A. Pengertian Perkawinan dan
Perceraian Beda Agama
Pengertian perkawinan beda agama adalah perkawinan
antara laki-laki dan perempuan yang berbeda keyakinannya, sekiranya dalam
peraturan melarang seorang pemeluk agama untuk kawin dengan pemeluk agama lain,
maka biasanya salah seorang dari mereka mengalah dan beralih kepada agamapihak
lain. tetapi sering juga terjadi bakal suami atau istri yang masing-masing
memegang teguh terhadap kepercayaan yang telah dianutnya dan tetap memeluk
agamanya masing-masing.
Namun demikian, oleh
karena itu Undang-Undang perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan antar
agama, maka kenyataan yang sering terjadi dalam masyarakat apabila ada dua
orang yang berbeda agama akan mengadakan perkawinan sering mengalami hambatan.
hal ini disebabkan anatara lain karena pejabat pelaksana perkawinan dan
pemimpin agama menganggap perkawinanan yang demikian dilarang oleh agama,
karenanya bertentangan dengan undang-undang perkawinan. perceraian terjadi
apabila kedua belah pihak baik suami atau istri sudah sama-sama merasakan
ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga. undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak memberikan defenisi
mengenai perceraian secara khusus. pasal 39 ayat (2) UU perkawinan serta
penjelasannya secara jelas menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila
sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan. defenisi perceraian di
pengadilan agama itu, dilihat dari putusnya perkawinan.[1]
B. Kewenangan Pengadilan Terhadap
Perkara Perceraian Beda Agama
Kewenangan pengadilan agama dibagi menjadi dua bagian
yaitu kewenangan relative dan kewenangan absolute. kewenangan relative mencakup
dalam hal wilayah hukum mengadili suatu perkara, sedangkan kewenangan absolute
mencakup segala materi yang menjadi perkara peradilan agama.
Dari uraian di atas
dapat dikatakan bahwa Peradilan Agma merupakan salah satu dari badan peradilan
Negara atau kekuasaan kehakiman yang sah disamping tiga kekuasaan kehakiman yang
lain. adapun kekuasaan kehakiman di lingkungan badan Pengadilan Agama terdiri
dari:
- Pengadilan Agama, sebagai pengadilan tingkat
pertama yang berkedudukan di Kota Madya atau Ibu Kota Kabupaten atau
Kabupaten.
- Pengadilan Tinggi Agama adalah pengadilan
tingkat banding yang berkeduudkan di Ibu kota propinsi dan daerah hukumnya
meliputi wilayah priovinsi.
Tugas dan wewenang
Pengadilan Agama hanya untuk menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan
perkara tertentu saja tidak secara umum. maka dapat disimpulkan bahwa pada
prinsipnya kekuasaan Pengadilan Agama
hanya berkompeten pada hal perdata Islam secara umum dan terbatas. selain itu
pengadilan agama hanya menangani perkara
bagi mereka yang beragama Islam saja dan tidak di luar Islam
Adapun wewenang Pengadilan
Agama sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1989 adalah:
Pasal 49 ayat (1)
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutuskan dan meneylesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang:
- Perkawinan
- Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan
berdasrkan hukm Islam
- Wakaf dan shodaqoh
Ayat (2)
Bidang perkara sebagaimana yang dimaksud ayat (1) huruf (a) adalah
hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkara yang
berlaku.
Ayat (3)
Bidang kewarisan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf (b) adalah penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan
masing-masing bagia ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peningggalan
tersebut.
Pada Pengadilan Agma
alasan dan pertimbangann hakim dalam memutusperkara dengan melihat dan
memperhatikan secra kronologis, rinci atau stau persatu dari kedua belah pihak
penggugat dan tergugat abik itu berupa alat bukti surat, saksi,pengakuan dan
sebagainya. sbeelum adanya putusan, hakim mempertimbangkan keterangan yang
diajukan kkedua belah pihak, yaitupenggugat dan tergugat apakah rumah tangganya
goyah karena adanya peselisihan agama sehingga terjadi pertengkarannterus menerus.
bilamana dalam suatu perkawinan terdapat
keadaan yang demikian maka akan terjadi keretakan hubungan perkawinan antara
suami istri tersebut. apabila dilihat
dari beberapa segi tidak adanya kebaikan, maka salah satu jalan yang dapat
ditempu adalah perceraian.[2]
Perkawinan beda agama
merupakan salah satu hal yang prinsi dalam hukum Islam. oleh karena itu,dapat
dimungkinkan saat perkawinan kedua mempelai beragama Islam, tetapi setelah
menjalani salah satu pihak mempelai memeluk agama lain. berkenaan dengan hal
itu, menurut pasal 116 huruf k Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan tegas
ditentukan bahwa peralihan agama yang meneybabkan terrjadinya ketidakrukunan
dalan rumah tangga sebagai penyebab atau alasan terjadi perceraian.
Jika hal tersebut
terjadi, maka akibat dari perceraian tersebut adalah berimbas pada hal
perwalian Hadhonah. Menurut pasal 105 KHI ditentyukan sebagai berikut:
- Pemeliharaan anak yang
belum mumayyiz atau berumur 12 tahun
adalah hak ibunya
- Pemeliharaan anak yang
sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
- Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya
Berdasarkan urauan diatas dapat pula disimpulkan bbahwa
hak pemeliharaan anak berada pada ibunya. hal ini diharapkan agar tidak terjadi
pergantian agama kembali yang nantinya
akan embingungkan anak-anak tersebut, yang beklum dewasa dalam menerima
pemahaman agama yang berbeda-beda pula. dalam hal ini sudah menjadi ketentuan
yang mengikat bila terjadi terus menerus ketetuan-ketentuan dalam KHI,
sbegaimana yang telah tertuang dalam instruiksi Presiden Pepublik Indonesia No 1
tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.
Selain itu, peraturan
hukum yang mengatur tentang penegakan hukum Islam di pengadilan agama adalah
undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama jo Undang-undang No. 3
tahun 2006 tentang perubahan atas undang-undang RI no. 7 tahun 1989 tentang peradilan
agama. Meskipun demikian ketentuan hukum acara perdata juga diberlakukan,
karena berdasarkan pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 ditentukan bahwa “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
undnag-undang ini.”
Sifat kekhususan Hukum
Acara Peradilan Agama tampak dalam salah satu asas hukum acara yang diatur
dalam UU No. 7 tahun 1989 yaitu asas persolitas
keislaman, menetukan bahwa peradilam agama hanya berlaku bagi penganut
agama islam dengan hubungan hukum yang erlandas pada hukum islam dan menjadi
wewenang dari pengadilan agama. Berarti unsur memeluk agama Islam merupakan
unsur utama kemudia dilihat hubungan hukum didasrkan pada hukum Ilam pula.
Hingga jika terjadi perceraian berbeda agama di mana perkawinan awalnya
sama-sama beragama Islam, lalau salah satu pihak beralih agama nin Islam maka
hukum yang berlaku bukanlah hukum yang melahirkan hubungan hukum perkawinan
tetapi hukum dari si penggugat yaitu ibu.[3]
[1]
Chuzaimah T. Yanggo, Perkawinan Berbeda
Agana Neburut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 102
[2] M.
Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), h. 215
[3] M.
Idris Ramulyo. Beberapa Masalah Tentang
Hukum Acara Perdata, Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta:
Ind-Hill,1985), h. 96
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Ramulyo, M. Idris. Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara
Perdata, Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Ind-Hill, 1985
Yanggo, Chuzaimah T. Perkawinan Berbeda Agana Neburut Hukum Islam.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994
Tidak ada komentar:
Posting Komentar