannya dilihat
semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, sesuai
dengan rumus delik dan pengecualiaannya, seperti daya paksa, pembelaan
terpaksa, itu pun karena ditentukan secara tertulis dalam undang-undang.
Sebaliknya, melawan hukum materiil, melihat perbuatan melawan hukum itu tidak
selalu bertentangan dengan peraturan perundangundangan, dan suatu perbuatan
yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan
yang tidak melawan hukum. Dengan demikian, dalam pandangan sifat melawan hukum
materiil, melawan hukum dapat diartikan baik melawan peraturan
perundang-undangan, maupun hukum di luar peraturan perundang-undangan.[13]
Timbul
dalam perkembangannya adalah pandangan “materieele wederrechttelijkheid” secara
negatif yang diartikan orang berbuat tidak melawan hukum apabila orang dengan
daya upaya betul-betul untuk tujuan yang berguna atau het juistemiddel tot het
juiste doel bezigde, yang diajukan oleh A. Grafzu Dohna dalam karangannya
tentang “ Die Rechtswidrigheit als algemeingultiges Markmal im Tatbestande
starfbarer handlungen”.[14]
Berdasarkan
Yuriprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia telah dimungkinkan penggunaan
sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Rangkuman
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menunjuk pada Putusan
Mahkamah Agung tanggal 27 Mei 1972, Nomor 72 K/Kr/1970, bahwa “Meskipun yang
dituduhkan adalah suatu delik formil, namun Hakim secara materiil harus
memperhatikan juga keadaan terdakwa atas dasar mana ia tak dapat dihukum atau
materieele wederrechttelijkheid.[15]
Dihadapkan
pada keberadaan asas legalitas, maka sesungguhnya hanya secara melawan hukum
dalam pengertian formil yang dapat diterima. Sifat melawan hukum dengan demikian
dalam pengertian materiil bertentangan dengan asas legalitas. Penerapan fungsi
negatif sifat melawan hukum materiil sesungguhnya juga tidak sejalan dengan
asas legalitas yang tersurat dalam Pasal 1
ayat (1) KUHP. Penerimaannya semata-mata didasarkan oleh doktrin dan
kemudian diikuti oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung, sedangkan fungsi positif
dari sifat melawan hukum materiil masih belum sepenuhnya dapat diterima dalam
penegakan hukum di Indonesia. Pikiran-pikiran kearah penerapan fungsi positif
dari sifat melawan hukum materiil telah muncul, namun tampaknya masih banyak
penolakan, termasuk oleh Mahkamah Konstitusi dalam Konteks UU Tindak Pidana
Korupsi. Dasar pikiran perlunya penerapan fungsi positif dari sifat melawan
hukum materiil di antaranya munculnya multipologi korupsi.[16]
Mengenai
pengertian sifat melawan hukum materiil, seperti telah disinggung pada bagian
awal, dibedakan dalam fungsinya yang negatif dan dalam fungsinya yang positif. Ajaran
sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif berarti mengakui
kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang menghapus sifat
melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi hal
tersebut sebagai alasan penghapusan sifat melawan hukum. Perkembangan
multipologi kejahatan baru yang dianggap koruptif, tercela, dan merugikan
masyarakat dalam skala yang sangat besar, seringkali kejahatan itu tidak
terjangkau oleh peraturan perundang-undangan tertulis yang ada sanksi
pidananya, dengan demikian, pelaku dapat bertindak secara bebas, dengan berlindung
di balik asas legalitas.[17]
[1]
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia.
Edisi Revisi. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 219
[5]
Marpaung. Unsur-Unsur Perbuatan
Yang Dapat Dihukum (Delik). (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h. 192
[6]
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum
Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. (Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem,
1986), h. 91
[7]
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. Politik
Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2005), h. 31
[8]Leden
Marpaung. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana.
(Jakarta : Sinar Grafika, 2005), h. 44
[9]
M. Tuanakotta Theodorus, Menghitung
Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi. (Jakarta: Salemba
Empat, 2009), h. 73
[10] Teguh Prasetyo,.op.,cit.,
halaman 34-35
[11]
Schaffmeister, Hukum Pidana,
diterjemahkan oleh J. E. Sahetapy. (Yogyakarta : Liberty, Cet. Kedua, 2003),
h. 39
[12]
Moeljatno , Asas-asas Hukum Pidana,
Rineka Cipta, (Jakarta, 2002), h. 134.
[13]
Bambang Poernomo , Asas-asas Hukum Pidana,
(Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994), h.
115.
[14] Ibid., h. 116.
mantap min
BalasHapus