Laman

Minggu, 17 November 2013

Kesengajaan dan Melawan Hukum dalam Hukum Pidana

A.    Pengertian Kesengajaan
Sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang ia perbuat atau dilakukan. KUHP tidak menerangkan mengenai arti atau definisi tentang kesengajaan atau dolus intent opzet. Tetapi Memorie van Toelichting (Memori Penjelasan) mengartikan kesengajaan sebagai menghendaki dan mengetahui. Kesengajaan harus memiliki ketiga unsur dari tindak pidana, yaitu perbuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Dalam Crimineel Wetboek (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana) tahun 1809 dijelaskan pengertian,”Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”
Menurut sejarah dahulu pernah direncanakan dalam undang-undang 1804 bahwa kesengajaan adalah kesengajaan jahat sebagai keinginan untuk bebuat tidak baik, juga pernah dicantumkan di dalam pasal 11 Criminal Wetboek 1809 yang menerangkan bahwa kesengajaan keinginan/maksud untuk melakukan perbuatan atau diharuskan oleh undang-undang. Di dalam WvSr tahun 1881 yang milai berlaku 1 September1886 tidak lagi mencantumkan arti kesengajaan seperti rancangan terdahulu.[1]

Seseorang yang berbuat dengan sengaja itu, harus dikehendaki apa yang diperbuat an harus diketahui pula atas apa yang diperbuat. Tidak termasuk perbuatan dengan sengaja adalah suatu gerakan yang ditimbulkan oleh reflek, gerakan tangkisan yang tidak dikendalikan oleh kesadaran.
Kesengajaan itu secara alternatif, dapat ditujukan kepada tiga elemen perbuatan pidana sehingga terwujud kesengajaan terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap akibat dan kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana.
Teori kehandak yang diajarkan oleh Von Hippel (Jerman) dengan karanganya tentang “Die Grenze von Vorzatz und Fahrlassigkeit” 1903 menerangkan bahwa sengaja adalah kehendak untuk membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatn itu, dengan katta alin apabila seseorang melakukan perbuatan yang tertentu, tentu saja melakukannya itu kehendak menimbulkan akibat tertentu pula, karena ia melakukan perbuatan itu justru dapat dikatan bahwa ia menghendaki akibatnaya, ataupun hal ikhwal yang menyertai.
Teori pengetahuan/dapat membayangkan/persangkaan yang diajarkan oleh Frank (Jerman) dengan karanganya tentang “Vorstelung un Wille in der Moderner Doluslehre” 1907, menerangkan bahwa tidaklah mungkin sesuatu akibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikatakan oleh pembuatnya tentu dapat dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat membayangkan/menyangka terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai.
Menurt teori keehendak (willstheorie) adalah hal baik terhadap perbuatnnya maupun terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertai, dapat dikehendaki oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat dapat ditujukan kepada perbuatan, akibat dan hal ikhwal yang menyertai. Sebaliknya menurut teori pengetahuian/membayangkan/persangkaan (voorstellingstheorie) bahwa akibat atau hal ikhwal yang menyertai itu tidak dapat dikehendaki oleh si pembuat, sehingga kesengajaan si pembuat hanya dapat dtujukan kepada perbuatan saja.
Dalam kehidupan sehari- hari memang seseorang yang hendak membunuh orang lain, lau menembakkan pistol dan pelurunya meletus ke arah sasaran, maka perbuatan menembak itu dikehendaki oleh si pembuat, akan tetapi akibatnya belum tentu timbul karena meleset pelurunya, yang oleh karena itu si pembuat bukannya menghendaki akibatnya melainkan hanya dapat membayangkan/menyangka (voorstellen) bahwa akibat perbuatannya itu akan timbul. Akibat mati seperti itu tidak tergantung pada kehendak manusia, dan tepatlah alam pikiran dari voorstellingstheorie. De voorstellingstheorie dari Frank menjadi teori yang banyak penganutnya, dan oleh aprof. Moeljanto,S.H untuk teori ini diikuti jalan piikiran bahwa voorstellingstheorielebih memuaskan karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan (gambaran) dimana seseorang untuk menghendaki sesuatu lebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu , lagi pula kehendal merupakan arah, maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif (alsan pendorong untuk berbuat) dan tujuannya perbuatan
Dalam Memorie van Toelichting (MvT) Menteri Kehakiman pada waktu mengajukan Crimineel Wetboek  tahun 1881 (kemudian menjadi Kitab Undang – Undang Hukum Pidana tahun 1951), dimuat antara lain bahwa kesengajaan itu adalah dengan sadar berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu (de bewuste richting van den wil op een bepaald misdrijf);
Menurut Prof. Sathochid Kartanegara, yang dimaksud dengan opzet willens en weten (dikehendaki dan diketahui) adalah “Seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki (willen) perbuatan itu serta harus menginsafi atau mengerti (weten) akan akibat dari perbuatan itu”; “Kehendak” dapat ditujukan terhadap:
a.    Perbuatan yang dilarang;
b.    Akibat yang dilarang
Kesengajaan dalam hukum pidana adalah merupakan bagian dari kesalahan. Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan (yang terlarang) dibanding dengan kealpaan (culpa). Karenanya ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat, apabila adanya kesenggajaan daripada dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindakan pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, ia merupakan suatu kejahatan seperti misalnya penggelapan (pasal 372 KUHP). Merusak barang-barang (Pasal 406 KUHP) dan lain sebagainya.
Lalu apa itu yang disebut dengan kesenggajaan? KUHP kita tidak memberi definisi mengenai hal tersebut. Lain halnya dengan KUHP Swiss dimana dalam pasal 18 dengan tegas ditentukan: “Barang siapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja”.
Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yaitu “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”. Dalam pengertian ini disebutkan bahwa kesengajaan diartikan sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta menginsafi tindakan tersebut dan/ atau akibatnya. Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu dan akibat yang akan timbul daripadanya.
B.     Teori-Teori Kesengajaan
Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi “menghendaki dan mengetahui” itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut 2 (dua) teori sebagai berikut:
1). Teori kehendak (wilstheorie)
Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang (Simons dan Zevenbergen).
2). Teori pengetahuan / membayangkan (voorstellingtheorie)
Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat (Frank).
Terhadap perbuatan yang dilakukan si pelaku kedua teori itu tak ada menunjukkan perbedaan, kedua-duanya mengakui bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat. Dalam praktek penggunaannya, kedua teori adalah sama. Perbedaannya adalah hanya dalam peristilahannya saja.
Pengertian “kesengajaan” dalam hukum pidana dikenal 2 (dua) teori, yaitu:
1.Teori Kehendak (Wilstheorie)
2. Teori Membayangkan (Voorstellingstheorie);
Teori Kehendak (Wilstheorie) dikemukakan oleh Von Hippel dalam bukunya Die Grenze Vorsatz und Fahrlassigkeit tahun 1903, yang menyatakan kesengajaan adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu. Akibat dikehendaki apabila akibat itu yang menjadi maksud dari tindakan tersebut;
Teori membayangkan (Voorstellingstheorie) dikemukakan oleh Frank dalam bukunya Festschrift Gieszen tahun 1907 yang menyatakan bahwa manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat; manusia hanya dapat mengingini, mengharapkan dan membayangkan (voorstellen) kemungkinan adanya suatu akibat;  
Teori tentang kehendak terbagi menjadi 2 (dua) ajaran, yaitu:
1.  Determinisme, berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Manusia melakukan suatu perbuatan didorong oleh beberapa hal, baik yang berasal dari dalam dirinya maupun dari luar dirinya;
2.  Indeterminisme, aliran ini muncul sebagai reaksi dari aliran determinasi, yang menyatakan bahwa walaupun untuk melakukan sesuatu perbuatan dipengaruhi oleh bakat dan milieu, manusia dapat menentukan kehendaknya secara bebas;
Aliran Determinisme tidak dapat diterapkan dalam hukum pidana karena akan menimbulkan kesulitan dalam hal pertanggungjawaban. Sehingga muncul Determinisme Moldern yang menyatakan bahwa Manusia adalah anggota masyarakat, dan sebagai anggota masyarakat apabila melanggar ketertiban umum, maka ia bertanggungjawab atas perbuatannya.[2]
C.    Bentuk Kesengajaan
Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan dari kesengajaan sebagai berikut:
1.      Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (dolus directus). Dalam hal ini pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang.
Kesengajaan sebagai maksud adalah perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku atau terjadinya suatu akibat dari perbuatan si pelaku adalah memang menjadi tujuannya. Tujuan tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan tidak ada yang menyangkal bahwa si pelaku pantas dikenai hukuman pidana. Dengan kata lain, si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman hukuman pidana. Menurut teori kehendak, sengaja sebagai maksud karena apa yang dimaksud telah dikehendakinya. Sedangkan menurut teori bayangan, sengaja sebagai maksud karena bayangan tentang akibat yang dimaksud itu telah mendorong si pembuat untuk melakukan perbuatan yang bersangkutan.
2.      Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn). Dalam hal ini perbuatan berakibat yang dituju namun akibatnya yang tidak diinginkan tetapi suatu keharusan mencapai tujuan, contoh Kasus Thomas van Bremenhaven.
Kesengajaan dengan sadar kepastian adalah apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari perbuatn pidana. Tetapi, ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatannya tersebut. Maka dari itu, sebelum sungguh-sungguh terjadi akibat perbuatannya, si pelaku hanya dapat mengerti atau dapat menduga bagaimana akibat perbuatannya nanti atau apa-apa yang akan turut mempengaruhi terjadinya akibat perbuatan itu. Dalam bentuk ini, perbuatan pelaku mempunyai dua akibat, yaitu yang pertama, akibat yang memang dituju si pelaku yang dapat merupakan delik tersendiri atau bukan. Yang kedua, akibat yang tidak diinginkan tapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam akibat pertama.
Teori kehendak merumuskan bahwa apabila pelaku juga menghendaki akibat atau hal-hal yang turut mempengaruhi terjadinya akibat yang terlebih dahulu telah dapat digambarkan dan tidak dapat dielakkan maka boleh dikatakan bahwa pelaku melakukan perbuatannya itu dengan sengaja dilakukan dalam keadaan sangat perlu atau sengaja dilakukan dengan kepastian dan kesadaran. Teori membayangkan merumuskan bahwa apabila bayangan tentang akibat atau hal-hal yang turut mempengaruhi terjadinya akibat yang sebetulnya tidak langsung dikehendaki tetapi juga tidak dapat dielakkan maka boleh dikatakan bahwa perbuatan itu dengan sengaja dilakukan dalam keadaan sangat perlu atau sengaja dilakukan dengan kepastian dan kesadaran.
3.      Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet). Dalam hal ini keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi, contoh: meracuni seorang bapak, yang kena anaknya.
Kesengajaan dengan kemungkinan berarti apabila dengan dilakukannya perbuatan atau terjadinya suatu akibat yang dituju itu maka disadari bahwa adaya kemungkinan akan timbul akibat lain. Dalam hal ini, ada keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian ternyata benar-benar terjadi. Jadi menurut teori ini untuk adanya kesengajaan diperlukan dua syarat:

a. Pelaku mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaanya yang merupakan delik
b. Sikapnya terhadap kemungkinan itu apabila benar terjadi, resiko tetap diterima untuk mencapai apa yang dimaksud.
Teori kesengajaan dengan kemungkinan adalah apabila dalam gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka akan terjadi akibat yang bersangkutan tanpa dituju. Maka harus ditinjau seandainya ada bayangan kepastian, tidak hanya kemungkinan apakah perbuatan tetap akan dilakukan oleh si pelaku. Kalau hal ini terjadi, dapat dikatakan bahwa akibat yang terang dapat tidak dikehendaki dan yang mungkin akan terjadi itu tetap dipikul pertanggungjawaban nya oleh si pelaku
Secara umum, para ahli hukum pidana menyebutkan adanya 3 (tiga) macam bentuk kesengajaan (opzet), yaitu:
1.  Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk);
2.  Kesengajaan dengan keinsafan pasti (opzet als zekerheidsbewustzijn);
3.  Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis).
Sengaja sebagai maksud menurut MvT adalah dikehendaki dan dimengerti; Kesengajaan dengan keinsafan pasti yaitu si pelaku menyadari bahwa dengan melakukan perbuatan itu, pasti akan timbul perbuatan lain;
Kesengajaan dengan keinsafan kemungkinan (dolus eventualis) disebut juga “kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan”, bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu.[3]
D.    Sifat Kesengajaan
Kesenggajaan memiliki 2 (dua) sifat, yaitu:
1). Kesenggajaan berwarna (gekleurd)
Sifat kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup pengetahuan si pelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang). Jadi harus ada hubungan antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan hukumnya perbuatan. Dikatakan, bahwa sengaja disini berarti dolus malus, artinya sengaja untuk berbuat jahat. Jadi menurut pendirian yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu bahwa si pelaku menyadari bahwa perbuatannya dilarang. Penganutnya antara lain Zevenbergen, yang mengatakan bahwa:
“Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus, dengan perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan.”
Untuk adanya kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada si pelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya dilarang dan/ atau dapat dipidana.
2). Kesengajaan tidak berwarna (kleurloos)
Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna, maka itu berarti bahwa untuk adanya kesengajaan cukuplah bahwa si pelaku itu menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang/ sifat melawan hukum. Dapat saja si pelaku dikatakan berbuat dengan sengaja, sedang ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang atau bertentangan dengan hukum.
Di Indonesia sendiri menganut kesengajaan tidak berwarna karena di Indonesia menganut doktrin fiksi hukum (seseorang dianggap mengetahui hukum yang ada).
Ada dua pendapat teori mengenai sifat kesengajaan:
a.       Teori kehendak (wils theorie) Teori ini dikemukakan oleh von Hippel dimana teori ini menganggap kesengajaan ada apabila perbuatan dan akibat suatu tindak pidana dikehendaki oleh si pelaku. Teori kehendak merumuskan bahwa apabila si pelaku juga menghendaki akibat atau hal-hal yang turut mempengaruhi terjadinya akibat yang terlebih dahulu telah dapat digambarkan dan tidak dapat dielakkan maka boleh dikatakan bahwa si pelaku melakukan perbuatannya itu dengan sengaja dilakukan.
b.       Teori membayangkan (voorstellings theorie) Teori ini dikemukakan oleh Frank. Teori ini menganggap kesengajaan dan apabila si pelaku pada waktu mulai melakukan perbuatan ada bayangan yang terang bahwa akibat yang bersangkutan akan tercapai. Maka dari itu, ia menyesuaikan perbuatannya dengan akibat itu.
Selain itu, sifat kesengajaan juga terbagi menjadi dua berdasarkan sadar atau tidaknya si pelaku melakukan tindak pidana yang melawan hukum,yaitu:
1. Sifat kesengajaan yang berwarna (gekleund) Teori ini dianut oleh Sevenbergen yang mengatakan: Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus, yang berarti sengaja untuk berbuat jahat (boos opzet), sehingga dalam kesengajaan harus adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan. Sifat kesengajaan yang berwarna menjelaskan bahwa harus ada hubungan antara keadaan batin si pelaku dengan melawan hukum perbuatannya, dimana untuk adanya kesengajaan, si pelaku perlu menyadari bahwa perbuatannya itu dilarang.
2. Sifat kesengajaan yang tidak berwarna (kleurloos) Teori ini dianut oleh Simons, Pompe, Jonkers, dan M.v.T. Teori ini menyimpulkan bahwa cukuplah pelaku itu menghendaki perbuatan yang dilarang dan tidak perlu mengetahui perbuatannya itu dilarang.[4]

E.     Macam Kesenggajaan
Dalam doktrin ilmu hukum pidana, kesenggajaan (dolus) mengenal berbagai macam kesenggajaan, antara lain:
a)      Aberratio ictus, yaitu dolus yang mana seseorang yang sengaja melakukan tindak pidana untuk tujuan terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai objek yang lain.
b)      Dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana terlebih dahulu.
c)      Dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat kepastian objek, misalnya menghendaki matinya.
d)     Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat ketidakpastian objek, misalnya menembak segerombolan orang.
e)      Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dimana pembuat dapat memperkirakan satu dan lain akbat. Misalnya meracuni sumur.
f)       Dolus directus, yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya, tetapi juga kepada akibat perbuatannya.
g)      Dolus indirectus yaitu bentuk kesengajaaan yang menyatakan bahwa semua akibat dari perbuatan yang disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Misalnya dalam pertengkaran, seseorang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan tergilas mobil (dolus ini berlaku pada Code Penal Perancis, namun KUHP tidak menganut dolus ini).[5]

F.     Jenis Kesengajaan

1.      Kesengajaan yang Bersifat Tujuan
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai. Apabila kesenjangan seperti ini ada pada suau tindakan pidana, si pelaku pantas dikenakan hukum pidana karena dengan adanya kesenjangan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelau benar-benar menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi di pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.
2.      Kesengajaan secara Keinsyafan Kepastian
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu. Dengan kata lain, bahwa perbuatannya pasti akan menimbulkan akibat lain. Tapi pelaku mengambil resiko terjadinya akibat lain demi tercapai akibat utidak diserta bayangan suatu kepastian akan terjadi akibat yang bama.
3.         Kesengajaan secara Keinsyafan Kemungkinan
Kesengajaan ini yang terang-terangan tidak disertai bayangan suatu kepastian akan terjadiakibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.[6]



G.    Pengertian Melawan Hukum

Menurut bahasa Belanda, melawan hukum adalah wederrechtelijk (weder: bertentangan dengan, melawan; recht: hukum). Menurut Pendapat para ahli di dalam buku Teguh Prasetyo mengenai pengertian melawan hukum antara lain adalah dari:
a.       Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum pada umumnya.
b.      Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orang lain.
c.       Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum dengan pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan dengan undang-undang  tetapi juga dengan hukum yang tidak tertulis.
d.      Van hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/ wewenang.
e.       Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut HR melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan. (arrest 18-12-1911 W 9263).
f.       Lamintang: Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut antara lain disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat berarti hukum” dan dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata wederrechtelijk itu berarti “secara tidak sah” yang dapat meliputi pengertian “bertentangan dengan hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang lain atau hukum subjektif”.[7]
Hoge Raad berpendapat :“onrechmatig tidak lagi hanya berarti apa yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, melainkan juga apa yang bertentangan baik dengan tata susila maupun kepatutan dalam pergaulan masyarakat.”[8]
Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau normanorma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil) maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa. Jika unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan delik, maka unsur juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan.
Untuk menentukan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur-unsur:
1) Perbuatan tersebut melawan hukum;
2) Harus ada kesalahan pada pelaku;
3) Harus ada kerugian.[9]
Suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam perundang-undangan melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung.
Dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana.
Langemeyer mengatakan untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dipandang keliru, itu tidak masuk akal”. Mengenai ukuran daripada keliru atau tidaknya suatu perbuatan tersebut ada dua pendapat yaitu :
1.      Yang pertama ialah apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang maka disitu ada kekeliruan. Letak perbuatan melawan hukumnya sudah ternyata, dari sifat melanggarnya ketentuan undang-undang kecuali jika termasuk perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Dalam pendapat pertama ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. Pendirian yang demikian disebut pendirian yang formal.
2.      Yang kedua berpendapat bahwa belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat melawan hukum, karena menurut pendapat ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang saja, disamping undang-undang (hukum yang tertulis) adapula hukum yang tidak tertulis yaitu norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian yang demikian disebut pendirian yang materiil.
Yang berpendapat formal untuk dapat dipidana perbuatan harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam wet, jika sudah demikian biasanya tidak perlu lagi untuk menyelidiki apakah perbuatan melawan hukum atau tidak.
Selanjutnya menurut Simons[5] “hemat saya pendapat tentang sifat melawan hukum yang materiil tidak dapat diterima, mereka yang menganut faham ini menempatkan kehendak pembentuk undang-undang yang telah ternyata dalam hukum positif, dibawah pengawasan keyakinan hukum dari hakim persoonlijk. Meskipun betul harus diakui bahwa tidak selalu perbuatan yang mencocoki rumusan delik dalam wet adalah bersifat melawan hukum, akan tetapi perkecualian yang demikian itu hanya boleh diterima apabila mempunyai dasar hukum dalam hukum positif sendiri”.
Kiranya perlu ditegaskan disini bahwa dimana peraturan-perautan hukum pidana kita sebagian besar telah dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan laian-lain perundang-undangan, maka pandangan tentang hukum dan sifat melawan hukum materiil diatas hanya mempunyai arti dalam memperkecualikan perbuatan yang meskipun masuk dalam perumusan undang-undang itu toh tidak merupakan perbuatan pidana.
Akan tetapi jika kita mengikuti pandangan yang materiil maka bedanya dengan pandangan yang formal adalah :
a.       Mengakui adanya pengecualian atau penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja.
b.      Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan perbuatan pidana juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandanagan yang formal sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana, hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata nyata barulah menjadi unsur delik.
Dengan mengakui bahwa sifat melawan hukum selalu menjadi unsur perbuatan pidana, ini tidak berarti bahwa karena itu harus selalu dibuktikan adanya unsur tersebut oleh penuntut umum. Soal apakah harus dibuktikan atau tidak, adalah tergantung dari rumusan delik yaitu apakah dalam rumusan unsur tersebut disebutkan dengan nyata-nyata, jika dalam rumusan delik unsur tersebut tidak dinyatakan maka juga tidak perlu dibuktikan.
Adapun konsekuensi daripada pendirian yang mengakui bahwa  sifat melawan hukum selalu menjadi unsur tiap-tiap delik adalah sebagai berikut :
a)      Jika unsur melawan hukum tidak tersebut dalam rumusan delik maka unsur itu dianggap dengan diam-diam telah ada, kecuali jika dibuktikan sebaliknya oleh pihak terdakwa.
b)      Jika hakim ragu untuk menentukan apakah unsur melawan hukum ini ada atau tidak maka dia tidak boleh menetapkan adanya perbuatan pidana dan oleh karenanya tidak mungkin dijatuhi pidana.
Menurut Jonkers dan Langemeyer dalam hal iu terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van recht vervolging).
H.    Jenis-Jenis Sifat Melawan Hukum
Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan hukum yang formal dan materiil.
a. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal
Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undangundang.
b. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil
Sifat melawan hukum materiil merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang (yang tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturanaturan yang tidak tertulis.[10]
Ajaran sifat melawan hukum materiil adalah memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.
Menurut D.Schaffmeister, et.al., pengertian melawan hukum itu ada 4
kelompok yaitu:
1)      Sifat melawan hukum secara umum
Semua delik tertulis atau tidak tertulis sebagai bagian inti delik dalam rumusan delik, harus melawan hukum baru dapat dipidana, jadi tidak perlu dicantumkan di dalam surat dakwaan adanya melawan hukum dan juga tidak perlu dibuktikan. Contoh: pembunuhan
2)      Sifat melawan hukum secara khusus
Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 yang secara tegas mencantumkan “melawan hukum” dengan sendirinya “melawan hukum” harus dicantumkan di dalam surat dakwaan sehingga harus dibuktikan adanya “melawan hukum”. Jika tidak dapat dibuktikan putusan bebas.
3)      Sifat melawan hukum secara materil
Bukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan, kelaziman di dalam pergaulan masyarakat dipandang sebagai perbuatan melawan hukum
4)      Sifat melawan hukum secara formil[11]
Seluruh bagian inti delik apabila sudah dipenuhi atau dapat dibuktikan, dengan sendirinya dianggap perbuatan itu telah melawan hukum.
Menurut Moeljatno ada perbedaan antara pandangan yang formal dengan pandangan yang materiil, maka perbedannya yaitu :
1. Mengakui adanya pengecualiaan / penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja, misalnya Pasal 44 KUHP, mengenai kurang sempurnanya akal seseorang atau karena sakit berubah akal, Pasal 48 KUHP, mengenai over macht, 49 KUHP, mengenai pembelaan terpaksa (noodweer); dan
2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan yang formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyatanyata, barulah menjadi unsur delik.[12]
Menurut Bambang Poernomo, sifat melawan hukumnya suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu sifat melawan hukum yang formal atau formele wederrechttelijkheidsbegrip dan sifat melawan hukum yang materiil atau materieele wederrechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum formil apabila perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, sesuai dengan rumus delik dan pengecualiaannya, seperti daya paksa, pembelaan terpaksa, itu pun karena ditentukan secara tertulis dalam undang-undang. Sebaliknya, melawan hukum materiil, melihat perbuatan melawan hukum itu tidak selalu bertentangan dengan peraturan perundangundangan, dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak melawan hukum. Dengan demikian, dalam pandangan sifat melawan hukum materiil, melawan hukum dapat diartikan baik melawan peraturan perundang-undangan, maupun hukum di luar peraturan perundang-undangan.[13]
Timbul dalam perkembangannya adalah pandangan “materieele wederrechttelijkheid” secara negatif yang diartikan orang berbuat tidak melawan hukum apabila orang dengan daya upaya betul-betul untuk tujuan yang berguna atau het juistemiddel tot het juiste doel bezigde, yang diajukan oleh A. Grafzu Dohna dalam karangannya tentang “ Die Rechtswidrigheit als algemeingultiges Markmal im Tatbestande starfbarer handlungen”.[14]
Berdasarkan Yuriprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia telah dimungkinkan penggunaan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menunjuk pada Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Mei 1972, Nomor 72 K/Kr/1970, bahwa “Meskipun yang dituduhkan adalah suatu delik formil, namun Hakim secara materiil harus memperhatikan juga keadaan terdakwa atas dasar mana ia tak dapat dihukum atau materieele wederrechttelijkheid.[15]
Dihadapkan pada keberadaan asas legalitas, maka sesungguhnya hanya secara melawan hukum dalam pengertian formil yang dapat diterima. Sifat melawan hukum dengan demikian dalam pengertian materiil bertentangan dengan asas legalitas. Penerapan fungsi negatif sifat melawan hukum materiil sesungguhnya juga tidak sejalan dengan asas legalitas yang tersurat dalam Pasal 1  ayat (1) KUHP. Penerimaannya semata-mata didasarkan oleh doktrin dan kemudian diikuti oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung, sedangkan fungsi positif dari sifat melawan hukum materiil masih belum sepenuhnya dapat diterima dalam penegakan hukum di Indonesia. Pikiran-pikiran kearah penerapan fungsi positif dari sifat melawan hukum materiil telah muncul, namun tampaknya masih banyak penolakan, termasuk oleh Mahkamah Konstitusi dalam Konteks UU Tindak Pidana Korupsi. Dasar pikiran perlunya penerapan fungsi positif dari sifat melawan hukum materiil di antaranya munculnya multipologi korupsi.[16]
Mengenai pengertian sifat melawan hukum materiil, seperti telah disinggung pada bagian awal, dibedakan dalam fungsinya yang negatif dan dalam fungsinya yang positif. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif berarti mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapusan sifat melawan hukum. Perkembangan multipologi kejahatan baru yang dianggap koruptif, tercela, dan merugikan masyarakat dalam skala yang sangat besar, seringkali kejahatan itu tidak terjangkau oleh peraturan perundang-undangan tertulis yang ada sanksi pidananya, dengan demikian, pelaku dapat bertindak secara bebas, dengan berlindung di balik asas legalitas.[17]



[1] R. Abdoel Djamali,  Pengantar Hukum Indonesia. Edisi Revisi. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 219
[2] P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. (Bandung: Sinar Baru, 1984), h. 311

[3] W Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia. (Jakarta: P.T.Eresco, 1981), h. 113
[4] Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, (Rineka Cipta. Jakarta. 2002), h. 132

[5] Marpaung. Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik). (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), h. 192
[6] S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. (Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1986), h. 91

[7] Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), h. 31
[8]Leden Marpaung. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), h. 44
[9] M. Tuanakotta Theodorus, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi. (Jakarta: Salemba Empat, 2009), h. 73
[10] Teguh Prasetyo,.op.,cit., halaman 34-35
[11] Schaffmeister, Hukum Pidana, diterjemahkan oleh J. E. Sahetapy. (Yogyakarta : Liberty, Cet. Kedua, 2003), h. 39
[12] Moeljatno , Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, (Jakarta, 2002), h. 134.
[13] Bambang Poernomo , Asas-asas Hukum Pidana, (Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994),  h. 115.
[14] Ibid., h. 116.
[15] Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Op. Cit., h. 61
[16] Ibid., h. 62
[17] Ibid., h. 65

1 komentar: