Laman

Minggu, 17 November 2013

Fenomena Muhammadyah

1.      Sejarah Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan .
Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.

Disamping memberikan pelajaran atau pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.[1]

2.      Visi dan Misi Muhammadiyah
Dasar Perjuangan Muhammadiyah
Dalam perjuangan melaksanakan usahanya menuju terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridhai Allah SWT, yang dicerminkan oleh kesejahteraan, kebaikan dan kebahagiaan yang luas dan merata, Muhammadiyah mendasarkan segala gerak amal usahanya atas prinsip yang tersimpul dalam muqaddimah Anggaran Dasar, yaitu:
  1. Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah dan taat kepada Allah.
  2. Hidup manusia bermasyarakat.
  3. Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa Islam itu satu-satunya landasan dan ketertiban untuk kebahagiaan dunia akherat.
  4. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada manusia.
  5. "Ittiba" kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad SAW.
  6. Melancarkan amal usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi.

Menilik dasar prinsip tersebut di atas, maka apapun yang diusahakan dan bagaimanapun cara perjuangan Muhammadiyah untuk mencapai tujuan tunggalnya, harus berpedoman pada: "Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasulnya, bergerak membangun di segala bidang dan lapangan dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridhai Allah subhanahu Wata'ala.
Muhammadiyah memiliki dan wajib memelihara sifat-sifatnya, terutama:
  1. Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan.
  2. Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah.
  3. Lapang dada, luas pandangan, dengan memegang teguh ajaran Islam.
  4. Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan.
  5. Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan serta dasar dan falsafah negara yang sah.
  6. Amar ma'ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan sesuai dengan ajaran Islam.
  7. Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan pembangunan sesuai dengan ajaran Islam.
  8. Bekerjasama dengan golongan Islam manapun dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingan-nya.
  9. Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat yang adli dan makmur yang diridhai Allah.
  10. Bersifat adil serta korektif ke dalam dan ke luar dengan bijaksana. [2]


3.      Fenomena Masyarakat Muhammadiyah di Masjid Taqwa Mandala
Muhammadiyah adalah organisasi, memiliki syarat-syarat tertentu untuk bisa menjadi anggota, syaratnya yaitu mengikuti pengajian minimal satu tahun, setelah mengikuti pengajian selama satu tahun maka dia bisa mengajukan diri sebagai anggota Muhammadiyah. Pusat Muhammadiyah terletak di Yogyakarta, setelah melakukan pengajuan ke Muhammadiyah pusat yang ada Di Yogyakarta maka akan dikeluarkan kartu tanda anggota Muhammadiyah.
Muhammdiyah selain sebagai orgnasisai Islam juga merupakan pemahaman, berdasarkan Alquran dan hadis, memiliki tarjih yang merupakan buku berisis himpunan-himpunan, yang telah dimusyawarakan dengan berdasarkan Alquran dan hadis-hadis yang shohih.
Metode pengajiannya yaitu Muhammadiyah memiliki ranting yaitu kumpulan beberapa anggota yang berdekatan dalam satu lingkungan, lalu ada cabang yang merupakan kumpulan ranting, lalu ada daerah yang merupakan kumpulan dari cabang-cabang. Lalu ada wilayah yang merupakan cabang provinsi, lalu ada pimpinan pusat itulah mencakup beberapa provisi. Pengajian itu konsepnya pengajian satu minggu sekali. Kemudian untuk pengajian cabang dihadiri perwakilan ranting begitu juga sampai ke pusat. Untuk mendapatkan kartu tanda anggota itu bayar 10000 per kepala. Bisa juga ada inisiatif dari kepala dari wilayah masing-masing.
Untuk menjadi anggota Muhammadiyah tidaklah sembarangan, harus mengikuti pengajian seperti yang disebutkan sebelumnya. Bisa saja anak dalam satu keluarga menganut Muhammdiyah dan orangtuanya tidak, karena anaknya telah mengikuti pengajian Muhammadiyah tidak pernah menetapkan satu imam, Muhammadiyah itu mengikut pada hadis yang paling kuat.
Mengenai fenomena Muhammadiyah, tidak semua benar, yang benar adalah Muhammadiyah, karena secara pengamalannya sendiri sumbernya jelas, contohnya amalan doa qunut, perwiritan dan tahlilan, secara hukum tidak ada yang mengatakan tahlilan itu benar. Itu cum ada di Indonesia dan di Asia Tenggara, secara hukum Muhammadiya menganggap apa yg dilakukan NU itu bid’ah karena NU menganggap itu sebagai ibadah.[3]

Masyarakat Muhammadiyah dalam Berzikir

Dzikir merupakan ibadah yang banyak disinggung baik dalam al-Qur’an maupun hadist. Dzikir merupakan perintah Allah yang (sebenarnya) mestilah dilaksanakan setiap saat, di manapun dan kapan pun. Dzikir bisa dilakukan dengan hati dan lisan, dan dengan sendiri maupun dalam sebuah kelompok (majlis dzikir). Dzikir memiliki banyak keutamaan, salah satunya adalah dapat membuat hati menjadi tenang.
  Rasulullah telah memberikan contoh berkaitan dengan bacaan-bacaan dzikir atau doa. Demikian pula, berkaitan dengan waktu-waktu di mana kita disunnahkan membaca dzikir tertentu, seperti dzikir setelah shalat, dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan keutamaan-keutamaan dzikir, NU dan Muhammadiyah tidaklah berselisih pendapat. Perbedaan pendapat dalam masalah dzikir ada pada tata cara pelaksanaannya.
Di Masjid-masjid di mana warga NU menjadi basisnya, setiap kali ba’da shalat biasa dilaksanakan dzikir berjamaah, yang mana dipimpin oleh Imam shalat. Dzikir tersebut kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin Imam dan diamini oleh makmum. Bukan hanya dzikir setelah shalat, NU juga memiliki tradisi melakukan puji-pujian (shalawat, syair, dll) yang dilantunkan sebelum shalat berjamaah. Di kalangan warga NU juga biasa digelar acara istighasah, mujahadah, atau dzikir akbar, yakni sebuah acara yang intinya adalah doa dan dzikir bersama dalam sebuah majlis dzikir. Acara tersebut biasanya dilakukan di lapangan, masjid, atau tempat-tempat lain dengan menggunakan pengeras suara.
Sementara itu di Masjid-masjid di mana warga Muhammadiyah menjadi basisnya terutama di Masjid Taqwa kawasan jalan Mandala Medan, tak ada dzikir berjamaah yang dipimpin oleh Imam setelah shalat. Muhammadiyah tidak pula tertarik untuk menggelar dzikir atau doa bersama, atau istighasah.[4]

Muhammadiyah
Dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah tidak terdapat keterangan yang detail berkaitan dengan tata cara berdzikir, lebih-lebih dzikir yang khusus dilaksanakan selesai shalat.
Muhammadiyah menegaskan dan menjelaskan pendapatnya mengenai dzikir dengan suara keras setelah shalat.
Surat Al-A’raf ayat 205:
Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (Q.S. Al-A’raf: 205)
Dari ayat tersebut, Muhammadiyah berpendapat bahwa Allah memerintahkan kepada kaum Muslimin agar berdoa dan berdzikir dengan merendahkan diri, dalam arti lain tidak dengan mengeraskan suara.
Muhammadiyah juga mendasarkannya pada hadist, yakni:
“Diriwayatkan dari Abu Musa, ia berkata: Kami pernah bersama Nabi saw dalam suatu perjalanan, kemudian orang-orang mengeraskan suara dengan bertakbir. Lalu Nabi saw bersabda: Wahai manusia, rendahkanlah suaramu. Sebab sesungguhnya kamu tidak berdoa kepada (Tuhan) yang tuli, dan tidak pula jauh, tetapi kamu sedang berdoa kepada (Allah) Yang Maha Mendengar dan Maha Dekat.” (HR. Muslim)

Fenomena Sholat Jumat
Shalat jum’at adalah ibadah fardhu ‘ain bagi laki-laki yang mukallaf, tak ada ikhtilaf di titik ini. Perbedaan di kalangan ulama fiqih baru muncul pada tata cara pelaksanaannya.
Muhammadiyah dan NU, sebagai organisasi Islam yang memiliki massa terbesar di Indonesia, memiki pendapat yang berbeda dalam hal tata cara pelaksanaan shalat Jumat. Perbedaan tersebut, antara lain terletak pada pertanyaan, apakah adzan Jumat dilakukan satu kali atau dua kali? Apakah dalam shalat jumat perlu adanya shalat qobliyah? Apakah petugas khotib perlu menggunakan tombak sewaktu khotbah?
a.       Dalam masalah adzan Jumat, Muhammadiyah berpendapat bahwa adzan Jumat hanya satu kali yakni setelah khatib naik ke mimbar dan mengucapkan salam. Sementara NU berpendapat bahwa adzan Jum’at dilakukan dua kali, sebelum khatib naik mimbar, dan setelah khatib naik mimbar dan mengucapkan salam.
b.      NU berpendapat bahwa shalat qabliyah Jumat adalah sunnah, sebagaimana shalat qabliyah zhuhur, sementara Muhammadiyah tidak menganggapnya bagian dari sunnah.
c.       Petugas Khotib di masjid-masjid NU biasanya memegang tombak ketika khotbah, bagi Muhammadiyah itu tidak perlu.

Tidak bisa seketika menyimpulkan; misal jika di sebuah masjid adzan shalat Jumat dilakukan dua kali berarti masjid tersebut di kuasai warga NU, dan sebaliknya, jika adzan Jumat cuma satu kali berarti “dikuasai” warga Muhamamdiyah. NU dan Muhammadiyah hanya mengeluarkan fatwa, dengan harapan bisa dijadikan rujukan bagi kaum Muslimin, khususnya bagi kelompoknya. Fatwa-fatwa tersebut akan kami jabarkan satu persatu, bukan dengan maksud untuk mengotak-kotakkan. Melainkan agar kita semakin dapat memahami perbedaan pendapat seputar pelaksanaan shalat Jumat. 

Muhammadiyah
a.            Adzan Jumat
Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah tidak diterangkan secara rinci mengenai cara penyelanggaraan shalat Jumat. Demikian pula mengenai pendapat di sekitar shalat Jumat, seperti mengenai berapa kali adzan, cara penyampain khutbah, maupun bab shalat qabliyah Jumat.
Dalam memutuskan kapan adzan dimuai dalam shalat jumat, tarjih menyatakan: “Apabila Imam telah duduk di atas mimbar, maka adzanlah salah seorang dari kamu dan apabila Imam telah turun dari mimbar maka berqamatlah.”
Dasar dari tuntunan di atas, sebagaimana terdapat dalam HPT adalah hadis dari Syaib bin Yazid yang artinya:
“Karena hadis riwayat Bukhari, Nasai dan Abu dawud dari Saib bin Yazid r.a, yang berkata: “Adapun seruan pada hari Jum’ah itu pertama (adzan) tatkala Imam duduk di atas mimbar, pada masa Rasulullah SAW, pada masa Khalifah Abu Bakar r.a, pada masa Khalifah Umar r.a, setelah tiba masa Khalifah Utsman r.a, dan orang semakin banyak maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura (nama tempat di pasar) yang mana pada masa Nabi Saw hanya ada seorang Muadzain.”
Tarjih Muhammadiyah mengaku mengikuti apa yang telah berlaku pada masa Rasululah saw. Jadi, apa yang dilakukan oleh Khalifah Utsman tidak dilanjutkan atau ditiru oleh Muhammadiyah.
HPT Muhammadiyah tidak memberi keterangan yang lebih jauh berkait pengambilan hukum ini. Khalifah Utsman menambahkan adzan pertama karena suatu alasan yang masuk akal, yakni pada masa itu kaum Muslimin semakin banyak jumlahnya dan tempat-tempat mereka berjauhan dari Masjid Nabawi. Beliau hanya ingin menyampaikan kepada mereka (kaum Muslimin) tentang masuknya waktu shalat, dengan mengqiyaskan shalat-shalat lainnya. Oleh karena itu, beliau memasukkan shalat Jum’at ke dalamnya dan menetapkan kekhususan Jum’at dengan adzan di depan khatib, kondisi sekarang dianggap sudah tidak memerlukan adzan tambahan sebelum khatib naik mimbar. Hampir tidak ada seorang pun yang berjalan beberapa langkah, melainkan pasti mendengar adzan Jum’at dari menara-menara masjid. Apalagi alat-alat pengeras suara telah dipasang di menara-menara tersebut, jam-jam penunjuk waktu dan selainnya telah tersebar di mana-mana.
b.      Shalat Qabliyah Jumat
Dalam HPT Muhammadiyah tidak terdapat pembahasan khusus mengenai Shalat qabliyah Jumat. Namun demikian, pendapat Tarjih berkaitan dengan adzan Jumat secara langsung membuat konsekwensi terahadap masalah shalat qabliyah Jumat.
Shalat qabliyah adalah shalat yang mengiringi shalat wajib yang dilakukan setelah adzan. Maka, ketika adzan Jumat cuma sekali dan itu dilakukan ketika khatib berada di atas mimbar, maka shalat qabliyah pun jadi tidak ada. Ini senada dengan putusan Tarjih Muhammadiyah yang menyatakan bahwa: khusus shalat tathawwu’ pada hari Jumat jumrah raka’atnya tidak terbatas, sehingga dapat dikerjakan begitu berada di dalam masjid sesudah tahiyatul Masjid hingga datang Imam shalat, (yang mana Imam tersebut akan bersalam dan duduk, kemudian adzan dilakukan).
Sementara untuk shalat sunnah sesudah shalat Jumat dapat dilakukan dengan dua atau empat Raka’at. Yang dimaksud Shalat tathawwu’ di sini adalah shalat sunnah tahiyatal masjid dan shalat sunnah selain qabliyah Jumat. karena shalat sunnah qabliyah dilangsungkan setelah adzan.[5]

Fenomena Pembacaan Doa Qunut pada Sholat Subuh

Dalam masalah qunut subuh, NU bermadzhab kepada Imam Malik dan Syafi’i yang mana qunut subuh dimasukkan dalam perkara sunnah ab’adh, sunnah yang apabila lupa tidak dikerjakan maka disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi. Sementara Muhammadiyah, tidak membenarkan adanya qunut (berdoa “allahummah dinii.. dst) di shalat subuh.

Muhammadiyah


Qunut Subuh
Di kalangan Muhammadiyah pada umumnya, qunut yang dibaca khusus pada raka’at kedua setelah rukuk dalam shalat subuh tidak ada. Tarjih Muhammadiyah menjelaskannya di smamping perkataan qunut yang berarti ‘tunduk kepada Allah dengan penuh kebaktian’, Muktamar dalam keputusannya menggunakan makna qunut yang berarti “berdiri (lama) dalam shalat dengan membaca ayat al-Qur’an dan berdoa sekehendak hati”.
Dalam perkembangan sejarah fiqh, di masa lampau orang telah cenderung untuk memberi arti khusus pada apa yang dinamakan qunut, yakni: “berdiri sementara” pada shalat shubuh sesudah ruku’ pada raka’at kedua dengan membaa doa: “Allahummahdini fiman hadait… dan seterusnya”
Muktamar Tarjih tidak sependapat dengan pemahaman tersebut berdasarkan pemikiran bahwa:
    1. Setelah diteliti kumpulan maam-macam hadis tentang qunut, maka muktamar berpendapat bahwa qunut sebagai bagian dari pada shalat tidak khusus hanya ditamakan pada shalat subuh.
    2. Bacaan doa: “Allahummahdini fiman hadait… dan seterusnya” tersebut tidaklah sah.
    3. Penerapan hadis hasan tentang doa tersebut dalam untuk khusus dalam qunut subuh tidak dibenarkan.

Abu Muhammad Dzulkarnain mengatakan bahwa, dalil hadis: “Terus-menerus Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa a lihi wa sallam qunut pada sholat subuh sampai beliau meninggal dunia”
Selain itu, hadis tersebut bertentangan dengan logika; yaitu bagaimana mungkin Nabi saw. selalu qunut dalam shalat subuh dan membaca do’a rutin sementara tidak diketahui sama sekali do’a yang dibaca itu. Tidak dalam hadits shahih maupun dhaif. Bahkan para sahabat yang paling mengerti tentang sunnah seperti Ibnu Umar radhiallahu’anhuma mengingkarinya dengan mengatakan: “Kami tidak pernah melihat dan tidak mendengarnya.” Apakah masuk akal jika dikatakan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam selalu qunut, sedangkan Ibnu Umar radhiallahu’anhu bersaksi: “Kami tidak pernah melihat dan mendengarnya?” demikian, sebagaimana termaktub dalam Majmu’ Fatawa.
Meski Muhammadiyah berprinsip untuk tidak bermadzhab, namun dalam pendapatnya pada masalah qunut, sejalan dengan pendapat Madzhab Hanafi dan Hambali.[6]



[1] Hadjid, Ajaran KHA. Dahlan Dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran, (Semarang: PWM. Jawa Tengah , tt), h. 213

[2] Zuly Qodir, Mempersempit Jarak Muhammdiyah dan NU, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), h. 172
[3] Wawancara dengan pak Saleh, selaku pengemuka agama di Masjid Taqwa Muhammadiyah di jalan Mandala Medan, (Jumat,07 Desember 2012, 15.15 WIB).
[4] Zuhairi Misrawi, Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah, (Yogyakarta: LkiS, 1994), h. 311
[5] Moh Ali Aziz, Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Ajaran Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 236 

[6] Alfian, Muhammadiyah: Perilaku Politik Organisasi Modernis Muslim di Bawah Kolonialisme Belanda, (Yogyakarta: Gadjah Mada Press, 1969), h. 271

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Alfian, Muhammadiyah: Perilaku Politik Organisasi Modernis Muslim di Bawah Kolonialisme Belanda. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. 1969
Aziz, Moh Ali. Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Ajaran Islam. Jakarta: Paramadina. 1996.

Hadjid, Ajaran KHA. Dahlan Dengan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran. Semarang: PWM. Jawa Tengah, tt

Misrawi, Zuhairi. Mencari Konvergensi Aktivis NU dan Muhammadiyah. Yogyakarta: LkiS. 1994.

Qodir, Zuly. Mempersempit Jarak Muhammdiyah dan NU. Jakarta : Pustaka Jaya. 1980.

Wawancara dengan pak Saleh, selaku pengemuka agama di Masjid Taqwa Muhammadiyah di jalan Mandala Medan, (Jumat,07 Desember 2012, 15.15 WIB).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar