Laman

Minggu, 17 November 2013

Kekuatan Mengikat Putusan Arbitrase

      A.    Kekuatan Hukum Putusan Arbitrase
Untuk menyelesaikan sengketa bisnis maka arbitrase adalah penyelesaian sengketa alternative yang sering dipergunakan. Pada umumnya arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain:
a.       Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak ;
b.   Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif ;
c.  Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d.     Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e.   Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat daripada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Sehingga membuat penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk kontrak bisnis bersifat internasional.

B.     Macam-Macam Arbitrase [1]
1.      Arbitrase Mengikat, merupakan arbitrase yang putusannya bersifat final, jadi mengikat selayaknya putusan Pengadilan yang telah inckracht.
2.      Arbitrase Tidak mangikat, merupakan arbitrase yang putusannya boleh diikuti dan boleh tidak diikuti, mirip seperti fact finding.
3.      Arbitrase Kepentingan, merupakan arbitrase yang tidak memutus ntuk suatu sengketa, tetapi para pihak memakai jasa mereka untuk menciptakan provisi – provisi dalam kontrak yang telah mengalami jalan buntu.
4.      Arbitrase Hak, merupakan arbitrase yang memberi putusan terhadap sengketa diantara para pihak, bukan hanya sekedar membuat provisi dalam kontrak.
5.      Arbitrase Sukarela, merupakan arbitrase yang dimintakan sendiri oleh para pihak, baik dimintakan dalam kontrak yang bersangkutan ataupun dalam kontrak tersendiri.
6.      Arbitrase Ad Hoc, adalah arbitrase yang tidak ada badannya, tetapi hanya penunjukkan orang – orang secara bebas oleh para pihak sesuai kesepakatan dengan memberlakukan aturan hukum tertentu.
7.      Arbitrase Lembaga, merupkan kebalikan dari Arbitrase ad hoc dimana dalam hal ini terdapat lembaga atau badan-badan, serta telah ada aturan mainnya tersendiri, misalnya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau international Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID). Dan Arbitrase jenis lainnya.
Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas di bidang perdagangan baik nasional maupun internasional serta perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat internasional sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua non sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering). Bertolak dari kondisi ini, perubahan yang mendasar terhadap Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) baik secara filosofis maupun substantif sudah saatnya dilaksanakan.
Arbitrase yang diatur dalam Undang-undang nomor 30 tahun 1999 merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa.
Istilah Arbitrase berasal dari bahasa latin yakni arbitrari yang artinya suatu pemutusan sengketa oleh hakim berdasarkan persetujuan para pihak yang sepakat akan mentaati keputusan hakim yang dipilih oleh mereka[2]. Dalam penggunaan materi hukum pun arbiter harus berdasarkan ketentuan – ketentuan teori pada hukum Perdata Internasional, artinya jika para pihak itu adalah sesama subyek hukum Indonesia maka yang digunakan adalah wajib hukum Indonesia, namun jika yang terjadi pada bisnis internasional maka yang digunakan adalah pilhan hukum (choice of law) yang telah dituangkan oleh amsing – masing pihak baik secara Pactum de compromittendo atau secara Acte de compromise.
Ada Kelebihan tentu saja ada Kelemahan dari penggunaan Arbitrase sebagai salah satu model Penyelesai sengketa alternative, diantaranya :
1.      Due Process kurang terpenuhi.
2.      Kurangnya unsur Finality.
3.      Kurangnya Power untuk mengiring para pihak ke Setlleement.
4.      Kurangnya Power dalam hal penegakkan hukum dan proses eksekusi.
5.      Tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat pencegahan.
6.      Kualitas putu san sangat bergantung pada kualitas arbiter.
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 UU AAPS hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU AAPS memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
Mengenai Kekuatan Putusan Arbitrase baik melalui lembaga Arbitrase berskala nasional maupun secara Internasional, contohnya ada BANI, ICSID, UNCITRAL adalah final dan binding. Dengan kata lain putusan tersebut adalah langsung menjadi putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir. Serta putusan menjadi mengikat para pihak dan secara otomatis tertutup pula upaya untuk banding, dan kasasi sesuai pasal 60 UU AAPS.
Kendalanya yang teramat sering dihadapi oleh para pihak dan arbiter adalah kesepakatan hasil arbritrase yang di tuangkan dalam perjanjian terlalu lemah di hadapan para pihak yang menganggap hasil arbritasi itu tidak menguntungkannya. Maka terkadang banyak dari kenyataan yang ada agar dapat melaksanakan arbritase tersebut di butuhkan penguatan putusan melalui putusan pengadilan negeri. Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk menaati putusannya. Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar UU AAPS antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3)) UU AAPS dan dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun nasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengembil tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sedangkan proses eksekusi putusan arbitrase dibedakan dalam dua hal, yang pertama putusan arbitrase dalam negeri. Yang di maksud putusan arbitrase dalam negeri adalah putusan yang berpatokan pada faktor wilayah artinya yang diambil di dalam RI. Pejabat yang berwenang melaksanakan putusan arbritase dalam negeri adalah ketua pengadilan negeri. Karena badan arbritase yang memutus sengketa tidak memilki kewenangan untuk memerintahkan dan menjalankan eksekusi, hal ini sesuai dengan pasal 14 UU AAPS. Adapun ketua pengadilan negeri bergantung pada di mana kompetensi relatif.
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU AAPS. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat.Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU AAPS sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
Sementara eksekusi putusan arbitrase yang kedua adalah putusan arbitrase asing. Putusan arbitrase asing adalah putusan yang di ambil di luar wilayah RI. Kendalanya yang paling pokok pada putusan arbritase asing yaitu pemberian exequatur. Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.
Sementara Instansi dan Pejabat yang berwenang memutusnya adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Ketua Pengadilan Jakarta Pusat (Pasal 65 UU AAPS). Lengkapnya tata cara pelaksanaan putusan asing adalah sebagai seperti berikut Dalam jangka maksimal 30 hari sejak putusan arbitrase dijatuhkan maka lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri kemudian di tandatangani dengan diberi catatan bahwa ini adalah akta pendaftaran.Selain itu juga dalam penyerahan berkas sebagaimana dimaksud maka Arbitor juga wajib melampirkan lembar asli penganggkatannya, yang dimana jika tidak dipenuhi akan berakibat batal demi hukum termasuk biaya pendaftaran yang dibebankan kepada para pihak (Pasal 59 UU AAPS). Kemudian perintah pelaksanaan eksekusi oleh ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan otentik putusan arbitrase yang dikeluarkan (Pasal 63 UU AAPS).
Proses pemeriksaan perkara dalam arbitrase secara umum tidak jauh berbeda dengan proses pemeriksaan di pengadilan. Baik arbitrase maupun litigasi merupakan mekanisme adjudikatif, yaitu pihak ketiga yang dilibatkan dalam penyelesaian sengketa mempunyai kewenangan memutuskan penyelesaian sengketa tersebut. Arbitrase termasuk adjudikatif privat sedang litigasi termasuk adjudikatif publik.
C.    Tahapan Pemeriksaan Arbitrase
Prosedur arbitrase dibentuk oleh ketentuan hukum, perjanjian para pihak dan arahan para arbiter. Apabila para pihak sepakat bahwa arbitrase akan dilaksanakan berdasarkan aturan suatu institusi atau aturan ad hoc maka prosedur arbitrase akan tunduk pada ketentuan institusi atau aturan ad hoc tersebut. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 31 ayat (1) UU AAPS, “Para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.”
Berdasarkan UU Arbitrase pemeriksaan arbitrase dilaksanakan melalui tiga (3) tahapan, yakni:
1.      Tahap Persiapan atau Pra Pemeriksaan, yang meliputi perjanjian Arbitrase Dalam dokumen tertulis, penunjukan arbiter, pengajuan surat tuntutan oleh Pemohon, jawaban surat tuntutan oleh Termohon dan perintah arbiter agar para pihak menghadap sidang arbitrase.
2.      Tahap Pemeriksaan atau Penentuan, yang meliputi awal pemeriksaan peristiwanya, penelitian atas bukti-bukti dan pembahasannya, mediasi dan pengambilan putusan oleh Majelis Arbitrase.
3.      Tahap Pelaksanaan, yang meliputi putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat dan pelaksanaan yang bersifat sukarela atau melalui eksekusi Pengadilan.
4.      Tahap Persiapan, Prosedur arbitrase dimulai dengan pendaftaran dan penyampaian Permohonan kepada institusi arbitrase yang ditunjuk, dilengkapi dengan segala alat bukti yang berkaitan dengan sengketa tersebut sesuai dengan aslinya.
Permohonan arbitrase harus disertai pembayaran biaya pendaftaran dan biaya administrasi kepada institusi bersangkutan. Pemeriksaan perkara arbitrase tidak akan dimulai sebelum biaya administrasi dilunasi. yang harus dibayar lunas oleh kedua belah pihak (untuk bagian yang sama). Pada umumnya penentuan besarnya biaya administrasi adalah berdasarkan persentase dari tuntutan yang diajukan Pemohon dan tuntutan balik dari Termohon. Bila salah satu berkeberatan membayar biaya administrasi, maka pihak lawan harus melunasi keseluruhan biaya agar persidangan dapat dimulai. Dalam Permohonan arbitrase harus dituliskan secara ringkas uraian tentang permasalahan yang menjadi sengketa dan isi tuntutan ganti rugi atau pengembalian yang diharapkan dari pihak lainnya dengan melampirkan salinan naskah atau akta perjanjian arbitrase atau perjanjian lainnya yang memuat klausula arbitrase. Pemohon dapat menunjuk atau memilih seorang arbiter atau menyerahkan penunjukan arbiter kepada institusi arbitrase bersangkutan.
Proses arbitrase adalah suatu upaya untuk mencari penyelesaian atas suatu sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan suatu perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak yang kini bersengketa. Penyelesaian yang diharapkan daripara arbiter adalah adanya penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak (win win solution). Untuk dapat mengambil suatu putusan tersebut maka hal yang terpenting bagi arbiter adalah mengerti sepenuhnya isi perjanjian yang menjadi dasar dari sengketa dan latar belakang dari terjadinya sengketa dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Dalam mencari penyelesaian tersebut, yang terpenting adalah pokok masalah sengketa atas pelaksanaan perjanjian dan bukan masalah prosedural perjanjian atau persengketaan. Agar pemeriksaan berjalan lancar dan menghasilkan putusan yang adil, maka baik Pemohon maupun Termohon harus melakukan persiapan yang baik, antara lain dengan membentuk Tim internal yang khusus menangani masalah. Tim ini terdiri dari personalia yang terlibat dalam pelaksanaan perjanjian dan mengetahui isi perjanjian serta mengetahui dengan jelas sebab dari timbulnya sengketa. Tim ini dapat dibantu oleh penasehat hukum internal maupun eksternal yang dapat membantu Tim berkaitan dengan masalah peraturan dan perundangan yang menyangkut pelaksanaan perjanjian tersebut.
Tim internal inilah yang harus dapat memberikan suatu gambaran yang tepat mengenai permasalahan yang dipersengketakan kehadapan arbiter. Selain harus menguasai seluruh aspek perjanjian dan persengketaan yang terjadi Tim juga mencari dan memberikan semua alat bukti yang dapat digunakan dan disampaikan kepada arbiter maupun pada pihak lawannya. Tim internal ini juga dapat mengusulkan para pakar ataupun saksi ahli dan mendapat kuasa untuk mewakili dalam persidangan dan bukan hanya terbatas pada pimpinan perusahaan atau penasehat hukumnya. Dalam menetapkan jumlah tuntutan dalam sengketa arbitrase, Pemohon perlu mempertimbangkan bahwa atas dasar penyelesaian secara “win win solution” maka jumlah tuntutan yang dikabulkan sering kali kurang dari yang diajukan. Kemungkinan tidak tertutup bahwa jumlah putusan atas tuntutan dapat lebih kecil dari pada biaya administrasi arbitrase. Karenanya di dalam mengajukan tuntutan Pemohon perlu melakukan perhitungan secara cermat berkaitan dengan biaya administrasi, antara lain memperhatikan jumlah tuntutan yang realistis yang dapat kiranya diterima dalam putusan arbitrase, walaupun memang kewajiban pembayaran biaya administrasi umumnya dibebankan bersama kepada kedua belah pihak.
Tahap Pemeriksaan, walaupun dalam beberapa kasus para pihak mengajukan sengketa untuk diputuskan/ diselesaikan sepenuhnya berdasarkan fakta-fakta tertentu, tuntutan tertulis dan dokumen-dokumen, namun pada umumnya suatu persidangan tetap dilaksanakan yang dihadiri oleh arbiter atau majelis arbiter dan para pihak yang bersangkutan, untuk memberikan kesempatan bagi para pihak untuk menyampaikan segala informasi yang lengkap dan adil kepada para arbiter mengenai aspek material dari permasalahan yang dipersengketakan. Persidangan arbitrase sepenuhnya berada dibawah kuasa dan kendali para arbiter, dengan tetap memperhatikan “rules of procedures” dan ketentuan perundangan yang berlaku.
Persidangan arbitrase bersifat tertutup dan hanya dapat dihadiri oleh mereka yang mendapat kuasa dari pimpinan masing-masing pihak dan diketahui oleh kedua belah pihak. Pihak-pihak lain tidak dapat menghadirinya terkecuali mendapat persetujuan dari kedua belah pihak dan dari arbiter/majelis arbiter. Dengan telah dimulainya proses pemeriksaan setelah dibentuknya Majelis Arbiter maka semua komunikasi antara para pihak dengan arbiter harus dihentikan. Semua informasi baik dalam bentuk surat-menyurat maupun dokumen atau alat bukti aslinya harus diserahkan kepada panitera sidang disertai lima (5) salinan masing-masing untuk para arbiter dan para pihak. Semua informasi yang akan disampaikan secara lisan hanya dapat diterima apabila didengar oleh para arbiter dan para pihak dalam sidang, harus terdapat keterbukaan diantara semua pihak. Setiap penyimpangan atas prosedur arbitrase termasuk namun tidak terbatas pada proses persidangan harus mendapat persetujuan oleh para arbiter dan para pihak dalam suatu persidangan dan akan dicatat dalam berita acara persidangan oleh Panitera.
Dalam setiap persidangan selalu dimungkinkan kepada para pihak untuk melakukan negosiasi di luar sidang dan dapat diadakan setiap saat atas persetujuan para arbiter dan para pihak. Kesempatan juga harus diberikan oleh para arbiter kepada para pihak untuk melakukan mediasi. Mediasi dilakukan di luar persidangan arbitrase dan bukan merupakan bagian dalam proses jalannya arbitrase. Sasaran yang harus selalu menjadi pedoman bagi para pihak adalah tercapainya suatu penyelesaian atas sengketa yang dapat diterima oleh kedua belah pihak dengan mendapat bantuan dan arahan dari para arbiter dan putusan arbiter dapat diterima oleh para pihak, sehingga hubungan dan/atau transaksi bisnis di antara para pihak dapat berjalan kembali.
Para pihak harus berusaha agar dapat tercapainya suatu penyelesaian, demi kebaikan bersama dan bukan demi kemenangan satu pihak. Cara pembatalan atas putusan arbitrase bukanlah suatu cara yang dapat dijadikan sebagai alat untuk menyatakan ketidaksetujuan.
Tahap Pelaksanaan, Dengan didaftarkannya Putusan Arbitrase pada Panitera Pengadilan Negeri sebagaimana yang ditetapkan dalam UU AAPS, maka putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial. Pelaksanaan Putusan Arbitrase tidaklah perlu menunggu eksekusi Pengadilan Negeri namun dapat dilakukan secara sukarela oleh pihak yang bersangkutan. Putusan Arbitrase selayaknya diterima oleh kedua pihak yang menyerahkan penyelesaian sengketa kepada para arbiter yang mereka sendiri tunjuk dan percayai akan memberikan putusan yang adil atas permasalahan dalam perjanjian yang mereka sendiri setujui untuk bekerja sama.
Terhadap Putusan Arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan. Pengajuan permohonan pembatalan menurut Pasal 70 UU AAPS oleh pihak yang tidak puas atas putusan Majelis Arbitrase memiliki keterbatasan dalam alasan-alasan yang dapat dipergunakan, yaitu apabila putusan mengandung adanya dokumen diakui palsu atau dinyatakan palsu, diketemukannya dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan atau diambil dari hasil tipu muslihat. Namun demikian, para pihak diharapkan kembali kepada maksud dibuatnya perjanjian bahwa segala persengketaan akan diselesaikan untuk mencapai sesuatu penyelesaian yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase adalah mengenai pokok permasalahan yang timbul dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak dan diharapkan penyelesaiannya dapat melanjutkan berlangsungnya perjanjian yang telah dibuat diantara para pihak atau paling tidak dapat tetap melanjutkan hubungan kerja sama atau transaksi antara para pihak di kemudian hari.
Biaya-biaya eksekusi Putusan ditanggung oleh pihak yang kalah dan yang lalai untuk memenuhi ketentun-ketentuan dalam Putusan. Kecuali dalam keadaan-keadaan khusus, biaya-biaya jasa hukum dari masing-masing pihak harus ditanggung oleh pihak yang memakai jasa hukum tersebut dan biasanya tidak akan diperhitungkan terhadap pihak lainnya. Namun apabila Majelis menentukan bahwa suatu tuntutan menjadi rumit atau bahwa suatu pihak secara tidak sepatutnya menyebabkan timbulnya kesulitan-kesulitan atau hambatan-hambatan dalam kemajuan proses arbitrase, maka biaya jasa hukum dapat dilimpahkan kepada pihak yang menimbulkan kesulitan tersebut.[3]
D.    Sifat Putusan Arbitrase
Putusan Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Dengan demikian terhadap Putusan Arbitrase tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.
Apabila ada pihak yang tidak bersedia melaksanakan Putusan Arbitrase secara sukarela, maka :
  1. Putusan Arbitrase akan dilaksanakan berdasarkan perintah eksekusi Ketua Pengadilan Negeri setempat atas permohonan salah satu pihak yang berkepentingan;
  2. pihak yang berkepentingan dapat menyampaikan pengaduan kepada pengurus dari asosiasi/organisasi dimana ia menjadi anggota;
  3. asosiasi/organisasi dimana pihak yang berkepentingan menjadi anggota dapat menyampaikan pengaduan kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan asosiasi/organisasi dimana pihak yang tidak bersedia melaksanakan Putusan Arbitrase secara sukarela menjadi anggota.



[1] Munir Fuady, Pengantar hukum bisinis, (Citra Aditya Bakti: Bandung, 2008), h. 319

[2] Ridwan Khairandy, op. cit, h. 276
[3] Soerjono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI press: Jakarta, 1986), h. 52

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Fuady, Munir. Pengantar hukum bisinis. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2008.
Harahap, Yahya. Arbitrase. Sinar Grafika: Jakarta, 2006.
Khairandy, Ridwan. Pengantar Hukum Dagang Indonesia I. GAMA media: Yogyakarta, 1999.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. UI press: Jakarta, 1986.
Wardah, Sri dan Bambang Sutiyoso. Hukum acara perdata dan perkembangannya di Indonesia. Gama Media: Yogyakarta, 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar