A.
Kekuatan
Hukum Putusan Arbitrase
Untuk menyelesaikan sengketa bisnis maka arbitrase adalah
penyelesaian sengketa alternative yang sering dipergunakan. Pada umumnya
arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan
tersebut antara lain:
a. Dijamin kerahasiaan sengketa para
pihak ;
b. Dapat dihindari kelambatan yang
diakibatkan karena hal prosedural dan administratif ;
c. Para pihak dapat memilih arbiter
yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar
belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d. Para pihak dapat menentukan pilihan
hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan
arbitrase; dan
e. Putusan arbiter merupakan putusan
yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja
ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya
benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat
daripada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan
adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Sehingga
membuat penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih diminati daripada
litigasi, terutama untuk kontrak bisnis bersifat internasional.
B.
Macam-Macam
Arbitrase [1]
1.
Arbitrase
Mengikat, merupakan arbitrase yang putusannya bersifat final, jadi mengikat
selayaknya putusan Pengadilan yang telah inckracht.
2.
Arbitrase
Tidak mangikat, merupakan arbitrase yang putusannya boleh diikuti dan boleh
tidak diikuti, mirip seperti fact finding.
3.
Arbitrase
Kepentingan, merupakan arbitrase yang tidak memutus ntuk suatu sengketa, tetapi
para pihak memakai jasa mereka untuk menciptakan provisi – provisi dalam
kontrak yang telah mengalami jalan buntu.
4.
Arbitrase
Hak, merupakan arbitrase yang memberi putusan terhadap sengketa diantara para
pihak, bukan hanya sekedar membuat provisi dalam kontrak.
5.
Arbitrase
Sukarela, merupakan arbitrase yang dimintakan sendiri oleh para pihak, baik
dimintakan dalam kontrak yang bersangkutan ataupun dalam kontrak tersendiri.
6.
Arbitrase
Ad Hoc, adalah arbitrase yang tidak ada badannya, tetapi hanya penunjukkan
orang – orang secara bebas oleh para pihak sesuai kesepakatan dengan memberlakukan
aturan hukum tertentu.
7.
Arbitrase
Lembaga, merupkan kebalikan dari Arbitrase ad hoc dimana dalam hal ini terdapat
lembaga atau badan-badan, serta telah ada aturan mainnya tersendiri, misalnya
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau international Centre for
Settlement of Investment Disputes (ICSID). Dan Arbitrase jenis lainnya.
Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas
di bidang perdagangan baik nasional maupun internasional serta perkembangan
hukum pada umumnya, maka peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement
op de Rechtvordering) yang dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak
sesuai lagi sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat
internasional sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua non sedangkan hal
tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de
Rechtvordering). Bertolak dari kondisi ini, perubahan yang mendasar
terhadap Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) baik
secara filosofis maupun substantif sudah saatnya dilaksanakan.
Arbitrase yang diatur dalam Undang-undang nomor 30 tahun 1999 merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa.
Arbitrase yang diatur dalam Undang-undang nomor 30 tahun 1999 merupakan cara penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa.
Istilah Arbitrase berasal dari bahasa latin yakni arbitrari
yang artinya suatu pemutusan sengketa oleh hakim berdasarkan persetujuan para
pihak yang sepakat akan mentaati keputusan hakim yang dipilih oleh mereka[2].
Dalam penggunaan materi hukum pun arbiter harus berdasarkan ketentuan –
ketentuan teori pada hukum Perdata Internasional, artinya jika para pihak itu
adalah sesama subyek hukum Indonesia maka yang digunakan adalah wajib hukum
Indonesia, namun jika yang terjadi pada bisnis internasional maka yang
digunakan adalah pilhan hukum (choice of law) yang telah dituangkan oleh
amsing – masing pihak baik secara Pactum de compromittendo atau secara Acte de
compromise.
Ada Kelebihan tentu saja ada Kelemahan dari penggunaan
Arbitrase sebagai salah satu model Penyelesai sengketa alternative, diantaranya
:
1.
Due
Process kurang terpenuhi.
2.
Kurangnya
unsur Finality.
3.
Kurangnya
Power untuk mengiring para pihak ke Setlleement.
4.
Kurangnya
Power dalam hal penegakkan hukum dan proses eksekusi.
5.
Tidak
dapat menghasilkan solusi yang bersifat pencegahan.
6.
Kualitas
putu san sangat bergantung pada kualitas arbiter.
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan
di luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 UU AAPS hanyalah sengketa
di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain:
perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik
intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU AAPS memberikan perumusan negatif
bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui
arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat
diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan
belas Pasal 1851 s/d 1854.
Mengenai Kekuatan Putusan Arbitrase baik melalui lembaga
Arbitrase berskala nasional maupun secara Internasional, contohnya ada BANI,
ICSID, UNCITRAL adalah final dan binding. Dengan kata lain putusan tersebut
adalah langsung menjadi putusan tingkat pertama dan tingkat terakhir. Serta
putusan menjadi mengikat para pihak dan secara otomatis tertutup pula upaya
untuk banding, dan kasasi sesuai pasal 60 UU AAPS.
Kendalanya yang teramat sering dihadapi oleh para pihak dan arbiter
adalah kesepakatan hasil arbritrase yang di tuangkan dalam perjanjian terlalu
lemah di hadapan para pihak yang menganggap hasil arbritasi itu tidak
menguntungkannya. Maka terkadang banyak dari kenyataan yang ada agar dapat
melaksanakan arbritase tersebut di butuhkan penguatan putusan melalui putusan
pengadilan negeri. Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada
pengadilan, misalnya dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase. Ada keharusan
untuk mendaftarkan putusan arbitrase di pengadilan negeri. Hal ini menunjukkan
bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya pemaksa terhadap para pihak untuk
menaati putusannya. Peranan pengadilan dalam penyelenggaraan arbitrase berdasar
UU AAPS antara lain mengenai penunjukkan arbiter atau majelis arbiter dalam hal
para pihak tidak ada kesepakatan (pasal 14 (3)) UU AAPS dan dalam hal
pelaksanaan putusan arbitrase nasional maupun nasional yang harus dilakukan
melalui mekanisme sistem peradilan yaitu pendafataran putusan tersebut dengan
menyerahkan salinan autentik putusan. Bagi arbitrase internasional mengembil
tempat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sedangkan proses eksekusi putusan arbitrase dibedakan dalam
dua hal, yang pertama putusan arbitrase dalam negeri. Yang di maksud putusan
arbitrase dalam negeri adalah putusan yang berpatokan pada faktor wilayah
artinya yang diambil di dalam RI. Pejabat yang berwenang melaksanakan putusan
arbritase dalam negeri adalah ketua pengadilan negeri. Karena badan arbritase
yang memutus sengketa tidak memilki kewenangan untuk memerintahkan dan
menjalankan eksekusi, hal ini sesuai dengan pasal 14 UU AAPS. Adapun ketua
pengadilan negeri bergantung pada di mana kompetensi relatif.
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal
59-64 UU AAPS. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara
sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan
tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri,
dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan
arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri,
dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan
Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat.Putusan Arbitrase
nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai
kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan
memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut.
Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada
pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan
oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU AAPS sebelum memberi
perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan
arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional).
Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan
arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
Sementara eksekusi putusan arbitrase yang kedua adalah
putusan arbitrase asing. Putusan arbitrase asing adalah putusan yang di ambil
di luar wilayah RI. Kendalanya yang paling pokok pada putusan arbritase asing
yaitu pemberian exequatur. Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing
di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah
Belanda yang merupakan negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa
Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New
York ditandatangani UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di
Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung
mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan dengan disahkannya Konvensi New
York 1958. Dengan adanya Perma tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan
arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya
kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi putusan arbitrase asing.
Sementara Instansi dan Pejabat yang berwenang memutusnya
adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Ketua Pengadilan Jakarta Pusat (Pasal
65 UU AAPS). Lengkapnya tata cara pelaksanaan putusan asing adalah sebagai
seperti berikut Dalam jangka maksimal 30 hari sejak putusan arbitrase
dijatuhkan maka lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan
dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri
kemudian di tandatangani dengan diberi catatan bahwa ini adalah akta
pendaftaran.Selain itu juga dalam penyerahan berkas sebagaimana dimaksud maka
Arbitor juga wajib melampirkan lembar asli penganggkatannya, yang dimana jika
tidak dipenuhi akan berakibat batal demi hukum termasuk biaya pendaftaran yang
dibebankan kepada para pihak (Pasal 59 UU AAPS). Kemudian perintah pelaksanaan
eksekusi oleh ketua Pengadilan Negeri ditulis pada lembar asli dan salinan
otentik putusan arbitrase yang dikeluarkan (Pasal 63 UU AAPS).
Proses pemeriksaan perkara dalam arbitrase secara umum tidak
jauh berbeda dengan proses pemeriksaan di pengadilan. Baik arbitrase maupun
litigasi merupakan mekanisme adjudikatif, yaitu pihak ketiga yang dilibatkan
dalam penyelesaian sengketa mempunyai kewenangan memutuskan penyelesaian
sengketa tersebut. Arbitrase termasuk adjudikatif privat sedang litigasi
termasuk adjudikatif publik.
C.
Tahapan
Pemeriksaan Arbitrase
Prosedur arbitrase dibentuk oleh ketentuan hukum, perjanjian
para pihak dan arahan para arbiter. Apabila para pihak sepakat bahwa arbitrase
akan dilaksanakan berdasarkan aturan suatu institusi atau aturan ad hoc maka
prosedur arbitrase akan tunduk pada ketentuan institusi atau aturan ad hoc
tersebut. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 31 ayat (1) UU AAPS, “Para pihak
dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis, bebas untuk menentukan acara
arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan sengketa sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang ini.”
Berdasarkan UU Arbitrase pemeriksaan arbitrase dilaksanakan melalui tiga (3) tahapan, yakni:
Berdasarkan UU Arbitrase pemeriksaan arbitrase dilaksanakan melalui tiga (3) tahapan, yakni:
1.
Tahap
Persiapan atau Pra Pemeriksaan, yang meliputi perjanjian Arbitrase Dalam
dokumen tertulis, penunjukan arbiter, pengajuan surat tuntutan oleh Pemohon,
jawaban surat tuntutan oleh Termohon dan perintah arbiter agar para pihak
menghadap sidang arbitrase.
2.
Tahap
Pemeriksaan atau Penentuan, yang meliputi awal pemeriksaan peristiwanya,
penelitian atas bukti-bukti dan pembahasannya, mediasi dan pengambilan putusan
oleh Majelis Arbitrase.
3.
Tahap
Pelaksanaan, yang meliputi putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat
dan pelaksanaan yang bersifat sukarela atau melalui eksekusi Pengadilan.
4.
Tahap
Persiapan, Prosedur arbitrase dimulai dengan pendaftaran dan penyampaian
Permohonan kepada institusi arbitrase yang ditunjuk, dilengkapi dengan segala
alat bukti yang berkaitan dengan sengketa tersebut sesuai dengan aslinya.
Permohonan arbitrase harus disertai pembayaran biaya
pendaftaran dan biaya administrasi kepada institusi bersangkutan. Pemeriksaan
perkara arbitrase tidak akan dimulai sebelum biaya administrasi dilunasi. yang
harus dibayar lunas oleh kedua belah pihak (untuk bagian yang sama). Pada
umumnya penentuan besarnya biaya administrasi adalah berdasarkan persentase
dari tuntutan yang diajukan Pemohon dan tuntutan balik dari Termohon. Bila
salah satu berkeberatan membayar biaya administrasi, maka pihak lawan harus
melunasi keseluruhan biaya agar persidangan dapat dimulai. Dalam Permohonan
arbitrase harus dituliskan secara ringkas uraian tentang permasalahan yang
menjadi sengketa dan isi tuntutan ganti rugi atau pengembalian yang diharapkan
dari pihak lainnya dengan melampirkan salinan naskah atau akta perjanjian
arbitrase atau perjanjian lainnya yang memuat klausula arbitrase. Pemohon dapat
menunjuk atau memilih seorang arbiter atau menyerahkan penunjukan arbiter
kepada institusi arbitrase bersangkutan.
Proses arbitrase adalah suatu upaya untuk mencari
penyelesaian atas suatu sengketa yang terjadi dalam pelaksanaan suatu
perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak yang kini bersengketa.
Penyelesaian yang diharapkan daripara arbiter adalah adanya penyelesaian yang
dapat diterima oleh kedua belah pihak (win win solution). Untuk dapat mengambil
suatu putusan tersebut maka hal yang terpenting bagi arbiter adalah mengerti
sepenuhnya isi perjanjian yang menjadi dasar dari sengketa dan latar belakang
dari terjadinya sengketa dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Dalam mencari
penyelesaian tersebut, yang terpenting adalah pokok masalah sengketa atas
pelaksanaan perjanjian dan bukan masalah prosedural perjanjian atau
persengketaan. Agar pemeriksaan berjalan lancar dan menghasilkan putusan yang
adil, maka baik Pemohon maupun Termohon harus melakukan persiapan yang baik,
antara lain dengan membentuk Tim internal yang khusus menangani masalah. Tim
ini terdiri dari personalia yang terlibat dalam pelaksanaan perjanjian dan
mengetahui isi perjanjian serta mengetahui dengan jelas sebab dari timbulnya
sengketa. Tim ini dapat dibantu oleh penasehat hukum internal maupun eksternal
yang dapat membantu Tim berkaitan dengan masalah peraturan dan perundangan yang
menyangkut pelaksanaan perjanjian tersebut.
Tim internal inilah yang harus dapat memberikan suatu
gambaran yang tepat mengenai permasalahan yang dipersengketakan kehadapan
arbiter. Selain harus menguasai seluruh aspek perjanjian dan persengketaan yang
terjadi Tim juga mencari dan memberikan semua alat bukti yang dapat digunakan
dan disampaikan kepada arbiter maupun pada pihak lawannya. Tim internal ini
juga dapat mengusulkan para pakar ataupun saksi ahli dan mendapat kuasa untuk
mewakili dalam persidangan dan bukan hanya terbatas pada pimpinan perusahaan
atau penasehat hukumnya. Dalam menetapkan jumlah tuntutan dalam sengketa
arbitrase, Pemohon perlu mempertimbangkan bahwa atas dasar penyelesaian secara
“win win solution” maka jumlah tuntutan yang dikabulkan sering kali kurang dari
yang diajukan. Kemungkinan tidak tertutup bahwa jumlah putusan atas tuntutan
dapat lebih kecil dari pada biaya administrasi arbitrase. Karenanya di dalam
mengajukan tuntutan Pemohon perlu melakukan perhitungan secara cermat berkaitan
dengan biaya administrasi, antara lain memperhatikan jumlah tuntutan yang
realistis yang dapat kiranya diterima dalam putusan arbitrase, walaupun memang
kewajiban pembayaran biaya administrasi umumnya dibebankan bersama kepada kedua
belah pihak.
Tahap Pemeriksaan, walaupun dalam beberapa kasus para pihak
mengajukan sengketa untuk diputuskan/ diselesaikan sepenuhnya berdasarkan
fakta-fakta tertentu, tuntutan tertulis dan dokumen-dokumen, namun pada umumnya
suatu persidangan tetap dilaksanakan yang dihadiri oleh arbiter atau majelis
arbiter dan para pihak yang bersangkutan, untuk memberikan kesempatan bagi para
pihak untuk menyampaikan segala informasi yang lengkap dan adil kepada para
arbiter mengenai aspek material dari permasalahan yang dipersengketakan.
Persidangan arbitrase sepenuhnya berada dibawah kuasa dan kendali para arbiter,
dengan tetap memperhatikan “rules of procedures” dan ketentuan perundangan yang
berlaku.
Persidangan arbitrase bersifat tertutup dan hanya dapat
dihadiri oleh mereka yang mendapat kuasa dari pimpinan masing-masing pihak dan
diketahui oleh kedua belah pihak. Pihak-pihak lain tidak dapat menghadirinya
terkecuali mendapat persetujuan dari kedua belah pihak dan dari arbiter/majelis
arbiter. Dengan telah dimulainya proses pemeriksaan setelah dibentuknya Majelis
Arbiter maka semua komunikasi antara para pihak dengan arbiter harus
dihentikan. Semua informasi baik dalam bentuk surat-menyurat maupun dokumen
atau alat bukti aslinya harus diserahkan kepada panitera sidang disertai lima
(5) salinan masing-masing untuk para arbiter dan para pihak. Semua informasi
yang akan disampaikan secara lisan hanya dapat diterima apabila didengar oleh
para arbiter dan para pihak dalam sidang, harus terdapat keterbukaan diantara
semua pihak. Setiap penyimpangan atas prosedur arbitrase termasuk namun tidak
terbatas pada proses persidangan harus mendapat persetujuan oleh para arbiter
dan para pihak dalam suatu persidangan dan akan dicatat dalam berita acara
persidangan oleh Panitera.
Dalam setiap persidangan selalu dimungkinkan kepada para
pihak untuk melakukan negosiasi di luar sidang dan dapat diadakan setiap saat
atas persetujuan para arbiter dan para pihak. Kesempatan juga harus diberikan
oleh para arbiter kepada para pihak untuk melakukan mediasi. Mediasi dilakukan
di luar persidangan arbitrase dan bukan merupakan bagian dalam proses jalannya
arbitrase. Sasaran yang harus selalu menjadi pedoman bagi para pihak adalah
tercapainya suatu penyelesaian atas sengketa yang dapat diterima oleh kedua
belah pihak dengan mendapat bantuan dan arahan dari para arbiter dan putusan
arbiter dapat diterima oleh para pihak, sehingga hubungan dan/atau transaksi
bisnis di antara para pihak dapat berjalan kembali.
Para pihak harus berusaha agar dapat tercapainya suatu penyelesaian, demi kebaikan bersama dan bukan demi kemenangan satu pihak. Cara pembatalan atas putusan arbitrase bukanlah suatu cara yang dapat dijadikan sebagai alat untuk menyatakan ketidaksetujuan.
Para pihak harus berusaha agar dapat tercapainya suatu penyelesaian, demi kebaikan bersama dan bukan demi kemenangan satu pihak. Cara pembatalan atas putusan arbitrase bukanlah suatu cara yang dapat dijadikan sebagai alat untuk menyatakan ketidaksetujuan.
Tahap Pelaksanaan, Dengan didaftarkannya Putusan Arbitrase
pada Panitera Pengadilan Negeri sebagaimana yang ditetapkan dalam UU AAPS, maka
putusan tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial. Pelaksanaan Putusan Arbitrase
tidaklah perlu menunggu eksekusi Pengadilan Negeri namun dapat dilakukan secara
sukarela oleh pihak yang bersangkutan. Putusan Arbitrase selayaknya diterima
oleh kedua pihak yang menyerahkan penyelesaian sengketa kepada para arbiter
yang mereka sendiri tunjuk dan percayai akan memberikan putusan yang adil atas
permasalahan dalam perjanjian yang mereka sendiri setujui untuk bekerja sama.
Terhadap Putusan Arbitrase para pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan. Pengajuan permohonan pembatalan menurut Pasal 70 UU AAPS
oleh pihak yang tidak puas atas putusan Majelis Arbitrase memiliki keterbatasan
dalam alasan-alasan yang dapat dipergunakan, yaitu apabila putusan mengandung
adanya dokumen diakui palsu atau dinyatakan palsu, diketemukannya dokumen yang
bersifat menentukan yang disembunyikan atau diambil dari hasil tipu muslihat.
Namun demikian, para pihak diharapkan kembali kepada maksud dibuatnya
perjanjian bahwa segala persengketaan akan diselesaikan untuk mencapai sesuatu
penyelesaian yang menguntungkan bagi kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa
melalui arbitrase adalah mengenai pokok permasalahan yang timbul dari
perjanjian yang dibuat oleh para pihak dan diharapkan penyelesaiannya dapat
melanjutkan berlangsungnya perjanjian yang telah dibuat diantara para pihak
atau paling tidak dapat tetap melanjutkan hubungan kerja sama atau transaksi
antara para pihak di kemudian hari.
Biaya-biaya eksekusi Putusan ditanggung oleh pihak yang
kalah dan yang lalai untuk memenuhi ketentun-ketentuan dalam Putusan. Kecuali
dalam keadaan-keadaan khusus, biaya-biaya jasa hukum dari masing-masing pihak
harus ditanggung oleh pihak yang memakai jasa hukum tersebut dan biasanya tidak
akan diperhitungkan terhadap pihak lainnya. Namun apabila Majelis menentukan
bahwa suatu tuntutan menjadi rumit atau bahwa suatu pihak secara tidak
sepatutnya menyebabkan timbulnya kesulitan-kesulitan atau hambatan-hambatan
dalam kemajuan proses arbitrase, maka biaya jasa hukum dapat dilimpahkan kepada
pihak yang menimbulkan kesulitan tersebut.[3]
D.
Sifat
Putusan Arbitrase
Putusan Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan
hukum tetap dan mengikat para pihak. Dengan demikian terhadap Putusan Arbitrase
tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.
Apabila
ada pihak yang tidak bersedia melaksanakan Putusan Arbitrase secara sukarela,
maka :
- Putusan
Arbitrase akan dilaksanakan berdasarkan perintah eksekusi Ketua Pengadilan
Negeri setempat atas permohonan salah satu pihak yang berkepentingan;
- pihak
yang berkepentingan dapat menyampaikan pengaduan kepada pengurus dari
asosiasi/organisasi dimana ia menjadi anggota;
- asosiasi/organisasi
dimana pihak yang berkepentingan menjadi anggota dapat menyampaikan
pengaduan kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan asosiasi/organisasi dimana
pihak yang tidak bersedia melaksanakan Putusan Arbitrase secara sukarela
menjadi anggota.
[3] Soerjono
soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (UI press: Jakarta, 1986), h. 52
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Fuady,
Munir. Pengantar hukum bisinis. Citra Aditya Bakti: Bandung, 2008.
Harahap,
Yahya. Arbitrase. Sinar Grafika: Jakarta, 2006.
Khairandy, Ridwan. Pengantar
Hukum Dagang Indonesia I. GAMA media: Yogyakarta, 1999.
Soekanto,
Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. UI press: Jakarta, 1986.
Wardah, Sri dan Bambang Sutiyoso. Hukum
acara perdata dan perkembangannya di Indonesia. Gama Media: Yogyakarta,
2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar