Laman

Minggu, 17 November 2013

Kewenangan Pengadilan Agama Terhadap Perceraian Beda Agama

A. Pengertian Perkawinan dan Perceraian Beda Agama
Pengertian perkawinan beda agama adalah perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang berbeda keyakinannya, sekiranya dalam peraturan melarang seorang pemeluk agama untuk kawin dengan pemeluk agama lain, maka biasanya salah seorang dari mereka mengalah dan beralih kepada agamapihak lain. tetapi sering juga terjadi bakal suami atau istri yang masing-masing memegang teguh terhadap kepercayaan yang telah dianutnya dan tetap memeluk agamanya masing-masing.
            Namun demikian, oleh karena itu Undang-Undang perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan antar agama, maka kenyataan yang sering terjadi dalam masyarakat apabila ada dua orang yang berbeda agama akan mengadakan perkawinan sering mengalami hambatan. hal ini disebabkan anatara lain karena pejabat pelaksana perkawinan dan pemimpin agama menganggap perkawinanan yang demikian dilarang oleh agama, karenanya bertentangan dengan undang-undang perkawinan. perceraian terjadi apabila kedua belah pihak baik suami atau istri sudah sama-sama merasakan ketidakcocokan dalam menjalani rumah tangga. undang-undang nomor 1 tahun 1974   tentang perkawinan tidak memberikan defenisi mengenai perceraian secara khusus. pasal 39 ayat (2) UU perkawinan serta penjelasannya secara jelas menyatakan bahwa perceraian dapat dilakukan apabila sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan. defenisi perceraian di pengadilan agama itu, dilihat dari putusnya perkawinan.[1]

B. Kewenangan Pengadilan Terhadap Perkara Perceraian Beda Agama
Kewenangan pengadilan agama dibagi menjadi dua bagian yaitu kewenangan relative dan kewenangan absolute. kewenangan relative mencakup dalam hal wilayah hukum mengadili suatu perkara, sedangkan kewenangan absolute mencakup segala materi yang menjadi perkara peradilan agama.
            Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Peradilan Agma merupakan salah satu dari badan peradilan Negara atau kekuasaan kehakiman yang sah disamping tiga kekuasaan kehakiman yang lain. adapun kekuasaan kehakiman di lingkungan badan Pengadilan Agama terdiri dari:
  1. Pengadilan Agama, sebagai pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di Kota Madya atau Ibu Kota Kabupaten atau Kabupaten.
  2. Pengadilan Tinggi Agama adalah pengadilan tingkat banding yang berkeduudkan di Ibu kota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah  priovinsi.
            Tugas dan wewenang Pengadilan Agama hanya untuk menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara tertentu saja tidak secara umum. maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya kekuasaan Pengadilan  Agama hanya berkompeten pada hal perdata Islam secara umum dan terbatas. selain itu pengadilan agama hanya menangani  perkara bagi mereka yang beragama Islam saja dan tidak di luar Islam
            Adapun wewenang Pengadilan Agama sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1989  adalah:
Pasal 49 ayat (1)
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan meneylesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
  1. Perkawinan
  2. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasrkan hukm Islam
  3. Wakaf dan shodaqoh
Ayat (2)
Bidang perkara sebagaimana yang dimaksud ayat (1) huruf (a) adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkara yang berlaku.
Ayat (3)
            Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf (b) adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan masing-masing bagia ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peningggalan tersebut.
            Pada Pengadilan Agma alasan dan pertimbangann hakim dalam memutusperkara dengan melihat dan memperhatikan secra kronologis, rinci atau stau persatu dari kedua belah pihak penggugat dan tergugat abik itu berupa alat bukti surat, saksi,pengakuan dan sebagainya. sbeelum adanya putusan, hakim mempertimbangkan keterangan yang diajukan kkedua belah pihak, yaitupenggugat dan tergugat apakah rumah tangganya goyah karena adanya peselisihan agama sehingga terjadi pertengkarannterus menerus. bilamana dalam suatu perkawinan  terdapat keadaan yang demikian maka akan terjadi keretakan hubungan perkawinan antara suami  istri tersebut. apabila dilihat dari beberapa segi tidak adanya kebaikan, maka salah satu jalan yang dapat ditempu adalah perceraian.[2]
            Perkawinan beda agama merupakan salah satu hal yang prinsi dalam hukum Islam. oleh karena itu,dapat dimungkinkan saat perkawinan kedua mempelai beragama Islam, tetapi setelah menjalani salah satu pihak mempelai memeluk agama lain. berkenaan dengan hal itu, menurut pasal 116 huruf k Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan tegas ditentukan bahwa peralihan agama yang meneybabkan terrjadinya ketidakrukunan dalan rumah tangga sebagai penyebab atau alasan terjadi perceraian.
            Jika hal tersebut terjadi, maka akibat dari perceraian tersebut adalah berimbas pada hal perwalian Hadhonah. Menurut pasal 105 KHI ditentyukan sebagai berikut:
  1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau berumur  12 tahun adalah hak ibunya
  2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
  3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya
Berdasarkan urauan diatas dapat pula disimpulkan bbahwa hak pemeliharaan anak berada pada ibunya. hal ini diharapkan agar tidak terjadi pergantian agama kembali yang nantinya  akan embingungkan anak-anak tersebut, yang beklum dewasa dalam menerima pemahaman agama yang berbeda-beda pula. dalam hal ini sudah menjadi ketentuan yang mengikat bila terjadi terus menerus ketetuan-ketentuan dalam KHI, sbegaimana yang telah tertuang dalam instruiksi Presiden Pepublik Indonesia No 1 tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991.
            Selain itu, peraturan hukum yang mengatur tentang penegakan hukum Islam di pengadilan agama adalah undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama jo Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas undang-undang RI no. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama. Meskipun demikian ketentuan hukum acara perdata juga diberlakukan, karena berdasarkan pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 ditentukan bahwa “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undnag-undang ini.”
            Sifat kekhususan Hukum Acara Peradilan Agama tampak dalam salah satu asas hukum acara yang diatur dalam UU No. 7 tahun 1989 yaitu asas persolitas  keislaman, menetukan bahwa peradilam agama hanya berlaku bagi penganut agama islam dengan hubungan hukum yang erlandas pada hukum islam dan menjadi wewenang dari pengadilan agama. Berarti unsur memeluk agama Islam merupakan unsur utama kemudia dilihat hubungan hukum didasrkan pada hukum Ilam pula. Hingga jika terjadi perceraian berbeda agama di mana perkawinan awalnya sama-sama beragama Islam, lalau salah satu pihak beralih agama nin Islam maka hukum yang berlaku bukanlah hukum yang melahirkan hubungan hukum perkawinan tetapi hukum dari si penggugat yaitu ibu.[3]



[1] Chuzaimah T. Yanggo, Perkawinan Berbeda Agana Neburut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 102
[2] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 215
[3] M. Idris Ramulyo. Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata, Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind-Hill,1985), h. 96

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Ramulyo, M. Idris. Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata, Peradilan Agama dan Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Ind-Hill, 1985
Yanggo, Chuzaimah T. Perkawinan Berbeda Agana Neburut Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994


Tidak ada komentar:

Posting Komentar